Perjalanan di
dalam sebuah perjalanan. Perjalanan yang
bertemu banyak cerita. Cerita tentang
kehidupan seseorang, sejarah sebuah tempat, budaya, kebiasaan, gaya hidup, kenangan,
hingga cerita tentang perjalanan itu sendiri.
Perjalanan
dalam sebuah perjalanan ini sepenuhnya disponsori oleh “Wonder J”, mulai dari
ketersediaan segala hal, keamanan, kecukupan, dan segala sesuatu yang membuat
setiap detik perjalanan ini sangat berkesan.
Perjalanan yang berkesan tapi tidak mudah.
Perjalanan
yang dimulai sejak diberitahu tempat bernama “Baluran” yang disebut sebut
Africa of Java. Pencarian tentang
Baluran pun dimulai dan mendasari keputusan untuk membeli tiket kereta ke
sebuah tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, Banyuwangi.
Dalam memulai
perjalanan ini bukan hal yang mudah, saya diam berjam jam di depan laptop
mencari rute kereta api yang tersedia untuk dua orang. Harusnya cukup mudah hanya dua kali ganti
kereta, tapi karena tiket sudah habis, saya harus mencari rute rute lainnya
yang memungkinkan.
Akhirnya
setelah lebih dari 12 jam mencatat rute kereta yang memungkinkan, saya pun
dapat tiket kereta ke Banyuwangi dengan rute
Kiaracondong-Kroya-Pasuruan-Banyuwangibaru.
Tiket kereta api ekonomi untuk ke Banyuwangi terbilang murah, hanya Rp.
50.000 sekali naik kereta. Total biaya yang kami keluarkan untuk tiket pulang pergi adalah Rp 248.000 per orang (kalau dari
jauh hari bisa saja dapat Rp. 200.000).
Relatif murah karena itu adalah biaya yang saya butuhkan untuk melakukan
perjalanan ke sebuah kota di paling ujung Jawa dan merupakan stasiun paling
akhir di Pulau Jawa. Kalau gamau ribet
bisa naik pesawat, Garuda baru buka rute dari Jakarta ke Banyuwangi.
Setelah
berhasil mendapat tiket untuk berangkat ke Banyuwangi, saya dan HRP (Helena Return Pingkan, partner
perjalanan kali ini) pun mulai mencari wisata lain selain Baluran. Ternyata ada satu tempat wisata lain yang
menarik perhatian kami, G-Land. Sebuah
pantai di ujung bawah pulau Jawa yang lebih banyak dikenal oleh surfer
mancanegara karena memiliki ombak terbesar kedua di dunia setelah Hawaii (untuk
fakta lain tentang G-land bisa dicari sendiri di google).
Tapi akses
untuk menuju kesana cukup sulit karena kendaraan umum di Banyuwangi masih minim,
ditambah tempat wisata yang jaraknya berjauhan satu dengan yang lainnya. G-Land sendiri berada dalam Taman Nasional
Alas Purwo, untuk masuk ke Taman Nasional Alas Purwonya pun kita harus
menggunakan mobil yang disiapkan oleh pihak TNAP karena keadaan jalan yang
masih rusak di dalam TNAP sendiri (kecuali kendaraan yang kita gunakan dianggap
memenuhi standard untuk masuk ke TNAP).
Harga sewa kendaraannya pun cukup mahal karena kami hanya berdua
saja.
Tempat lain
yang menarik hati adalah sebuah teluk di Taman Nasional Meru Betiri. Teluk Hijau atau Green Bay. Masih jarang tersentuh oleh manusia dan masih
banyak monyet kecil berkeliaran di sekitar teluk.
Tempat terakhir adalah Kawah Ijen (masih banyak tempat wisata lainnya, tapi empat wisata ini adalah yang prioritas untuk kami). Jujur awalnya saya kurang tertarik dan tidak terlalu memprioritaskan untuk ke Kawah Ijen. Bayangan awal Kawah Ijen akan seperti Kawah Putih di Bandung, belum lagi harus trekking dahulu selama 2 jam. Bukan perjuangan yang suka saya lakukan.
Selama
seminggu terakhir sebelum keberangkatan, saya sibuk mencari informasi secara
langsung ke orang orang Banyuwangi yang kontaknya saya dapat dari blog orang
orang. Dari menghubungi Pak Kasman
(petugas kantin di Taman Nasional Baluran) sampai kantor Dinas Pariwisata
Banyuwangi, guna mencari tahu biaya yang diperlukan, penginapan, dan akomodasi
untuk mencapai tempat tempat tersebut.
Sampai dua
hari sebelum keberangkatan saya masih belum menemukan penyewaan motor di
Banyuwangi. Ada satu tempat penyewaan,
tapi sudah full booked sampai akhir bulan.
Akhirnya minta bantuan Nyokap siapa tau punya kenalan di
Banyuwangi. Ternyata teman Nyokap yaitu
Om Aan punya seorang reporter di Banyuwangi, Om Shandi (yang sama sekali tidak
dikenal sama Nyokap). Akhirnya minta
tolong bantuan Beliau untuk mencari penyewaan motor. Walau sebenarnya agak bingung juga karena
jarak wisata yang cukup jauh pasti akan sangat melelahkan bila pakai motor,
lebih baik menggunakan bus atau kendaraan umum lainnya (bila ada).
Untuk
penginapannya sendiri, karena tujuan kami adalah Taman Nasional Baluran, saya
pun menghubungi kantor TNB untuk penginapan.
TNB sendiri mempunyai beberapa wisma di dalamnya, tapi pengunjung harus
melakukan reservasi dulu untuk ketersediaan tempat. Ada satu hal yang cukup simpang siur untuk
penginapan ini, menurut Pak Kasman, Dinas Pariwisata Banyuwangi, dan Petugas
TNB yang diwawancara di stasiun televisi swasta menyatakan bahwa sudah tidak
bisa lagi untuk menginap di dalam TNB, sebagai gantinya ada beberapa homestay
di luar TNB dengan tarif Rp. 150.000 per malam per kamar. Akan tetapi ketika saya langsung menghubungi
petugas TNB, Beliau menyatakan bahwa dapat menginap di wisma yang ada di dalam
TNB sendiri dengan tarif yang sama atau Rp. 250.000 untuk penginapan yang
berada di Pantai Bama.
Karena
ketidakjelasan itu, saya pun mencoba mencari penginapan di daerah
Banyuwangi. Hotel Mahkota Plengkung,
tidak jauh dari stasiun Banyuwangibaru dan memiliki tarif yang sama dengan
fasilitas listrik 24 jam (di homestay dan TNB ada keterbatasan listrik),
sarapan, fan, kamar mandi dalam, wifi, dan kolam renang. Bukan tidak mau untuk hidup susah, tapi kalau
ada fasilitas yang jauh lebih baik dengan harga yang sama, kenapa tidak memilih
yang lebih baik dan lebih jelas kelegalannya.
Perjalanan pun
benar benar dimulai pada Jumat malam dengan tragedi nyaris ditinggal kereta di
detik terakhir dan charger handphone yang tertinggal di rumah.
Check Point Pertama, Stasiun Kroya |
Ada seorang
penjaga pintu parkir di stasiun Kroya yang sempat tinggal di Bali dan nyaris
berada di lokasi saat pemboman Bali terjadi, lalu seorang Tukang Becak yang
lebih memilih menggunakan uang yang ada untuk sekolah cucunya daripada
mengganti becaknya dengan mesin, seorang Bapak yang menuju ke Solo untuk
liburan dan menertawakan perjalanan dua orang wanita yang cukup jauh tanpa
seseorang yang dikenal di kota tujuannya, seorang Pramusaji kereta Logawa yang
menjadikan kursi kosong didepan kami sebagai halte peristirahatannya setiap kali
dia melewati kami, berkali kali berhenti sejenak untuk sekedar beristirahat dan
bercerita dengan kami hingga menjalin keakraban yang menyenangkan, sampai
seorang Ibu muda dari Malang yang sedang mengajak liburan anaknya ke Banyuwangi
(seseorang yang menggunakan handphone yang sama dengan saya jadi saya bisa
meminjam sebentar untuk mengisi baterai handphone).
Beberapa jam
sebelum sampai di stasiun Banyuwangibaru Om Shandi menelfon untuk menanyakan
tempat mana saja yang ingin kami kunjungi, kemudian menawarkan untuk diantar
saja selama berada di Banyuwangi karena keadaan kota Banyuwangi yang cukup luas
dan mudah membuat tersasar. Awalnya kami
menolak karena tidak mau merepotkan, tapi Beliau memaksa untuk diantar saja,
dan yang lebih konyolnya lagi ternyata Beliau sedang bertugas meliput
International Surfing Competition yang sedang diadakan di Pulau Merah, sehingga
menawarkan adiknya yang akan menjemput dan mengantar kami selama berada di
Banyuwangi.
