Desa Kilise, Kurima, Kabupaten
Yahukimo, Papua, Indonesia.
tempat penginapan di Desa Kilise |
Desa Kilise ini tempat di mana
ada penginapan berbentuk honai yang dikelola oleh masyarakat sekitar kampung
itu. Perjalanan ke desa Kilise
sebenarnya tidak terlalu jauh (relative sih), kemarin lama waktu perjalanan
adalah sekitar 2,5 jam jalan kaki dari kali Yetni. Dari kota Wamena bisa menggunakan taksi untuk
sampai ke titik awal trekking (kali Yetni).
Kemarin kami diantar sampai kali Yetni lewat Hitigima karena jembatan di
jalur biasa masih terputus. Menyebrang kali
Yetni juga bukan perkara mudah sebenarnya karena arus air yang cukup deras,
lebih baik pakai sandal gunung kalau gamau ribet sepatu basah sedari awal.
Cukup melelahkan memang di
perjalanan menuju ke Kilise, karena sejak awal sudah langsung bertemu dengan
medan tanjakan berbatu – batu. Walau masyarakat
sekitar selalu bilang, “Kilise dekat saja, di sana. Dekat saja.” Sebagai informasi, dekatnya
orang Papua itu ga sama dengan dekatnya orang orang yang ga biasa naik
gunung. Saya sih udah pengalaman, jadi
ga kemakan PHP “dekat” nya mama mama yang kasih semangat. Seingat saya sih ada tiga sampai empat
tanjakan selama perjalanan menuju Kilise.
Dua tanjakan pertama adalah dua yang terberat, jadi itu yang buat lelah duluan
di awal. Tapi setelahnya banyak jalan
datar yang kasih kesempatan untuk simpan nafas dan tenaga.
Ada lima honai yang bisa
digunakan, satu orang dikenakan biaya Rp. 120.000 dan satu honai bisa diisi 4 - 5 orang. Di dalam honai
memang disediakan kasur tipis dan juga selimut, tapi saran saya lebih baik bawa
sleeping bag sendiri demi kenyamanan tidur.
Lingkungan penginapannya benar benar nyaman sebenarnya, cuma kebersihan
kamar aja yang masih kurang diperhatikan oleh masyarakat lokal di sana. Kasur dan selimut sepertinya tidak pernah
dicuci, kamar juga tidak disapu. Jangan heran
kalau di dinding honai banyak laba – laba dengan ukuran cukup besar. Jangan lupa bawa senter, karena di dalam
honai tidak ada lampu. Lebih tepatnya
tidak ada listrik di desa ini.
Di sana juga tersedia dua kamar
mandi umum, walau airnya tidak terlalu jernih.
Dapur dan ruang makan juga tersedia, tapi ya kontekstual. Jangan berharap
dapur dan tempat makan yang sehari hari kita temui di kota. Jangan lupa bawa bahan makanan untuk diolah,
ada dapur bukan berarti mereka juga sediakan bahan makanan untuk diolah. Masyarakat lokal juga sediakan kayu bakar
dengan harga Rp. 20.000 per ikat. Ada juga
mata air yang bisa digunakan untuk makan dan minum, jadi ga perlu khawatir soal
itu.
Untuk keseluruhan, saya takjub
dengan masyarakat lokal yang mengelola tempat ini. Memang masih ada kekurangan, tapi kalau kita
lihat dari lokasi desa Kilise yang tidak dekat dari kota, tentu saja adanya tempat
ini sangat menyenangkan. Di sekitar
halaman akan banyak masyarakat berkumpul melihat kegiatan yang pengunjung
lakukan, sambil menjual kreasi tangan seperti gelang, koteka, dan lain
lain.
Seorang Bapa yang masih berkoteka
datang di malam hari, membawakan keladi buah merah untuk kami yang sedang
berkumpul di bawah pohon sambil minum kopi.
Ketika ditawari rokok, Bapa ini menolak, katanya sudah berhenti merokok
dan juga minum kopi. Sehingga hanya bisa
minum teh atau susu panas. Senang banget
dengar jawaban Beliau. Belum selesai di
situ, besok paginya ketika teman teman membagi permen ke anak anak sebelum
kembali pulang ke kota, Bapak ini terlihat memarahi anak anak dengan bahasa
lokal. Lalu setelah itu Bapak itu
menjelaskan kepada kami, Beliau marah kepada anak anak karena mereka membuang
sampah permen sembarangan. Rasanya bangga
banget sama Bapak satu ini! Juga ada satu adik laki laki bernama Lukas, yang
paling rajin menemani kami dan membantu memasak. Anak yang betah sekali sampai malam mendengar cerita
tentang kehidupan di luar sana dan pagi pagi sudah bangun untuk
kembali mencari cerita lainnya.
Walau tidak punya rundown acara
selama di sana, tetap aja kebosanan tidak datang menjenguk. Hanya asik bercerita sejak siang sampai
tengah malam, tapi tetap saja setiap detik sangat dinikmati. Lucunya ternyata masih dapat sinyal di sana,
walau hanya sebatas telfon dan sms. Bisa
juga dapat sinyal internet, tapi harus jalan dulu ke gereja sekitar 5 menit
dari tempat penginapan. Di pagi hari
kita bisa merasakan berada di atas kabut pagi yang semakin siang akan semakin
tinggi dan tebal.
