Monday, June 5, 2017

Sepenggal Catatan di Kilise

Desa Kilise, Kurima, Kabupaten Yahukimo, Papua, Indonesia. 

tempat penginapan di Desa Kilise
Desa Kilise ini tempat di mana ada penginapan berbentuk honai yang dikelola oleh masyarakat sekitar kampung itu.  Perjalanan ke desa Kilise sebenarnya tidak terlalu jauh (relative sih), kemarin lama waktu perjalanan adalah sekitar 2,5 jam jalan kaki dari kali Yetni.  Dari kota Wamena bisa menggunakan taksi untuk sampai ke titik awal trekking (kali Yetni).  Kemarin kami diantar sampai kali Yetni lewat Hitigima karena jembatan di jalur biasa masih terputus.  Menyebrang kali Yetni juga bukan perkara mudah sebenarnya karena arus air yang cukup deras, lebih baik pakai sandal gunung kalau gamau ribet sepatu basah sedari awal. 

Cukup melelahkan memang di perjalanan menuju ke Kilise, karena sejak awal sudah langsung bertemu dengan medan tanjakan berbatu – batu.  Walau masyarakat sekitar selalu bilang, “Kilise dekat saja, di sana.  Dekat saja.” Sebagai informasi, dekatnya orang Papua itu ga sama dengan dekatnya orang orang yang ga biasa naik gunung.  Saya sih udah pengalaman, jadi ga kemakan PHP “dekat” nya mama mama yang kasih semangat.  Seingat saya sih ada tiga sampai empat tanjakan selama perjalanan menuju Kilise.  Dua tanjakan pertama adalah dua yang terberat, jadi itu yang buat lelah duluan di awal.  Tapi setelahnya banyak jalan datar yang kasih kesempatan untuk simpan nafas dan tenaga. 


Patokan desa Kilise adalah gereja beratapkan seng alumunium, kalau sudah sampai di gereja berarti kalian tinggal selangkah lagi sampai di Desa Kilise.  Begitu melihat penginapannya, pastilah seperti biasa lelah mendaki langsung hilang, jadi terus berjuang aja karena lelah mendaki cuma sementara dan semu begitu sudah sampai di tempat tujuan. 

Ada lima honai yang bisa digunakan, satu orang dikenakan biaya Rp. 120.000 dan satu honai bisa diisi 4 - 5 orang.  Di dalam honai memang disediakan kasur tipis dan juga selimut, tapi saran saya lebih baik bawa sleeping bag sendiri demi kenyamanan tidur.  Lingkungan penginapannya benar benar nyaman sebenarnya, cuma kebersihan kamar aja yang masih kurang diperhatikan oleh masyarakat lokal di sana.  Kasur dan selimut sepertinya tidak pernah dicuci, kamar juga tidak disapu.  Jangan heran kalau di dinding honai banyak laba – laba dengan ukuran cukup besar.  Jangan lupa bawa senter, karena di dalam honai tidak ada lampu.  Lebih tepatnya tidak ada listrik di desa ini. 

Di sana juga tersedia dua kamar mandi umum, walau airnya tidak terlalu jernih.  Dapur dan ruang makan juga tersedia, tapi ya kontekstual. Jangan berharap dapur dan tempat makan yang sehari hari kita temui di kota.  Jangan lupa bawa bahan makanan untuk diolah, ada dapur bukan berarti mereka juga sediakan bahan makanan untuk diolah.  Masyarakat lokal juga sediakan kayu bakar dengan harga Rp. 20.000 per ikat.  Ada juga mata air yang bisa digunakan untuk makan dan minum, jadi ga perlu khawatir soal itu. 

Untuk keseluruhan, saya takjub dengan masyarakat lokal yang mengelola tempat ini.  Memang masih ada kekurangan, tapi kalau kita lihat dari lokasi desa Kilise yang tidak dekat dari kota, tentu saja adanya tempat ini sangat menyenangkan.  Di sekitar halaman akan banyak masyarakat berkumpul melihat kegiatan yang pengunjung lakukan, sambil menjual kreasi tangan seperti gelang, koteka, dan lain lain. 

Seorang Bapa yang masih berkoteka datang di malam hari, membawakan keladi buah merah untuk kami yang sedang berkumpul di bawah pohon sambil minum kopi.  Ketika ditawari rokok, Bapa ini menolak, katanya sudah berhenti merokok dan juga minum kopi.  Sehingga hanya bisa minum teh atau susu panas.  Senang banget dengar jawaban Beliau.  Belum selesai di situ, besok paginya ketika teman teman membagi permen ke anak anak sebelum kembali pulang ke kota, Bapak ini terlihat memarahi anak anak dengan bahasa lokal.  Lalu setelah itu Bapak itu menjelaskan kepada kami, Beliau marah kepada anak anak karena mereka membuang sampah permen sembarangan.  Rasanya bangga banget sama Bapak satu ini! Juga ada satu adik laki laki bernama Lukas, yang paling rajin menemani kami dan membantu memasak.  Anak yang betah sekali sampai malam mendengar cerita tentang kehidupan di luar sana dan pagi pagi sudah bangun untuk kembali mencari cerita lainnya. 