Intinya
perjalanan kami berdua ini akan ditemani oleh seseorang yang belum dikenal dari
seseorang yang belum kami kenal juga.
Stasiun Karang Asem, 991 KM |
Stasiunnya
kecil tapi bagus dan bersih. Sambil
menunggu dijemput, banyak tukang ojek yang menawari untuk mengantar ke tempat
tujuan. Sejauh ini keadaan masih aman
tidak ada yang menakutkan, hanya perlu kewaspadaan saja.
Akhirnya
bertemu dengan dua teman baru, Mas Fian dan Edvin. Sebelum ke penginapan mereka pun mengajak kami
keliling kota Banyuwangi di malam hari, tidak seperti bayangan, kota Banyuwangi
cukup maju, di sepanjang jalan tersedia wifi dan memiliki banyak taman kota
yang indah dan terawat. Gedung DPRD yang
megah dan keadaan jalan yang ramah dan aman.
Menurut mereka, sejak Bupati yang baru, Banyuwangi banyak melakukan
perombakan besar besaran.
Setelah itu
kami diajak ke tempat wisata bernama Pantai Boom. Berhubung malam jadi kami tidak bisa begitu
jelas bagaimana keindahan Pantai Boom itu sendiri, tapi yang jelas dari tepi
pantai kita dapat melihat dengan sangat jelas Pulau Bali di depan mata. Makanan pembuka pertama untuk mata di
Banyuwangi, Laut Bali dan Pulau Bali.
Kemudian
mereka mengajak kami untuk mengobrol sejenak di warung minum yang berjejeran di
sepanjang Pantai Boom. Disana kami
kembali menambah kenalan baru, teman teman dari Mas Fian dan Edvin. Berbincang bincang dengan mengangkat topik
perbandingan biaya hidup di Bandung dan Banyuwangi yang cukup jauh
perbedaannya.
Lalu kami
mendiskusikan tentang rencana keesokan harinya.
Om Shandi meminta kami untuk bertemu Beliau di Pulau Merah sekaligus
menonton International Surfing Competition, kami pun berkoordinasi dengan Mas
Fian. Karena jarak tempuh Banyuwangi ke
Pulau Merah cukup jauh, memerlukan waktu 2 jam, dan Mas Fian juga besok harus
meliput, akhirnya meminta bantuan temannya Mas Fian yaitu Mas Rian dan Edvin
untuk mengantar kami di Minggu pagi ke Pulau Merah.
Kembali
semakin banyak hubungan “baru kenal” ini.
Malam itu kami
bermalam dahulu di penginapan daerah kota dengan harga yang lebih murah
Rp.95.000 dengan 2 kasur, fan, kamar mandi dalam, dan sarapan. Setelah lebih dari 26 jam akhirnya bertemu
kasur juga.
***
Minggu, 25 Mei
2014
Hari pertama
kami diajak sarapan ala anak Banyuwangi, sego cawok di depan taman
Blambangan. Nasi disiram kuah kelapa,
ikan pedas, telor rebus ala gudeg, dan sambal.
Enak, hanya terlalu pedas untuk saya.
Kami makan berenam dan menghabiskan Rp. 50.000 saja (termasuk minum es
teh).
Perjalanan ke
Pulau Merah pun dimulai, harus siap masker karena Banyuwangi cukup banyak debu
walau kotanya terbilang bersih. Penunjuk
jalan untuk ke Pulau Merah hanya sedikit, kalau tidak salah ingat sepanjang
perjalanan 2 jam, saya hanya melihat 2-3 penunjuk jalan ke Pulau Merah. Dan ternyata memang lebih baik diantar oleh
orang lokal, karena orang lokalnya sendiri pun masih sering nyasar, dan kurang
disarankan mengandalkan GPS, sinyal di luar pusat kota Banyuwangi masih sulit
ditemukan.
Sebenarnya
kami kurang begitu tertarik untuk ke Pulau Merah karena tidak mendapat ulasan
yang cukup menarik dari internet, jadi pergi kesana untuk bertemu langsung
dengan Om Shandi dan karena sejalan dengan Green Bay. Tapi setelah sampai di Pulau Merah, hati terkesima
melihat pasir putih yang luas, ombak yang cukup besar (karena itu diadakan
international surfing competition), langit yang biru bersih, air yang jernih,
dikelilingi oleh bukit bukit, dan terdapat satu bukit di tengah pantai.
Red Island, International Surfing Competition 2014 |
Setelah puas
di Pulau Merah, Mas Rian dan Edvin dengan inisiatif mengajak kami untuk ke
Green Bay. Sebelum berangkat Mas Rian
bertanya, “Yakin mau ke Green Bay? Harus trekking dulu loh, ga cape?”
“Yakin, kapan
lagi kalau ga sekarang.”
“Disini sih
ngomongnya ‘kapan lagi’, nyampe sana ‘kapan kapan deh’.”
Jadi kami pun
melanjutkan perjalanan ke Green Bay, yang menurut mereka tidak jauh dari Pulau
Merah. Tapi kenyataannya cukup
jauh. Masih sekitar 1,5jam lagi untuk
sampai ke Taman Nasional Meru Betiri.
Dengan kondisi setengah perjalanan yang masih rusak, sehingga harus
pelan pelan dalam berkendara. Dalam
perjalanan kesana, awalnya kita akan melewati PTPN untuk perkebunan coklat,
kemudian dilanjutkan dengan perkebunan pohon karet. Pohon karet yang punya kemiringan melebihi
menara Pisa. Lalu akan bertemu dengan
secuil pantai tanpa pengunjung, lalu tidak jauh dari sana akan ada hamparan
rumput dan beberapa kerbau. Kurang ada
penunjuk jalan yang jelas untuk sampai ke TNMB, jadi lebih baik sesekali
bertanya kepada penduduk lokal.
Begitu sampai
di TNMB, perjalanan belum selesai. Sebelumnya kita harus membayar tiket masuk dan
tiket pengambilan foto di Pos depan.
Tidak mahal, berkisar Rp 3.000-5000 per orang. Kami berempat membayar Rp 21.000 termasuk
ijin pengambilan foto, tapi tidak termasuk parkir motor yang akan ditagih
ketika pulang (Rp 3.000 sampai jam 15.00 dan Rp 5.000 untuk setelahnya). Setelah sampai di parkiran motor, kita harus
berjalan kaki ke atas titik awal trekking.
Ada beberapa penjual makanan disana, saya pun sempat makan siang dulu
dengan nasi, telor ceplok, dan tempe.
Kalau tidak salah 3 porsi nasi dengan 1 botol aqua, kami membayar Rp
25.000.
Trekking
dimulai. Perjalanan menuju Green Bay
tidak begitu terasa melelahkan, bahkan kami sempat tersasar ke dalam hutan
karena arah yang lagi lagi tidak jelas.
Untuk mencapai Green Bay, kita akan melewati Pantai Batu, jadi jangan
berhenti di pantai yang dipenuhi dengan batu, karena itu belum sampai Green
Bay. Lebih baik menyusuri jalan lewat
Pantai Batu, jangan terus mengambil jalan di dalam hutan seperti kami. Setelah trekking kira kira 30 menit, akhirnya
Green Bay pun terlihat. Kami sampai
sekitar jam 3 sore dan keadaan saat itu cukup ramai.
Only Footprints and Pictures are Allowed |
Cukup puas
melihat Green Bay, yang kami lakukan adalah duduk diam menikmati angin dan
suara ombak sambil menunggu pengunjung yang lain pergi meninggalkan Green
Bay. Kalau melihat ke belakang, ada
beberapa kawanan monyet berseliweran di dalam hutan. Semakin sore tempat semakin sepi. Jam 4 sore tempat sudah cukup sepi, hingga
hanya ada kami berempat dan beberapa orang yang menawarkan jasa naik perahu.
Kembali di
tempat ini kami bertemu dengan seorang Bapak yang bertanya, “Penyunya dimana ya
mba?”
Kami pun
langsung menjelaskan kalau disini tidak ada penyu, yang ada di Sukamade. Pernyataan yang membuat Bapak itu berpikir kalau
kami orang Banyuwangi. Setelah bertanya
semakin dalam akhirnya Beliau tahu kalau kami dari Bandung dan cukup takjub
kalau Green Bay ada di internet.
Kemudian datang seorang nelayan muda yang menawarkan perahu ke Bapak
tersebut dan mengira kalau kami berdua adalah anak dari Bapak tersebut.
Setelah itu
kami lanjut mengobrol dengan nelayan muda ini dan bercerita kalau kami berasal
dari Bandung lalu kembali menerima pujian “hebat” atas keberanian kami. Nekat sih bukan berani.
