Selasa, 30 Juni 2015
Dua malam terakhir tidur di kamar sendiri, Bandung.
Tiga puluh enam jam dari sekarang akan kembali meninggalkan
kota ini, pulau ini, keluarga ini, sahabat sahabat ini, dan semua perasaan di
setiap sudut kota ini. Sepuluh hari terasa kurang dan akan tetap terasa kurang
seberapa lamapun itu sampai akhirnya kata “kurang” menjadi “bosan”. Delapan bulan sudah saya merantau, waktu yang
cukup lama untuk membuat saya tersadar sudah mencapai angka delapan. Entah terlalu menikmatinya di awal lalu
sedang melewati tahap “berjuang di luar zona nyaman” yang sebenarnya.
Datang ke Wamena tanpa seorang pun yang dikenal, bulan
pertama hanya bergaul dengan teman kantor, bulan kedua mulai bergaul dengan beberapa
teman sekaligus tetangga dari LSM lain, bulan ketiga keempat asik dengan dunia
baru yang ditemukan, hingga akhirnya tidak mengenal sebagian dari diri sendiri
tapi tetap mengacuhkannya sampai “kenyamanan dalam ketidaknyamanan” itu hilang
dan benar benar memasuki zona tidak nyaman.
Kembali memasuki ruangan tanpa cahaya dan menyadari saya tidak bisa
pergi kemana mana tanpa DIA.
Posisi, seorang kakak, seorang sahabat keluar dan menemukan
kamar terang lainnya.
Pulang ke Bandung tanpa direncanakan, lebih tepat dikatakan
sebagai kebutuhan untuk memurnikan tujuan saya ke Wamena. Mengembalikan diri yang membahagiakan diri
dengan memberi kepada lingkungan sekitar bukannya membahagiakan diri dengan
meminta kepada lingkungan.
Banyak orang melihat kehidupan saya di Wamena adalah
kehidupan yang menarik dan menyenangkan, padahal sebenarnya tidak selalu
seperti itu, hanya yang saya bagikan pasti hal hal yang layak dibagikan
saja. Ada kalanya kesulitan yang
dihadapi menjadi hal yang layak dibagikan ketika kita bisa berhasil melihat
kesulitan itu dari sisi yang bijak (it takes time and patient).
Dua bulan terakhir banyak bertanya harus jalan kemana,
lurus, kiri, kanan, atau bahkan diam di tempat saja? Terus bertanya tanpa peka, “DIA sudah
menjawab”. Saya bertanya, “Aku harus
kemana dan gimana?” dan jawaban yang saya pikirkan adalah, “ke kiri/kanan/lurus”. Terkadang jawaban DIA bukan ‘kanan kiri atau
pun lurus’ tapi ‘percaya Aku, serahkan khawatirmu padaKu, Aku yang bertindak,
Aku yang memelihara kamu'.
Khawatir, susah banget untuk berhenti khawatir ketika
masalah datang. Gampang untuk
mengatakannya, tapi sulit untuk melakukannya.
Sering kita lupa, iman tanpa perbuatan itu sia sia, lupa menunjukkan
iman kita lewat perbuatan. Untuk mengaplikasikan
ketidak-khawatiran lewat perbuatan.
Sejauh mana kita mengandalkan DIA? Sejauh garis waktu yang
DIA tentukan untuk kita berjalan, tapi secara manusiawi tidak setiap langkah
kita mengandalkan DIA sepenuhnya. Sering
kita justru membatasi DIA, dengan kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, keraguan,
ujung ujungnya bertindak sendiri karena merasa lebih tahu mana yang
terbaik. Kita melihat ke kanan, kiri,
depan, belakang dengan daya tangkap yang terbatas, DIA melihat dari atas dengan
daya tangkap yang tidak terbatas dan kemampuan zoom in zoom out yang tidak
terbatas. Masih aja kita berpikir kita
lebih tahu apa yang terbaik dan bertanya kenapa ini yang terbaik tanpa kita
mengerti secara keseluruhan, satu demi satu.
Tiga puluh enam jam sebelum kembali ke Wamena masih belum
stabil dan belum punya keputusan apapun.
Delapan bulan lalu meninggalkan Bandung dengan berat tapi dengan
perasaan penuh harap dengan semua hal baru yang akan ditemui di Wamena. Kali ini cukup berbeda, sangat tidak rela
meninggalkan Bandung untuk kembali ke tempat yang saya (sok) tahu
apa yang akan saya temui kembali disana.
Antara tidak menetap di Bandung tapi juga tidak kembali ke Wamena. Memburu tempat baru lagi, kali ini yang lebih
jauh. Berlari ke deretan mimpi saya yang
lainnya. Bukan cara yang baik untuk
mendewasakan diri.
Tiga ribu KM dari Bandung, ada tempat lain untuk sepenggal
hidup saya, Wamena. Datang kesana dengan
penuh semangat tanpa pernah berpikir akan menjadi rumah yang sulit
ditinggalkan. Ternyata ketika
memberanikan diri melangkah ke tempat baru, juga harus memberanikan diri suatu
saat nanti akan meninggalkan tempat baru itu (team INFP).
Ini bukan perpisahan untuk Wamena, mungkin pengajuan izin
tinggal lebih lama dengan pengharapan yang tidak terbayangkan, selama tidak
dengan keadaan seperti ini.
I’m blackmailing Wamena to let me stay longer through its
beauty and imperfections. I’d love to go
back with impatient feeling to get there. I go back to YOU, with YOU, for
YOU. Level up in enjoying YOU! Though there
is no reason for hoping, I (try hard to) believe and hope, just like Abraham
(Romans4:18)
-advina
No comments:
Post a Comment