Setelah hampir dua tahun tidak
lagi mengunjungi mereka, Rabu 1 Juli 2015 saya kembali ke tempat itu, “ruang keluarga”
yang dulu pernah menerima saya untuk menetap, Rumah Kasih.
Sebelum berangkat ke Bandung, sudah merencanakan untuk
menyediakan waktu mengunjungi “pasukan kasih”, begitu saya menyebut
mereka. Rencana itu sempat gagal ketika
hari Sabtu tidak sengaja pergi ke Lembang bersama teman saya, dan melihat
sambil lalu pintu pagar yang tergembok dan keadaan rumah yang kosong seperti
sudah tidak berpenghuni lagi, sehingga saya memutuskan tidak mengunjungi mereka
hari itu.
Semakin lama, hari untuk kembali
ke Wamena semakin dekat, dan saya masih saja belum menyediakan waktu
mengunjungi Rumah Kasih. Rabu, 1 Juli
pun sebenarnya tidak ada rencana sama sekali.
Pagi itu saya bertemu dengan sahabat saya di tempat biasa tim Sunshine
Project berkumpul sebelum pergi bersama ke Rumah Kasih.
Siang hari ketika kami sudah
kehabisan cerita untuk dibahas dikala masih punya banyak waktu sampai sahabat
saya yang lainnya pulang kantor, saya bergumam kecil, “temenin ke Rumah Kasih
yuk, Mit!”
Alhasil kami kesana dengan penuh
ketidaksabaran sekaligus ketakutan, takut ketika bertemu, yang ada bukanlah
pasukan kasih yang berlari dengan pelukan lagi, tapi pertanyaan, “siapa ya?”
Setelah sempat tersasar karena
benar mereka sudah pindah rumah ke Kompleks Panorama Indah di jalan menuju
Subang dan Tangkuban Parahu, akhirnya kami menemukan Rumah Kasih, kali ini
mereka sudah punya papan nama besar di depan rumahnya.
Rumah yang jauh lebih besar dari
sebelumnya, cukup senang melihat keadaan rumah mereka saat ini, karena cukup
banyak pasukan kasih di dalamnya, dan rumah baru ini sangat amat cukup untuk
mereka tinggal, tidak terlalu sempit seperti rumah sebelumnya.
Pintu ruang tamu terbuka,
sehingga dengan santai saya langsung masuk sambil sedikit berteriak karena
tidak terlihat satu orang pun. Beberapa
saat kemudian turun seorang gadis dari lantai atas, menyalam kami, saya
mengingat wajahnya tapi tidak namanya.
Dia berkata masih ingat dengan saya.
Lalu gadis ini mengajak kami untuk ke atas, bertemu dengan Grace, salah
satu anak di kelompok saya waktu itu, dia datang dan langsung memberi pelukan,
dia ingat!
Tidak berapa lama muncul suara
berisik dari lantai bawah, “di mana? Di mana?”
Saya melihat ke bawah, ternyata
si bocah kembar, Andrian dan Andhika, lalu diikuti dengan Okky. Saya pun berlari ke bawah untuk memeluk
mereka, tapi mereka bertanya, “Siapa ya?”
Antara kaget dengan mereka yang
sudah jauh lebih besar tapi juga sedih dengan pertanyaan itu. Saya mencoba memeluk tapi mereka menolak
lari, saya bertanya, “kalian ga ingat aku?”
Mereka pun terus menjawab, “siapa
sih? Siapa ya? Gatau ih.”
Tapi dengan kelakuan mereka yang
langsung mau cerita ini itu, sama seperti dulu ketika saya masih sering
mengunjungi mereka. Andhika dan Andrian
masih berebut bercerita, minta didengarkan secara bersamaan. Mereka kini sudah kelas 3 SD, dulu masih TK,
belum bisa membaca. Andhika sombong
mendapat ranking 4 di kelas karena Andrian mendapat ranking 6. Lalu kemudian ketika saya sedang memeluk
Andhika, dia mengucap, “Ka Gita, kenapa ga pernah datang lagi?”
Ternyata dia ingat! Mereka ingat!
Kenangan tentang saya masih punya tempat di “ruang keluarga” hati mereka.
Walaupun tetap sedih dengan pertanyaan
mereka dan sulit sekali untuk memberi jawaban apa yang tepat untuk
menjelaskannya.
Hanya Sharon yang benar benar
melupakan saya, padahal Sharon yang meyakinkan saya untuk terjun ke Sunshine
Project saat itu.
Daniela kini sudah semakin tinggi
dan cantik, sudah kelas 3 SMP, terakhir masih lulus SD. Banyak sekali perkembangan mereka yang saya
lewatkan selama ini.