Untuk naik
perahu dikenakan biaya Rp 35.000 untuk sekali jalan dan Rp 50.000 untuk pulang
pergi. Itu harga tanpa negosiasi, jadi
mungkin bisa lebih murah. Tapi kami
tidak berniat naik perahu yang cukup mengkhawatirkan dengan kondisi ombak yang
cukup besar, tanpa pelampung, dan ya mengerikan aja. Dan kalian harus siap basah kalau mau naik
perahu. Siap basah siap jatuh. Nah loh!
Sebelum jam 5
kami pun meninggalkan Green Bay dan kembali melakukan trekking. Rasanya lebih melelahkan dibanding perjalanan
menuju Green Bay. Selesai trekking, kami
masih harus berjuang melewati jalanan rusak dalam perjalanan pulang dengan keadaan
cukup mengerikan karena kanan kiri perkebunan yang hanya mengandalkan lampu
motor.
Akhirnya
setelah sempat tersasar beberapa kali, jam 19.30 baru kami berhasil sampai di
kota Banyuwangi. Tujuan utama kami malam
itu adalah mencari makan, nasi tempong.
Nasi dengan beberapa lembar sayur (sepertinya daun pepaya), lalu tempe,
tahu, perkedel, sambal, dan lauk utamanya bisa pilih sendiri, ada ikan goreng,
pepes ikan, ayam goreng, atau telor dadar.
Kenyang dan puas banget. Kami
berempat makan disana dan menghabiskan Rp 43.000. Cukup murah melihat porsinya yang begitu
besar, bahkan itu sudah termasuk minuman dan kerupuk.
Selanjutnya
kami langsung menuju tempat terakhir, penginapan. Hotel Mahkota Plengkung. Begitu sampai cukup terkejut dengan keadaan
hotelnya. Benar benar terasa murah
dengan harga Rp 150.000 per malam dan kondisi hotel yang sangat memuaskan. Kami pun beristirahat sambil memikirkan besok
akan bagaimana perjalanan kami.
Senin, 26 Mei
2014
Saking
lelahnya kami baru terbangun jam 08.00.
Menurut Om Shandi, hari itu lebih baik kami beristirahat saja biar
malamnya bisa ke Kawah Ijen dan melihat Blue Fire. Blue Fire ini adalah hal yang membuat saya
semangat dan rela berjuang trekking di Kawah Ijen. Karena fakta bahwa Blue Fire hanya ada dua di
dunia, Indonesia dan Iceland. Tentu saja
saya semangat dan mau memanjakan mata untuk melihat hal unik di dunia ini.
Tapi menurut
info yang kami dapat, saat itu Kawah Ijen sedang dalam status Waspada, jadi
tidak diijinkan untuk melihat Blue Fire.
Biasanya pengunjung memulai trekking pada jam 01.00 sehingga dapat
sampai di atas Kawah Ijen jam 03.00 dan melihat Blue Fire sambil menunggu
sunrise. Tapi karena sedang dalam status
waspada, maka petugas baru menginjinkan untuk memulai trekking pada jam
03.00/04.00. Sehingga ketika sampai atas
kita akan terlambat untuk melihat Blue Fire.
Sedikit
mengecewakan karena Blue Firelah yang membuat saya semangat untuk trekking di
Kawah Ijen. Apalagi dengan kabar dari
salah satu teman HRP yang hari sebelumnya ke Kawah Ijen dan status masih
waspada dan belum bisa melihat Blue Fire.
Bisa dipastikan kemungkinan besar belum bisa melihat Blue Fire.
Dengan
pertimbangan seperti itu, hari kedua ini kami melakukan perjalanan ke Taman
Nasional Baluran. Kali ini perjalanan
kami lakukan hanya berdua, tanpa ditemani oleh teman teman Banyuwangi
kami. Karena sebelumnya saya sudah
mencari tahu terlebih dahulu untuk sampai kesana, jadi tidak terlalu panik dan
kewalahan walau tidak punya motor yang disewa.
Dari depan
hotel, kami tinggal naik Lyn (angkot) ke arah utara menuju terminal Sri
Tanjung. Kita tidak perlu khawatir,
karena terminal ini titik akhir dari Lyn, jadi lebih baik tidak usah minta
diturunin di terminal Sri Tanjung biar tidak terlihat pendatang. Ongkos Lyn di Banyuwangi cukup mahal, jauh
dekat Rp. 5.000. Jarak dari hotel ke
terminal pun tidak begitu jauh, dan dalam perjalanan kita akan melewati stasiun
Banyuwangibaru dan Pelabuhan Ketapang dimana tempat penyebrangan ke Pulau Bali.
Jarak tempuh dari Pelabuhan Ketapang sampai Pelabuhan Gilimanuk hanya sekitar
30-45 menit dengan ongkos Rp. 7.500 saja, dan kapal feri pun selalu ada setiap
jam jadi ga perlu khawatir ketinggalan feri.
Sekitar 15
menit untuk sampai ke terminal Sri Tanjung, dalam perjalanan ke terminal kami
mengobrol dengan Bapak supir Lyn untuk bertanya mengenai kendaraan kami pulang
di rabu pagi ke stasiun Banyuwangibaru.
Bapak tersebut pun berinisiatif akan menjemput kami di hotel jam 6 pagi
untuk mengantar kami. Setelah itu kami
langsung naik bus yang asiknya langsung berangkat begitu kami naik.
Dari informasi
yang saya dapat dari Pak Kasman, ketika naik Bus yang ke arah Surabaya, bilang
saja turun di Batangan, jangan Baluran untuk menghindari tarif yang lebih mahal
dari yang seharusnya. Gausah takut salah
daerah, karena Batangan itu tepat di depan pintu masuk Taman Nasional Baluran,
dan kernet bus pun pasti akan teriak kalau sudah sampai di Baluran.
Ongkos yang
disarankan oleh Pak Kasman adalah Rp 6.000 tapi karena kami ragu, jadi kami
mencoba membayar seorang Rp 7.000 dengan uang pas dan bilang akan turun di
Batangan. Berhasil, kami tidak ditagih
lagi untuk ongkos.
Jarak dari terminal ke TNB pun tidak jauh, mungkin kurang dari satu jam saja. Sesampai di TNB, sudah banyak ojek menawarkan jasa. Memang untuk menjelajahi TNB ini kita butuh kendaraan, bisa saja jalan kaki, tapi cukup jauh dan ternyata menyeramkan juga. Tiket masuk ke TNB sekarang menjadi Rp 5.000 per orang, baru naik 50% dalam 2 hari terakhir, serentak di seluruh Taman Nasional. Yang mahal itu adalah ongkos ojeknya, untuk ojek sekali jalan dikenakan biaya Rp 40.000 sekali jalan, jadi butuh Rp 80.000 untuk pulang pergi. Karena kami berdua, saya pikir lebih baik untuk menyewa motor saja selama 12 jam Rp 100.000. Awalnya masih ingin menawar lagi biar lebih murah, karena kami toh tidak akan sampai 12 jam, tapi ternyata sudah tidak bisa ditawar dan HRP sudah keburu setuju.
Perjalanan menjelajah
TNB pun dimulai, dengan motor bebek supra fit.
Kata Bapak petugasnya ikuti jalan saja, hanya ada satu jalan kok. Lalu saya pun mulai mengendarai motor
tersebut. Jalannya masih rusak, jadi
saya pelan pelan dalam mengendarainya.
Batu dimana mana dan cukup besar, belum lagi hari sebelumnya hujan
sehingga ada beberapa jalan masih becek dan harus hati hati mengendarai biar
tidak licin dan jatuh.
Beberapa saat menyenangkan, lama kelamaan cukup mengerikan juga. Jarak dari pintu gerbang TNB ke pos Bekol (satu satunya pos di TNB) adalah 12 km dan untuk lanjut ke Pantai Bama masih ada 3 km lagi. Mulai memasuk 3 km pertama, keadaan jalan kanan kiri adalah hutan. Dan saat itu sepi sekali, hanya kami yang menyusuri jalan itu. Sempat teman saya meminta untuk mengendarai lebih cepat karena keadaan yang semakin menakutkan. Tapi apa daya kondisi jalan yang tidak begitu baik membuat sulit untuk mengendarai dengan cepat.
Dalam
perjalanan pun saya menyadari kenapa tarif sewa motor cukup tinggi, karena kondisi
jalan yang rusak dan cukup menyeramkan, belum lagi harus siap kalau motor
rusak. Harga Rp 100.000 itu udah
termasuk bensin full tank. Lalu ketahuan
mengapa petugas di gerbang sempat berkomentar, “emang berani cuma cewe
berdua?”. Ternyata memang keadaannya
cukup mengerikan karena berjalan dengan kanan kiri hutan belantara dan jarang
banget ada orang yang melintas jalan itu.
