Minggu, 4 September 2016
Setahun lebih menjadi guru
sekolah minggu di salah satu gereja di Wamena, masih saja belum berhasil
menghapal semua nama adik adik sekolah minggu, 5 orang pun tidak. Jadwal mengajar yang satu bulan sekali, kalau
dihitung kurang lebih sudah 15 pertemuan mungkin. Padahal saya dulu cukup percaya diri
mengandalkan daya ingat saya dalam hal mengingat nama orang, tapi tidak lagi
sesampainya di Wamena, atau bisa dibilang sejak menginjak Pulau Papua ini.
Jujur saja, untuk saya yang
nyaris 24 tahun tumbuh di kota besar dan hanya berkutat di Pulau Sumatera,
Jawa, Bali kemudian memutuskan melangkah ke Pulau paling timur Indonesia yang
keberagamannya sedikit berbeda dengan yang biasa saya temui, membuat otak saya
bergumul dalam hal merekam wajah wajah baru di tempat ini.
Anak anak yang hadir pun tidak
hanya dari sekolah minggu saja, masih ada anak anak di sekolah tempat saya
bekerja yang entah bagaimana bisa tahu nama saya walau saya bukan guru di
sekolah tersebut. Teriakan “Miss Gita”, “Ka
Gita”, “Kaka pengasuh” yang sering ditemui ketika berjalan kaki atau pun
bersepeda cukup membebani hati saya karena hanya bisa membalasnya dengan
senyuman lebar dan ‘halo’ tanpa memanggil kembali nama nama wajah yang teriak
tersebut.
Hati ini sudah cukup lama
terbeban dengan kemampuan terbatas otak saya yang terus bergumul dalam
menyimpan dengan baik setiap wajah wajah baru dengan nama nama yang tidak
terbiasa didengar telinga saya selama ini.
Oleh sebab itu, setelah 8 bulan menjadi koordinator sekolah minggu (sehabis liburan panjang akhir tahun di Bandung, tiba tiba dikasih tahu hasil keputusan rapat jadi koordinator tanpa ditanya menyanggupi atau tidak) yang kerjaannya cuma mengajar sebulan sekali dan mengumpulkan uang persembahan sekolah minggu setiap minggunya, ini langkah pertama saya dalam berinovasi dan berkreasi, setidaknya ada satu gerakan yang dilakukan dikala menjadi koordinator. Minggu ini saya
memulai dan memutuskan untuk mendata anak anak sekolah minggu yang hadir. Memang mereka terus berganti setiap
minggunya, ada yang selalu datang, ada yang hanya sekali datang, ada yang timbul
tenggelam seperti matahari, tapi setidaknya sejak minggu ini saya mulai untuk
mendata setiap wajah baru agar otak terbantu dalam menghadapi pergumulannya.
Setelah mengambil foto
mereka satu per satu, saya menanyakan nama mereka yang nantinya akan dijadikan sebuah kartu
tanda pengenal untuk mereka gunakan setiap minggunya, sehingga kaka
pengasuh lainnya yang merasakan pergumulan yang sama pun dapat terbantu juga
dalam mengingat nama mereka. Mereka terlihat senang dan sedikit malu ketika sesi pengambilan gambar, untuk gaya masih cukup kaku,
tapi untuk senyuman tidak usah diragukan lagi manisnya, gula pasir pun kalah
manis.
Tidak hanya nama, saya juga
menanyakan tanggal lahir mereka, sayangnya dari 14 anak yang hadir Minggu ini,
hanya 4 anak saja yang mengingat tanggal lahir mereka (bukan hal yang mengagetkan bagi saya yang
hampir dua tahun tinggal di Wamena). Ada satu
jawaban yang unik ketika bertanya tanggal lahir mereka selain, “tidak tahu” ataupun “lupa”, saya mendapat jawaban, “itu kertas ada di ibu guru di sekolah,
saya tidak tahu, mama ada kasih ke ibu guru di sekolah, kertas saya tinggal di
sekolah, ibu guru simpan.”
Dibalik keluguan jawaban itu, ada kelegaan dalam hati, “anak ini pergi ke sekolah.”
Saya pun teringat dengan Pasukan Kasih yang biasa saya temui di Bandung, kali ini Tuhan membuat langkah kaki saya bertemu dengan Tentara
Garam dan Terang dari Pegunungan Tengah.
Sebelumnya menyelam dengan
Pasukan Kasih, kali ini mendaki dengan Tentara Garam dan Terang.
1. Elam, 2. Ayai, 3. Otis Mabel, 4. 5. Panus, 6. Epias, 7. Aslan, 8. Desi, 9. Ani, 10. Valdo, 11. Jackson, 12. Eli, 13. Dison, 14.Brando, 15. Kros |
No comments:
Post a Comment