Di ketinggian 1800 mdpl pun banyak
cerita yang bisa didapat dan dibagikan. Esok
harinya, begitu kembali sampai di kali Yetni dan melihat teman dari kota sudah
ada di sana untuk menjemput, rasanya seperti melihat es teh manis yang siap
untuk diminum. Wamena pun rasanya sudah
sangat kota bagi kami, walau biasanya merasa Wamena sangat desa dibanding kota
kota besar tempat kami dibesarkan. Tantangan
hidup untuk bersyukur itu hanya masalah ‘perbandingan’. Ketika kita membandingkan sesuatu dengan yang
lebih besar membuat susah untuk bersyukur.
Tapi kalau kita lakukan sebaliknya, rasanya mudah sekali untuk
bersyukur. Ketika makan pop mie di kota
tidak mendapatkan kenikmatan apa apa, akan menjadi sebuah kenikmatan yang
sesungguhnya menyantap pop mie di tempat terpencil di suatu sudut dunia yang
jarang tersentuh oleh kenikmatan dunia lainnya.
Tahun lalu saya masih bingung
dengan orang orang yang lahir dan besar di Wamena, sudah pernah merasakan hidup
di luar Wamena tapi masih saja memutuskan hidup di Wamena. Tapi kali ini saya memahaminya, bahkan saya
bingung dengan orang orang yang ingin segera keluar dari Wamena. Sudah hampir tiga tahun di tempat ini dan
cukup banyak mengunjungi tempat tempat indah di tempat ini, rasanya masih
kurang dan ingin perpanjang periode waktu hidup di tempat ini. Masih banyak yang ingin dilakukan dan tempat
yang ingin dikunjungi. Bahkan minggu ini
saya semakin merasa, “ga kebayang kalau harus hidup di luar Wamena, I wish I could
stay here forever.” (kemudian siap dimarahin mama dan disms tiap hari).
Seandainya saya protozoa yang
bisa membelah diri dan memperpanjang waktu di tempat ini semudah memperpanjang
masa aktif nomor handphone, pasti hidup akan lebih mudah untuk melangkah. Sayangnya hidup ga semudah itu dan kalau
semudah itu, pasti hidup ga akan seberarti hari ini. Karena hidup penuh perjuangan, makanya hidup
sangat berarti dan sayang banget untuk disia-siakan, bahkan disesali.
Kalau bisa dibilang, saat ini
saya ada di titik terus bersyukur untuk setiap perjalanan dalam hidup
saya. Untuk setiap pengalaman hidup yang
saya miliki sampai hari ini, untuk setiap orang yang hadir di hidup saya, untuk
setiap kekecewaan dan sukacita yang membentuk diri saya, saya bersyukur. Saya harap akan konsisten tetap bersyukur,
walau di depan nanti kembali bertemu kekecewaan, penyesalan, sakit hati, semoga
saya tetap bersyukur dan mampu menikmati setiap proses kehidupan
selanjutnya. Seperti sebuah harta karun, pengalaman di tempat ini dan perjalanan hidup sampai hari ini, gamau saya tukar dengan apapun.
Impian saya saat ini adalah untuk
tetap bertahan di kota ini, dan saya sedang memperjuangkan hal itu. Ketika kota besar bukan lagi tujuan untuk
menetap, melainkan tempat berlibur sesaat.
Kota terpencil telah mencuri hati untuk menetap, bukan sesuatu yang
bersifat sementara saja. Jati diri
sebagai seorang INFP sangat membantu dalam menikmati hidup di tempat
terpencil. Di kala orang orang semakin
mengeluh, saya malah semakin bersyukur bisa hidup di tempat ini. Melihat setiap hal dari sudut yang berbeda,
lebih sering menyenangkan. Karena bumi kita
ini bulat, ga bisa kalau hanya melihat dari satu sudut saja. Akan banyak hal manis terlewat kalau hanya
berdiri di satu sudut yang sama, atau bahkan terus berada di sudut tempat semua
orang melihat bumi ini.
Kita masing masing punya kaki
untuk melangkah, otak untuk berpikir, hati untuk merasa dan mata untuk menemukan
sudut terindah yang membuat senyuman di bibir kita gamau pergi.
Sungguh ciptaan Tuhan yg sangat indah, gunung-gunung & lembahnya juga udara yg dingin menjadikan jatuh cinta akan kota itu. Medan yg terjal & menukik tajam bila dilalui berjalan kaki tak kan pernah terasa sembari menikmati eloknya alam sekitar.. Sungguh rekomendasi bagi para pencinta alam.
ReplyDeleteTerima kasih untuk tulisan ini yang mengingatkan akan indahnya salah satu lokasi hebat di Kilise, semoga tulisan ini membuat semakin terkenalnya alam ini..
Gbu