Beneran berasa jadi jurnalist National Geographic, ya anggap aja latian sebelum jadi jurnalist NatGeo beneran yang lagi menjelajah Afrika (apalagi sekarang latiannya di Afrika rasa Jawa, pas banget). Setelah sekitar 10 km, akhirnya pemandangan di kanan kiri yang hutan belantara pun selesai, diganti dengan savanna seluas luasnya dengan Gunung Baluran dibelakangnya. 1 km dari situ akan menemukan pos Bekol dan beberapa wisma yang disewakan, kemudian ada menara pandang sehingga bisa melihat savanna bekol secara keseluruhan dari atas (sayang kami tidak sempat menaiki menara pandang karena mengejar waktu pulang biar tidak gelap untuk sampai ke pintu gerbang utama).
Jujur, kece
banget tempatnya. Waktu kami datang
rumputnya masih berwarna hijau, untuk lebih merasakan sensasi Afrikanya lebih
baik datang di bulan Agustus – Oktober saat semua menguning. Apalagi bulan Oktober, dimana musim kawin
Merak dan Rusa yang heboh mempercantik diri.
Cuma kekurangannya akan banyak orang yang mengunjungi TNB dan para satwa
akan lebih susah dijumpai pada siang hari karena terganggu dengan kedatangan
manusia.
Tapi kalau
kalian mau melihat monyet tidak usah khawatir, mereka doyan banget muncul,
bahkan setelah pos Bekol, kalau kalian melihat ke kanan dan kiri savanna,
rasanya itu lautan monyet. Banyak banget dan ga lari kalau kita dekatin. Cuma hati hati kalau bawa makanan atau apapun
yang punya warna mencolok.
Di kunjungan kami kemaren, cukup banyak satwa yang menunjukkan diri. Ada beberapa kerbau yang asik mandi, ratusan monyet di kanan kiri, sekumpulan merak yang sempat terbang melewati kami, lalu kangkareng, burung dengan paruh panjang yang sering ada di kartun kartun, dan sekawanan rusa yang cukup sulit dilihat selain banteng dan macan tutul.
Di pantai
Bamanya kurang menarik karena sedang surut dan sudah kecapekan juga untuk
melakukan snorkeling atau diving.
Lagipula untuk snorkeling harus membawa peralatan sendiri. disini juga bisa main canoe, tapi ya itu dia
udah terlalu capek. Ada juga mangrove
trail dan kawasan bird watching di deket Pantai Bama. Jadi sebenarnya banyak yang bisa dilakukan di
Pantai Bama ini. Hanya saja waktu yang
kami punya dan tenaga yang tersisa terbatas untuk melakukan semuanya. Mungkin memang harus lebih dari satu kali
untuk mengunjungi Taman Nasional Baluran ini.
Bagi
pengunjung yang menginap diperbolehkan untuk safari night yang dipandu oleh
petugas TNB dengan biaya Rp 150.000, katanya sih cukup menyeramkan apalagi
kalau beradu mata dengan para satwa. Dan
memang para satwa akan lebih nyaman keluar pada malam hari karena minim
kehadiran manusia.
Setelah puas
di savanna Bekol dan Pantai Bama, jam 16.30 kami kembali melakukan perjalanan
menuju pos gerbang utama. Perjalanan
pulang ke gerbang utama jauh lebih menyeramkan, karena saya mengejar sebelum
matahari terbenam sehingga mengendarai dengan kecepatan lebih tinggi dari
sebelumnya dan ga jarang bagian bawah motor terbentur oleh batu batuan cukup
keras. Soalnya mengejar ga kegelapan di
tengah tengah hutan yang menyeramkan itu.
Sekitar 30 sampai 45 menit barulah kita berhasil sampai di pos gerbang
utama dan mengembalikan motor ke pemiliknya.
Ketika
menunggu bus di depan gerbang TNB, Bapak pemilik motor menemani kami dan
membantu untuk memberhentikan bus yang tepat.
Ternyata ada bus yang langsung lewat penginapan kami, jadi gausah turun
dulu di stasiun baru ganti naik Lyn. Bus
kecil yang menuju ke Madura. Sembari
menunggu kami pun mengobrol cukup banyak hal tentang TNB, lumayan banget nambah
pengetahuan tentang TNB. Setelah itu bus
mini tersebut datang dan Beliau menitipkan kami ke Bapak kernet bus tersebut. Masih banyak orang baik di sekitar kita.
Ongkos naik
bus itu Rp 10.000 per orang, lebih murah Rp 2.000 dibanding harus ganti Lyn di
terminal. Kembali di bus ini pun kami
diajak mengobrol dengan Bapak kernet tadi, lebih banyak tentang makanan khas
Banyuwangi, Beliau menyarankan untuk mencoba makanan pinggiran di Banyuwangi,
jangan makanan mahal. Dengan beberapa
senda gurau bersama Beliau, sekitar jam 18.30 kami pun sudah sampai di depan
penginapan.
Malam itu kami
lanjutkan dengan mencari makan di daerah kota Banyuwangi dengan diantar oleh
Mas Rian dan Mas Sigit. Pertama kami
diajak makan cemilan ala Banyuwangi yang cukup terkenal, “darplok” atau
martabak ndeso. Butuh waktu yang cukup
lama dalam menunggu tersajinya darplok ini, lalu setelah itu pun kami pergi ke
taman Blambangan untuk menikmat darplok tersebut. Darplok ternyata telor dadar yang diisi
dengan bihun lengkap dengan kuah yang cukup pedas, harganya hanya Rp 3.000
untuk 1 telur dan Rp 6.000 untuk 2 telur.
Enak, hanya menurut saya akan lebih enak kalau disajikan dengan nasi
(maklum orang Indonesia, cemilan aja dijadiin lauk, ga makan kalau belum pake
nasi).
Lalu kami
pergi ke alun alun kota, duduk santai sambil minum susu dengan sate
pisang. Kalau disini kisaran jajanan
cukup mahal, untuk empat gelas susu dan dua porsi sate pisang kami membayar Rp
24.000 (mahal untuk takaran Banyuwangi).
Disana kami
kembali bertukar cerita tentang Banyuwangi dan Bandung, ternyata Mas Sigit ini
masyarakat asli Banyuwangi yang berasal dari Desa Kemiren, sebutan untuk orang
asli Banyuwangi adalah Osing Deles, yang juga merupakan merk baju untuk oleh
oleh khas Banyuwangi.
Setiap tempat
di Banyuwangi punya sejarahnya sendiri dan entah memang semua orang Banyuwangi
tahu betul sejarah dari setiap tempat atau memang teman teman kami ini orang
yang cukup mengenal dan peduli dengan sejarah setiap sudut kotanya. Mas Rian dan Mas Sigit bisa dengan lancar
menceritakan sejarah dari setiap sudut kota di Banyuwangi, mengapa dinamakan
Blambangan, Sri Tanjung, kerajaan yang berkuasa, dan segala macam lainnya. Anak muda yang dapat diandalkan dan peduli
dengan sejarah kota miliknya.
Banyuwangi
merupakan kota yang cukup maju dengan pesat walaupun tanpa kehadiran makanan
cepat saji yang banyak ditemukan di kota kota besar, untuk membeli Jco saja
harus pergi ke Surabaya dulu yang butuh waktu naik kereta selama kurang lebih 6
jam (oh please). Kota yang tenang karena
benar benar jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota kota besar, tetapi pada hari
libur menjadi kota yang ramai karena masyarakat yang merantau biasanya akan
pulang ke Banyuwangi.
Belum lagi
Banyuwangi punya banyak kegiatan kota yang cukup unik, di akhir tahun akan
banyak festival yang diadakan di kota Banyuwangi, belum lagi setiap hari Sabtu
selalu ada acara di alun alun kota.
Selanjutnya
kami memperbincangkan tentang keinginan untuk ke Kawah Ijen. Mas Rian dan Mas Sigit menyanggupi untuk
mengantarkan kami ke Kawah Ijen malam itu, tapi menurut Mas Sigit yang sudah
empat kali ke Kawah Ijen, perjalanan kesana cukup berat. Butuh waktu 4 jam dari Banyuwangi dan jalanan
yang cukup curam, kanan kiri jurang. Mas
Rian sendiri belum pernah ke Kawah Ijen, jadi kami semua mengandalkan informasi
dari Mas Sigit saat itu. HRP, Mas Rian,
dan Mas Sigit memutuskan untuk ke Kawah Ijen malam itu, tinggal saya yang masih
ragu. Semua keputusan tergantung
saya.