Walau tidak punya rundown acara selama di sana, tetap aja kebosanan tidak datang menjenguk.  Hanya asik bercerita sejak siang sampai tengah malam, tapi tetap saja setiap detik sangat dinikmati.  Lucunya ternyata masih dapat sinyal di sana, walau hanya sebatas telfon dan sms.  Bisa juga dapat sinyal internet, tapi harus jalan dulu ke gereja sekitar 5 menit dari tempat penginapan.  Di pagi hari kita bisa merasakan berada di atas kabut pagi yang semakin siang akan semakin tinggi dan tebal.
 

Di ketinggian 1800 mdpl pun banyak cerita yang bisa didapat dan dibagikan.  Esok harinya, begitu kembali sampai di kali Yetni dan melihat teman dari kota sudah ada di sana untuk menjemput, rasanya seperti melihat es teh manis yang siap untuk diminum.  Wamena pun rasanya sudah sangat kota bagi kami, walau biasanya merasa Wamena sangat desa dibanding kota kota besar tempat kami dibesarkan.  Tantangan hidup untuk bersyukur itu hanya masalah ‘perbandingan’.  Ketika kita membandingkan sesuatu dengan yang lebih besar membuat susah untuk bersyukur.  Tapi kalau kita lakukan sebaliknya, rasanya mudah sekali untuk bersyukur.  Ketika makan pop mie di kota tidak mendapatkan kenikmatan apa apa, akan menjadi sebuah kenikmatan yang sesungguhnya menyantap pop mie di tempat terpencil di suatu sudut dunia yang jarang tersentuh oleh kenikmatan dunia lainnya.  

Tahun lalu saya masih bingung dengan orang orang yang lahir dan besar di Wamena, sudah pernah merasakan hidup di luar Wamena tapi masih saja memutuskan hidup di Wamena.  Tapi kali ini saya memahaminya, bahkan saya bingung dengan orang orang yang ingin segera keluar dari Wamena.  Sudah hampir tiga tahun di tempat ini dan cukup banyak mengunjungi tempat tempat indah di tempat ini, rasanya masih kurang dan ingin perpanjang periode waktu hidup di tempat ini.  Masih banyak yang ingin dilakukan dan tempat yang ingin dikunjungi.  Bahkan minggu ini saya semakin merasa, “ga kebayang kalau harus hidup di luar Wamena, I wish I could stay here forever.” (kemudian siap dimarahin mama dan disms tiap hari). 

Seandainya saya protozoa yang bisa membelah diri dan memperpanjang waktu di tempat ini semudah memperpanjang masa aktif nomor handphone, pasti hidup akan lebih mudah untuk melangkah.  Sayangnya hidup ga semudah itu dan kalau semudah itu, pasti hidup ga akan seberarti hari ini.  Karena hidup penuh perjuangan, makanya hidup sangat berarti dan sayang banget untuk disia-siakan, bahkan disesali. 

Kalau bisa dibilang, saat ini saya ada di titik terus bersyukur untuk setiap perjalanan dalam hidup saya.  Untuk setiap pengalaman hidup yang saya miliki sampai hari ini, untuk setiap orang yang hadir di hidup saya, untuk setiap kekecewaan dan sukacita yang membentuk diri saya, saya bersyukur.  Saya harap akan konsisten tetap bersyukur, walau di depan nanti kembali bertemu kekecewaan, penyesalan, sakit hati, semoga saya tetap bersyukur dan mampu menikmati setiap proses kehidupan selanjutnya.  Seperti sebuah harta karun, pengalaman di tempat ini dan perjalanan hidup sampai hari ini, gamau saya tukar dengan apapun.

Impian saya saat ini adalah untuk tetap bertahan di kota ini, dan saya sedang memperjuangkan hal itu.  Ketika kota besar bukan lagi tujuan untuk menetap, melainkan tempat berlibur sesaat.  Kota terpencil telah mencuri hati untuk menetap, bukan sesuatu yang bersifat sementara saja.  Jati diri sebagai seorang INFP sangat membantu dalam menikmati hidup di tempat terpencil.  Di kala orang orang semakin mengeluh, saya malah semakin bersyukur bisa hidup di tempat ini.  Melihat setiap hal dari sudut yang berbeda, lebih sering menyenangkan.  Karena bumi kita ini bulat, ga bisa kalau hanya melihat dari satu sudut saja.  Akan banyak hal manis terlewat kalau hanya berdiri di satu sudut yang sama, atau bahkan terus berada di sudut tempat semua orang melihat bumi ini. 

Kita masing masing punya kaki untuk melangkah, otak untuk berpikir, hati untuk merasa dan mata untuk menemukan sudut terindah yang membuat senyuman di bibir kita gamau pergi.  



1 comment:

  1. Sungguh ciptaan Tuhan yg sangat indah, gunung-gunung & lembahnya juga udara yg dingin menjadikan jatuh cinta akan kota itu. Medan yg terjal & menukik tajam bila dilalui berjalan kaki tak kan pernah terasa sembari menikmati eloknya alam sekitar.. Sungguh rekomendasi bagi para pencinta alam.

    Terima kasih untuk tulisan ini yang mengingatkan akan indahnya salah satu lokasi hebat di Kilise, semoga tulisan ini membuat semakin terkenalnya alam ini..

    Gbu

    ReplyDelete