Ada beberapa anak baru, seperti Sinta dan
Lusi. Lusi, gadis manis kelas 3 SD yang
sempat menutup diri ketika saya mendekatinya. Pada akhirnya mulai terbuka dan mengajak saya
untuk melempari sarang laba laba dengan daun cemara, karena laba labanya nanti
bisa membersihkannya sendiri. Setelah
itu Lusi berkata, “kita jadi bisa belajar dari laba laba, membersihkan rumah
sendiri!”
Kemudian Andhika dan Andrian yang
semangat mengajak saya ke halaman untuk melihat beberapa anak anjing
mereka. Andrian datang ke saya untuk pamer
sekarang dia sudah berani menggendong anak anjing sendiri. Melihat kembarannya seperti itu, Andhika dari
jauh berteriak, “Andhika jangan kaya gitu ih, nanti anjingnya mati!”
Saya dan Mita tertawa dengan
pernyataan Andhika, tapi beberapa saat kemudian mengetahui alasannya. Andrian melempar anak anjing itu dengan keras
ke rumput karena kesal dengan Andhika.
Saya dan Mita sempat berhenti tertawa melihatnya, lalu lanjut tertawa
lagi dengan kejadian itu.
Sudah lama sekali tidak melihat
kelakukan konyol dan polos bocil bocil ini, yang sering membuat tertawa tapi
mengesalkan juga.
Saya berkeliling rumah itu untuk
melihat semua foto foto mereka yang terpajang di dinding, kemudian bertanya
tanya kepada Abeth, kenapa mereka pindah, dan keadaan mereka saat ini.
Mereka sudah pindah ke rumah ini
sejak Januari tahun ini, karena rumah lama mereka sudah dijual oleh pemiliknya. Rumah sekarang ini pun masih sewa ternyata,
dengan harga sewa 5M untuk 3 tahun, dan mereka harus siap angkat kaki ketika
rumah ini sudah ada pembelinya nanti.
Saya tidak sempat mendapat
informasi yang lebih tepatnya karena hari itu Bu Een sedang di asrama
kampusnya.
Grace dan Gisel ternyata keesokan
harinya akan meninggalkan Rumah Kasih dan kembali berkumpul dengan mamanya di
Jakarta. Kaget dan sedih. Saat saya juga dua hari setelah hari itu juga
akan kembali ke Wamena. Menyadari satu
hal, pada akhirnya setiap orang akan memilih jalannya sendiri. Baik menetap atau meninggalkan tempat saat
ini.
Bersama keluarga atau bersama
orang baru, kembali ke zona nyaman atau berjuang bersabar dalam zona
ketidaknyamanan karena tanggung jawab dan pilihan yang sudah diambil di masa
lalu. Setiap hari kita mengambil
pilihan, sejak kita memilih untuk membuka mata atau tetap tertidur dengan
kehangatan selimut.
Kedatangan saya ke Bandung kali
ini sangat memilukan hati pada akhirnya, membuat saya tidak ingin meninggalkan
Bandung, dan kembali ke Wamena dengan keadaan yang jauh dari kata nyaman saat
ini. Perjuangan yang berat untuk tetap
memilih kembali ke Wamena saat ini.
Sulit sekali rasanya berada 3000
KM jauhnya dari sahabat dan keluarga, orang orang yang memberi kenyamanan. Walau kita harus berani melangkah keluar zona
nyaman untuk membentuk karakter diri yang lebih baik lagi. Apalagi dengan ketidaknyamanan yang harus
dihadapi di tempat 3000 KM ini. Ada saatnya
kita ingin mempercepat ketidaknyamanan ini dan kembali memasuki kenyamanan
baru, hingga lupa untuk menikmati setiap proses yang harus kita lalui, baik itu
sulit maupun bahagia.
Bahkan kunjungan ke rumah kasih
kali ini semakin membuat patah hati saya, kembali meninggalkan mereka. Kembali untuk memilih jalan sendiri dan ada
kalanya pilihan itu membuat kita harus meninggalkan orang orang yang memberi
kenyamanan. Terkadang saya lupa, bukan
hanya raga dan telinga saya saja yang bisa mengunjungi Rumah Kasih secara rutin
kembali, kali ini waktunya cerita saya di Wamena yang akan rutin mengunjungi
mereka.
Berjuang sendiri, bertahan sekuat
tenaga, bersabar sampai kembali bertemu dengan orang orang pemberi kenyamanan
ini, kemudian membagikan cerita yang layak dibagikan sehingga perjuangan
bertahan hidup tidak sia sia dan bertumbuh di tempat lainnya, bukan hanya di
dalam hati sendiri.
I know it’s such a blessing to
have people that hard to be left, that make goodbye so hard, but honestly, it
still hurts to leave them (again).
No comments:
Post a Comment