Saya kurang
berani malam itu, dengan keadaan saya yang cukup mengantuk karena kecapekan di
Baluran, belum lagi perjalanan yang menurut Mas Sigit 4 jam, lalu sampai disana
harus melakukan trekking selama 2-3 jam untuk sampai ke Kawah Ijen. Bahkan belum tentu bisa melihat Blue Fire
karena status waspadanya. Sulit sekali
rasanya untuk memutuskan saat itu, apalagi kesempatan untuk melihat Blue Fire
hanyalah malam itu karena rabu pagi kami sudah harus berangkat pulang ke Jogja.
Tapi pada akhirnya saya pun menyerah dan
memutuskan untuk tidak pergi malam itu, sehingga mereka bertiga mengikuti
keputusan saya.
Sampai di
hotel saya terus memikirkan bagaimana cara untuk ke Ijen dan melihat Blue
Fire. Berencana memakai angkutan umum saja
(berhubung saya juga sudah mencari tahu bagaimana cara dengan kendaraan umum)
tapi dengan situasi tidak akan bisa melihat Blue Fire di saat subuh karena
kendaraan umum untuk turun tidak selalu ada 24 jam apalagi dengan kondisi kami
yang harus pulang di Rabu pagi.
Ada kekecewaan
karena keputusan saya dengan jelas memupuskan harapan untuk melihat Blue
Fire. Yang jelas saat itu saya butuh
tidur dan tidak mau terlalu ribet memikirkan rencana keesokan paginya. Berdoa saja minta diijinkan melihat Blue Fire.
Selasa, 27 Mei
2014
Pagi itu
bangun dan langsung memikirkan cara untuk ke Kawah Ijen. Berdasarkan informasi yang saya dapat, untuk
mencapai ke Kawah Ijen kita bisa naik Lyn ke terminal Sasak Perot dan dari sana
dilanjutkan naik kendaraan umum lainnya ke arah desa Jambu sekitar Rp 15.000
(tergantung negosiasi), lalu menumpang truk belerang yang hanya ada pada jam
jam tertentu, seingat saya untuk ke menuju Kawah Ijen truk belerang lewat
setiap hari (kecuali Jumat) jam 08.00 sampai 10.00, kita cukup membayar Rp.
5.000 per orang kepada supir truk dan bisa berbincang bincang dengan penambang
lain yang ikut di truk belerang tersebut.
Kalau siang hari, truk belerang lewat sekitar jam 13.00, saya kurang
tahu tepatnya karena catatan saya sepertinya tertinggal di hotel
Banyuwangi. Untuk kendaraan pulang dari
Kawah Ijen, orang orang biasanya naik truk belerang keesokan paginya jam 10.00
lalu dilanjutkan seperti sebelumnya ke desa Jambu.
Untuk ke Kawah
Ijen, biasanya orang orang akan mulai datang di sore atau malam hari (karena
akan memulai trekking sekitar jam 01.00 untuk melihat Blue Fire dan dilanjutkan
menikmati sunrise) bila memakai kendaraan sendiri atau menyewa jeep dengan
biaya Rp 500.000 per mobil yang bisa diisi sekitar 4 orang termasuk supir, atau
kalau mau lebih berpetualang dan mengenal lebih dekat keadaan lokal dapat
menggunakan kendaraan umum seperti cara diatas.
Bila menggunakan kendaraan umum, kita harus menyediakan waktu lebih
banyak lagi karena truk belerang yang hanya ada pada jam jam tertentu saja,
jadi kemungkinan besar kalau kita mau melihat Blue Fire harus menginap atau
menunggu malam dahulu baru melakukan trekking ke Kawah Ijen.
Jalan menuju Paltuding |
Gerbang utama untuk ke Kawah Ijen bernama Paltuding, tempat beristirahat sebelum melakukan trekking dan tempat akhir menggunakan kendaraan. Di Paltuding ada beberapa warung makan yang menyediakan indomie dan minuman hangat lainnya. Bisa juga menunggu malam di warung warung makan tersebut dan kalau ke Kawah Ijen jangan lupa membawa banyak jaket tebal, sarung tangan, dan masker tentunya. Udara di Kawah ijen tentunya sangat dingin sudah terasa sejak dalam perjalanan menuju Kawah Ijen. Di Paltuding sendiri udara sudah cukup dingin, mungkin sekitar 12-15 derajat. Belum lagi ketika sampai atas akan lebih dingin, tapi akan terbantu dengan adanya sinar matahari.
Waktu yang
diperlukan dari Banyuwangi sampai ke Paltuding sekitar 1,5 jam menggunakan
motor. Ada beberapa jalan dengan
tanjakan cukup curam, sehingga saya sempat turun dari motor dan berjalan kaki
karena Mas Rian menggunakan motor matic (kurang disarankan untuk pakai motor
matic kesini). Sampai di Paltuding udara
semakin dingin walau siang hari, kami beristirahat sejenak bertemu dengan teman
teman Mas Rian dan Edvin yang sudah lebih dulu sampai. Di Paltuding akan ditarik biaya parkir
sebesar Rp 6.000 per motor (sepertinya sudah termasuk tiket masuk per
orangnya). Dan di tempat parkir motor
dengan jelas ada pengumuman bahwa Kawah Ijen masih dalam status waspada 2. Pengumuman ini cukup melegakan karena memang
Blue Fire masih belum bisa dilihat, menghibur hati dengan berpikir harus
kembali kesini untuk melihat Blue Fire (walau masih kecewa juga sudah jauh jauh
ke Banyuwangi tapi tidak bisa lihat Blue Fire).
Dalam
perbincangan dengan teman teman yang lain, ada yang mencetus kalau Blue Fire
sudah mulai bisa dilihat hari itu.
Simpang siur memang, mungkin karena melihat keadaan yang sebenarnya aman
aman saja hanya petugas tidak mau mengambil resiko. Saya dan HRP pun bingung, memikirkan segala
cara untuk bisa melihat Blue Fire tanpa harus ketinggalan kereta esok
paginya. Sambil berharap juga semoga
memang belum bisa melihat Blue Fire.
kg di bahunya dengan jarak 3 km sekali jalan.
Untuk saya yang
sebenarnya tidak suka trekking, perjalanan ini cukup melelahkan. Beberapa kali istirahat sejenak untuk
mengambil nafas, sampai beberapa kali Edvin mendorong saya dari belakang agar
lebih cepat melangkah ditanjakan. Selama
trekking pasti kita akan saling memberi semangat satu sama lain walaupun kepada
orang orang yang tidak kita kenal.
Lumayan belajar mengenal karakter dasar seorang manusia yang saling
mendukung. Perjalanan trekking ini pun
tidak membosankan, pemandangan di kanan kiri dan belakang sangat memanjakan
mata ditambah udara dingin yang disediakan alam. Walau pada dasarnya tidak suka trekking, saya
tidak ada kepikiran sedikitpun untuk menyerah dan kembali turun. Rasa penasaran dengan Kawah Ijen dan Blue
Fire lebih besar dibanding menyerah dengan rasa capek.
Ditengah
perjalanan kita akan sampai di pos terakhir, Pos Bundar. Kantin yang menyediakan air minum hangat dan
pop mie seharga Rp 8.000. Ketika membeli
pop mie di Pos Bundar, saya iseng bertanya mengenai Blue Fire. Menurut Bapak penjaga kantin masih belum bisa
melihat Blue Fire karena status waspada dan pengunjung baru boleh mulai
trekking pada jam 03.00/04.00 dini hari.
Jadi akan sampai di atas pada saat matahari telah terbit dan tidak
sempat melihat Blue Fire. Saya pun
bertanya, apakah Blue Fire hanya ada pada subuh hari. Ternyata tidak, Blue Fire selalu ada 24 jam,
tapi butuh keadaan gelap agar bisa dilihat oleh mata, jadi sebenarnya ketika
maghrib pun kita sudah bisa melihat Blue Fire.
Rencana baru pun sudah mulai tersusun diotak saya untuk menunggu Blue
Fire saat maghrib saja, tapi langsung dilenyapkan dengan pernyataan Beliau,
“tapi jam 16.00 nanti petugas akan datang ke atas untuk mengecek dan meminta
pengunjung untuk kembali turun ke Paltuding”.
Lagi lagi kecewa.
Dari Pos
Bundar, perjalanan untuk sampai keatas masih sekitar setengah jam lagi. Jadi kalau belum sampai di Pos Bundar dan
bertemu dengan orang orang yang dalam perjalanan turun kemudian mereka bilang
“semangat, bentar lagi sampai kok.”, itu hanyalah semangat klise biar kita ga
menyerah (nyebelin ya gue buka rahasia).
Perjalanan
setelah Pos Bundar akan lebih ringan karena ada beberapa jalanan datar walau
masih banyak tanjakan yang harus dilalui.
Kabut pun mulai dapat disentuh dalam perjalanan setelah Pos Bundar. Setelah itu kalau sudah sampai di atas yaitu
Kawah Ijen, tenang saja capek kita akan terbayarkan bahkan hilang begitu
saja. Sesuatu yang sangat layak
diperjuangkan.
Pemandangan menuju Kawah Ijen |
Waktu trekking
yang dibutuhkan dari Paltuding ke Kawah Ijen sekitar 2-3 jam, tergantung banyak
istirahat atau tidak selama trekking.
Lebih baik kalau capek jangan dipaksa, istirahat saja, tidak perlu
terburu buru. Ketika sampai diatas,
harus selalu ingat untuk berjalan melawan arah angin agar asap belerang tidak
begitu menusuk pernapasan kita. Tapi
kalau tidak turun lagi ke Kawah Ijennya, hanya kecil kemungkinan asap belerang
sampai ke kita. Kalau sudah berhasil
sampai atas, kita akan disuguhi suasana dataran seperti yang ada di Mesir hanya
beda yang ini disediakan udara yang dingin.
Kami pun melanjutkan perjalanan mengitari mulut Kawah, keadaan jalannya
penuh dengan batu batuan besar. Kami
duduk beristirahat dekat dengan tanda larangan untuk turun ke bawah yang
terletak di tangga batu untuk kebawah.
Duduk sambil menikmati keindahan Kawah Ijen, mulai dari danau sulfur
berwarna hijau tosca, batu batuan yang kece abis, udara dingin ditemani sinar
matahari. Serius asik banget.
Sekitar
setengah jam duduk diam di mulut kawah, Mas Ua, Mba Ajeng, dan Al pun turun
duluan ke Paltuding meninggalkan kami berempat yang masih belum puas memanjakan
mata. Ketika kami melihat kebawah arah
danau, cukup takjub melihat ada orang yang berada di bawah sana, dan terlihat
sangat kecil sekali dari atas. Takjub
bagaimana bisa mereka turun kesana melihat medan yang jelas sekali cukup berat. Tidak berapa lama kami pun ingin mengambil
foto dengan berdiri di tangga batu.
Ketika sedang berfoto tiba tiba lewat dua orang Bapak penambang yang
mengajak untuk ikut turun ke bawah bersama mereka. Kami berdua bingung apalagi dengan jelas ada
larangan disebelah tangga. Setelah
bertanya berkali kali dan kedua Bapak ini tetap yakin kalau tidak akan apa apa,
kami pun turun kebawah dipandu kedua Bapak tersebut, disusul dengan Mas Rian
dan Edvin.
Perjalanan yang harus dilalui untuk sampai ke bawah |
“Beneran gak
papa untuk turun ke bawah Pak?”
“Iya, asal ada
pemandunya gak papa kok. Memang sempat
ada turis yang meninggal, tapi itu karena dia asal turun saja tanpa pemandu,
jadi dia belum tau medannya seperti apa.”
“Tapi emang
bener Pak cuma ada 2 Blue Fire di dunia?”
“Iya benar
itu, tapi cuma disini yang apinya abadi.
Mau hujan seharian apinya tidak akan mati.”
“Oh, terus
Bapak udah berapa lama kerja disini?”
“Baru sebentar
kalau saya, 25 tahun.”
“Buset, itu
sih bukan bentar Pak, lebih lama Bapak kerja disini dibanding saya hidup.”
Kami pun
tertawa sambil tetap berjuang untuk turun.
“Saya kerja
disini sejak umur 21 tahun. Orang tua
juga dulu kerja disini, ingin lebih baik tapi ya gimana, untuk sekolah
mahal. Biaya makan saja masih
susah. Inginnya juga anak saya nanti
bisa lebih baik.”
“Ohiya sih ya
Pak.” Karena bingung juga gatau harus
merespon apa dan sedih dengan keadaan Beliau.
Walau semakin
ke bawah semakin berbahaya, tapi itu semua berbanding lurus dengan keindahan
yang bisa kita nikmati. Penting banget
untuk turun ke bawah, jangan hanya berhenti di mulut Kawah Ijen. Ingat, hati hati, dan lebih baik bersama para
penambang belerang sebagai pemandu untuk mengurangi resiko terjadi hal yang
tidak diinginkan.
Lalu kami
berhenti sejenak di batu yang cukup besar (kurang tau apakah itu batu, yang
pasti pijakan yang cukup luas untuk beberapa orang), di tempat itu kami bertemu
dengan dua orang backpacker juga dari Solo, seorang wanita dan laki laki. Senang banget rasanya bisa bertemu dengan
mereka, walau baru kenal beberapa detik (bahkan tidak saling tukar nama), kami
langsung lancar bercerita satu sama lain, heboh dengan Banyuwangi. Setelah berbincang bincang ternyata mereka
juga ingin melihat Blue Fire dan rencana akan naik lagi nanti subuh jam 01.00. Tapi kami memberitahu kalau tidak akan diijinkan
naik oleh petugas di Paltuding. Lalu
kedua Bapak yang menemani kami pun mengusulkan untuk menunggu saja bersama
mereka di bawah sehingga bisa melihat Blue Fire saat maghrib nanti.
Kami pun
kembali bertanya berkali kali apakah akan aman dengan status yang masih waspada
2, ditambah lagi teman kami dari Solo tidak membawa masker. Kedua Bapak ini pun tetap meyakinkan bahwa
tidak akan ada apa apa. Memberi jalan
keluar untuk turun ke bawah dan beristirahat di tenda milik mereka, dimana
semakin dekat dengan asap belerang.
Kedua Bapak ini terus meyakinkan kami semua. Kedua orang dari Solo ini pun bertanya balik
kepada kami, kalau kami ikut mereka akan ikut, kalau tidak ya mereka tidak
mau. Saya bertanya pada HRP untuk
mengambil keputusan, kami pun mengiyakan, kapan lagi? Sudah sejauh ini.
Lalu laki laki
dari Solo ini pun kembali naik ke atas mulut kawah untuk mengambil tas dan
bertanya kepada dua orang lagi teman mereka.
Kiki, wanita yang bersamanya (akhirnya kami berkenalan) pun bercerita
tentang bagaimana mereka ke Kawah Ijen, dengan menggunakan truk belerang yang
banyak disarankan dari blog blog orang.
Kedua Bapak yang menemani kami pun memutuskan untuk pergi ke bawah
duluan dan menyarankan kalau nanti mau turun tinggal teriak saja memanggil nama
mereka.
Sesampainya
teman Kiki di bawah bersama dengan kedua teman lainnya, kami pun memulai untuk
kembali turun ke bawah, semakin dekat dengan danau sulfur. Perjalanan ini menjadi berdelapan orang. Sambil turun saya berbincang dengan laki laki
ini, sebut saja Onta agar lebih gampang (karena belum sempat berkenalan dan itu
sebutan yang sempat dia lontarkan ketika bercerita dengan saya), jadi mereka
berencana untuk ke Alas Purwo (tempat yang tidak kesampaian saya kunjungi), Red
Island, Green Bay, dan Baluran. Karena
hanya belum kesampaian ke Alas Purwo, saya pun banyak bercerita tentang
bagaimana cara untuk ke tempat tempat lainnya kepada Onta ini (dimana seseorang
yang ganteng dengan hidung mancung ala orang Arab campur Ambon, kece). Tapi ditengah jalan ke bawah kami berhenti
sejenak karena tiba tiba angin bergerak ke arah kami dan membawa asap
belerang. Kami berdiri membelakangi
danau untuk menghindari asap.
Lama kelamaan
banyak orang melewati kami untuk kembali naik ke mulut kawah, kami masih terdiam
menunggu dan berharap angin segera bergerak ke arah lain. Cukup lama menunggu, yang ada angin semakin
kencang ke arah kami dan asap semakin menyelimuti kami. Kiki pun berteriak memanggil nama saya,
dilanjutkan dengan Onta yang menyarankan untuk ke atas dulu saja. Terlambat untuk naik ke atas, asap belerang
sudah ada disekitar kami semakin banyak, kami berusaha berjalan ke atas lebih
cepat dan tetap hati hati. Jujur, saat itu
saya sudah berpikir apakah saya akan meninggal disana karena keracunan asap
belerang. Sempat saya berhenti karena
rasanya tenggorokan ditusuk tusuk dan sakit sekali. Bener benar berjuang melawan lelah untuk
menanjak ditambah dengan medan yang berbahaya, kami terus bergerak ke atas,
tertinggal dengan orang orang lain.
Sampai di
pijakan luas yang sebelumnya, kami istirahat sejenak, sementara Kiki dan
temannya sudah cukup jauh diatas kami.
Kami menunggu sejenak di tempat itu karena Mas Rian sangat kelelahan. Sepertinya Mas Rian sempat salah mengatur
pernapasan dalam menanjak tadi. Puji
Tuhan di tempat itu pernapasan sudah semakin membaik. Kami memang memakai masker, tapi itu tidak
cukup membantu, ada kalanya kita lebih baik membuka masker sehingga udara yang
kita keluarkan setelah menghirup asap belerang tersebut tidak terkumpul di
masker kita. Usahakan untuk tetap
tenang, pintar mengatur nafas, dan hati hati dalam melangkah, berdoa juga sih
paling penting.
Karena kami
menunggu Mas Rian yang beristirahat, kami pun memberitahu ke Onta dan teman
temannya untuk melanjutkan perjalanan ke atas lebih dulu. Karena kejadian itu kami pun berpisah dengan
Onta, Kiki, dan temannya.
Ijen Crater, Been There |
Kalau tidak
salah itu sekitar jam 15.00, jadi masih cukup panjang waktu untuk menunggu Blue
Fire terlihat. Udara semakin dingin
namun masih terbantu dengan sinar matahari.
Saat itu waktu yang tepat untuk benar benar memanjakan mata melihat
sepuas puasnya keindahan Kawah Ijen.
Rasanya seperti orang orang yang terdampar di daerah batuan dan mencoba
bertahan hidup, karena hanya ada kami berempat dan kedua Bapak tadi yang sedang
di bawah dekat danau sana. Benar benar
cerita yang jauh dari kata biasa.
Sempat
beberapa kali angin kembali bergerak ke arah kami, tapi Puji Tuhan tidak cukup
membuat asap belerang sampai ke tempat kami.
Saat itu saya berdoa agar diijinkan untuk melihat Blue Fire. Entah kenapa begitu penasaran dan ingin
menjadi salah satu saksi untuk melihat Blue Fire.
Semakin sore
semakin dingin, sunset dari tempat kami pun keren parah! Sebelum jam 5 sore,
seorang Bapak yang tadi pun naik ke atas sambil membawa belerang di
pikulannya. Beliau mengira kalau kami
sudah pulang dan menjelaskan kalau asap tadi karena ada kebakaran lalu
menyarankan untuk tunggu di tempat ini saja.
Beliau memberikan belerang yang sudah dicetak berbentuk kura kura ke
saya dan bercerita dengan kami semua.
Beliau cerita memang susah pekerjaan ini, resiko kesehatan dan resiko
keselamatan yang benar benar besar. Lalu
Beliau berkata, “Saya sempat mengecek kondisi paru paru saya ke dokter beberapa
waktu lalu, tapi menurut dokter paru paru saya baik baik saja, tidak terjadi kejanggalan
apapun. Alhamdulillah. Berani kerja, harus berani mati.” Nangis.
Sunset di Kawah Ijen |
Untuk kura
kura dari belerang tersebut, Bapak ini tidak meminta bayaran. Sempat saya mengembalikan karena tidak tahu
harus membayar berapa, tapi Beliau malah balik bertanya, “Loh emang gamau ini?
Ambil saja.” Baik banget pingin nangis.
Setelah Beliau
pergi, datang Bapak satu lagi yang memandu saya pertama kali (untuk nama tidak
saya sebutkan untuk keamanan Beliau, tapi kalau mau bertanya secara personal ke
saya bisa, saya ga bakal lupa nama mereka berdua). Beliau pun mengira kalau kami sudah pulang
karena kejadian asap tadi. Saat itu saya
bertanya bagaimana cara kami pulang nanti setelah melihat Blue Fire, kan
keadaan sudah gelap dan kami tidak bawa senter.
Lalu Beliau pun memutuskan untuk menemani kami dengan senter milik
Beliau. Disitu Beliau cerita lagi kalau
Blue Fire ini tidak padam karena kandungan sulfurnya yang 99% dan kita harus
bisa menikmati pekerjaan kita walaupun itu berbahaya. Belum lagi Beliau cerita pertama kali kerja,
Beliau mulai dengan membawa belerang seberat 70 kg dan belerang yang terberat
pernah Beliau bawa adalah 130 kg.
Superhero!
Bahkan melihat
saya yang kedinginan dan kondisi kami yang tidak punya air minum sedikit pun,
Beliau memberikan air minum miliknya ke saya (tanpa minta dibayar). Saya berkali kali menolak karena sebelumnya
sudah menitip minta dibelikan air putih ke Bapak sebelumnya yang menuju ke Pos
Bundar, tapi tetap saja Beliau memberikan air putih itu dan menyuruh saya
meminumnya.
Jam 17.15 kami
pun turun ke bawah untuk melihat Blue Fire sembari menunggu matahari benar
benar terbenam. Saya kembali dituntun
Beliau sepanjang perjalanan dan banyak cari tahu lebih dalam lagi. Masih cukup jauh juga untuk turun ke bawah
walau rasanya danau tersebut sudah di depan mata, ternyata masih panjang
perjalanan untuk dekat dengan danau tersebut.
Tapi kami tidak turun sampai ke dekat danau, karena menurut Beliau itu
berbahaya. Beliau membawa kami ke sebuah
pijakan yang cukup luas lagi, batas aman kami untuk melihat Blue Fire. Benar, sampai disana hari sudah gelap dan
Blue Fire pun terlihat. KEREN BANGET!
KECE! PECAH! PARAH!
Diperlukan
kamera sekelas DSLR minimal, karena dengan kamera smartphone yang lumayan bagus
ketika mencoba menangkapnya terasa sangat jauh.
Disaat itu kembali saya menyadari, mata itu lensa terbagus yang pernah
ada. Kalau mata bisa menangkap gambar
dan menjadikannya sebuah foto yang bisa diperlihatkan bukan hanya diotak kita
saja, mungkin sudah berapa gambar saya cetak dengan lensa mata saya ini.
Yang lebih
kerennya lagi, Bapak ini meminta smartphone HRP untuk mengambil gambar dengan
cara dia pergi lebih dekat lagi ke Blue Fire.
Kagum sekaligus khawatir ketika melihat Beliau berlari menuruni batu
batuan dan pergi sangat dekat dengan Blue Fire demi memberi kami gambar Blue
Fire yang bagus. Tidak hanya ke satu
spot, tapi Beliau berlari ke beberapa spot untuk mengambil gambar ditengah
tengah asap belerang yang udah gatau lagi banyaknya kaya apa. Kita sampai teriak teriak agar Beliau kembali
saja dan berhati hati.
Lalu Beliau
kembali dan dengan perasaan bangga menunjukkan gambar yang berhasil Beliau
dapatkan. Banyak banget dan keren keren
semua. Beliau hebat banget!
Kemudian
Beliau menyarankan untuk segera kembali ke atas sebelum semakin malam. Saya berada paling depan bersama Beliau,
sehingga berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti irama kecepatan Beliau. Sampai ditempat titik kami sebelumnya, Beliau
memberikan senternya kepada saya yang sama sekali tidak punya penerangan sama
sekali diantara berempat lainnya. Beliau
memikul belerang dan memimpin perjalanan ke atas. Saya berjalan dibelakang Beliau sambil
menyinari jalan di depan Beliau, tapi Beliau menolak dan berkata lebih baik
menerangi jalan di depan saya saja karena Beliau sudah hapal betul daerah
itu.
Sempat kami
kecapekan ingin istirahat, tapi tidak sanggup melihat Beliau yang memandu
sambil membawa belerang dibahunya.
Akhirnya HRP pun gantian menemani Beliau, sehingga saya dan dua orang
teman saya bisa istirahat sejenak.
Perjalanan ke mulut kawah pada malam hari terasa lebih panjang dari
sebelumnya. Mungkin karena efek gelap
dan kami habis turun ke bawah lalu kembali naik lagi jadi cukup kelelahan. Semakin dekat dengan mulut kawah, udara
semakin dingin dan angin semakin besar.
Benar benar dingin. Sampai di
mulut kawah, Beliau meletakkan keranjang belerangnya karena kecapekan sehingga
berencana untuk membawa besok pagi saja.
Di detik ini,
di saat ini, coba kalian berhenti sejenak untuk melihat ke langit. Lautan penuh bintang yang rasanya dekat dan
dapat diloncati. Gak perlu ke Boscha,
cukup disitu akan disuguhi pemandangan indah lautan penuh bintang.
Kembali dalam
perjalanan bersama Beliau menuju Pos Bundar.
Beliau berada di depan bersama HRP, saya di tengah sendiri, dan
dibelakang para pria. Mungkin sebenarnya
cukup mengerikan berjalan di dalam kegelapan dan hanya berlima. Tapi perasaan udah keburu takjub dengan Kawah
Ijen, Blue Fire, dan lautan bintang, keindahan yang bertubi tubi dalam waktu
dekat menghapus ketakutan selama perjalanan menuju Pos Bundar dan
Paltuding.
Untuk
informasi kalian, belerang yang dibawa sama semua superhero Kawah Ijen ini akan
ditimbang di Pos Bundar, dan uang yang mereka dapat adalah Rp 700 – 800 per kg,
jadi beban yang mereka bawa di bahu itu untuk sekali jalan dengan kondisi medan
yang gabisa saya jelaskan bahayanya seperti apa, dihargai sekitar Rp
56.000. Dan para penambang ini hanya
boleh 2 kali turun naik dalam sehari.
Perusahaan yang membayar mereka adalah perusahaan dari Surabaya, kurang
tahu nama tepatnya.
Sedih, kagum,
terharu, tersayat mendengarnya. Kembali
belajar setiap orang punya perannya masing masing di dunia ini. Ada yang harus seberusaha dan seberat itu
untuk mendapat Rp 50.000, ada yang duduk diam selama sejam di meja kantor dan
dibayar dua kali lipat dari mereka, ada yang bahkan sampai dibayar berkali kali
lipat lagi per jamnya tanpa harus memikul 70 kg di bahu dan berjalan sejauh 3
km. Walau untuk kerja kantoran beban
yang kita bawa memang tidak dapat diukur dan terlihat seperti belerang 70 kg
tersebut, mungkin saja otak kita membawa beban yang sama atau lebih berat
dibanding belerang 70 kg tersebut.
Nominal uang
yang sering saya gunakan tanpa berpikir panjang untuk dihabiskan di cafe atau
membeli barang tertentu, justru sangat dicari dan diperjuangkan oleh sebagian
orang di banyak belahan dunia lainnya.
Begitu juga nominal uang yang saya perjuangkan untuk mendapatkannya di
kantor, justru sering digunakan tanpa pikir panjang oleh orang orang yang sudah
punya banyak uang dan lebih mudah mendapatkan uang dibanding saya. Tergantung kita mau melihat ke atas atau ke
bawah. Atau mungkin lebih baik tidak
melihat ke bawah ataupun keatas sehingga kita bisa dengan lebih maksimal
menikmati dan mensyukuri peran yang kita dapat di dunia ini.
Beliau hanya
menemani kami sampai di Pos Bundar karena Beliau tugas bermalam disana. Saat berpisah di Pos Bundar saya berkali kali
berterima kasih dan berkata bahwa Beliau orang keren, hebat, super dengan
perjuangan yang Beliau lakukan setiap harinya.
Saya ingin mereka sadar walau mungkin ada beberapa orang yang meremehkan
pekerjaan mereka (mungkin karena tidak melihat sendiri perjuangan yang mereka
lakukan), saya harap mereka tahu bahwa mereka tidak kalah hebat dari orang
orang terkenal lain yang jasanya diakui oleh dunia. Bahkan sebelum melanjutkan
perjalanan ke Paltuding, Beliau mengambil banyak belerang yang diperjualbelikan
untuk diberikan kepada kita sebagai oleh oleh.
Jangan terlalu baik sampai ga rela kita tinggalkan dong Pak.
Perjalanan ke
Paltuding pun kami lanjutkan berempat ditengah kegelapan hutan dan cahaya hanya
dari handphone masing – masing. Awalnya
saya berpikir perjalanan tidak akan berat karena jalan yang menurun, tetapi HRP
sempat bilang kalau dia merasa lebih lelah karena harus menahan berat kita
sendiri. Lama lama baru terasa apa yang
dia bilang benar dan kembali saya yang paling cupu diantara mereka. Sejak awal saya sudah beberapa kali
terpeleset karena jalan yang berpasir sehingga cukup licin dan susah melawan
gravitasi, beberapa metode saya lakukan.
Mulai dari jalan sendiri dan pelan pelan dengan menumpang cahaya dari
smartphone mereka. Lalu mengikuti cara
Edvin yang berlari kecil sehingga lebih minim untuk terpeleset. Sampai akhirnya karena yang paling sering
terpeleset (ga kehitung banyaknya), Edvin pun menemani disebelah saya untuk
terus memegang tangan saya, yang paling parahnya saya sempat terpeleset dan
tidak bisa menahan diri sehingga sampai posisi jongkok pun badan saya terus
turun mengikuti pasir yang tidak bisa melawan gravitasi.
Beberapa kali
saya melihat ke belakang dan memastikan bahwa benar benar gelap keadaan di
belakang kami, cahaya yang ada hanyalah dari smartphone dan semua yang ada di
langit. Sepanjang perjalanan hanya
bertemu dengan 1 orang penambang, sisanya hanya kami berempat. Begitu melihat cahaya lampu dari pos
Paltuding, rasanya senang seperti sudah lama ga melihat peradaban manusia,
berasa abis melakukan petualangan dari tempat antah berantah dan mencoba
bertahan hidup berbulan bulan sampai akhirnya menemukan manusia dan tanda
kehidupan selain kami berempat.
Sampai di Pos
Paltuding sekitar jam 19.00, tanpa pikir panjang saya langsung memesan indomie
goreng walaupun tadi siang sudah memakan indomie, yang penting perut diisi
dulu. Setelah makan mencoba tidur
sebentar di kursi bambu, tapi ga tahan hanya beberapa menit langsung terbangun
lagi karena udara yang cukup dingin.
Diantara kami berempat, cuma saya manusia yang kedinginan. Jam 20.00 kami pun melanjutkan perjalanan
kembali ke Banyuwangi. Kegelapan masih
belum selesai kami lalui hari itu.
Dengan kondisi
udara yang semakin malam akan semakin dingin dan hanya kami manusia yang akan
menyusuri perjalanan dari Paltuding ke Banyuwangi malam itu. Memang jalan bagus, garis jalan pun terlihat
jelas, rambu jalan juga masih bagus, tapi kanan kiri sepenuhnya hutan dan
cahaya hanyalah dari kedua lampu motor kami.
Kami sudah sepakat untuk pelan pelan saja kecepatan 20-30 km/h (itu saja
masih cukup dingin). Lama kelamaan,
gelapnya malam mulai mempengaruhi kami untuk lebih baik menambah
kecepatan. Bahkan ditengah jalan sempat
hujan sehingga Mas Rian harus berhenti dulu untuk mengambil jas hujan dan saya
dengan pura pura berani turun dari motor menunggu Mas Rian selesai menggunakan
jas hujan.
Lumayan
menakutkan dan mata pun seringkali melihat sekeliling untuk memastikan tidak
ada apa apa. Dalam perjalanan pun berdoa
supaya tidak terjadi apa apa dan hujan segera berhenti. Tidak lama hujan berhenti dan saya hanya mau
bernyanyi nyanyi sendiri saja untuk menghindari pikiran pikiran negatif.
Di perjalanan,
Mas Rian berkata, “kalian itu termasuk beruntung, semua dilancarkan.”
“kan berdoa
dulu Mas.”
“tapi memang
benar loh, semuanya lancar aman dan semua kalian dapat. Hebat.”
“Tuhan
sediakan Mas semuanya.”
Karena memang
benar segala kelancaran perjalanan kami ini yang dianggap nekat dan berani oleh
beberapa orang, semuanya disponsori oleh Wonder J. Yang bahkan charger handphone pun Dia
sediakan. Satu lagi yang saya pelajari,
ketika saya meminta untuk melihat Blue Fire dan kesampaian, hal yang saya
inginkan saja dikasih, apalagi hal yang saya butuhkan. Jadi gausah khawatir selama mengandalkan
Wonder J.
Kami sampai di
Banyuwangi sekitar pukul 21.30. Sebelum
ke penginapan kami mampir dahulu ke rumah Om Shandi untuk pamit karena besok
pagi sudah harus pulang menuju Jogja. Om
Shandi banyak bercerita tentang tempat wisata di Banyuwangi, lalu cerita juga
dulu dia sampai 2 minggu sekali ke Kawah Ijen.
Pernah kecelakaan, di hadang kanan kiri dan belakang dalam perjalanan
pulang, tapi kuncinya harus tetap berpikir positif.
Ketika sampai
penginapan saya bahas dengan HRP maksudnya apa kecelakaan yang dialamai oleh Om
Shandi, barulah saya mengerti setelah dijelaskan oleh HRP dan kembali bersyukur
perjalanan kami benar benar dijaga sehingga luka sedikitpun gada.
Rabu pagi kami
check out dan di depan gerbang sudah ada Bapak supir Lyn yang menawarkan untuk
menjemput kami di hari sebelumnya. Kami
pun berangkat menuju stasiun Banyuwangibaru yang tidak jauh dari hotel, mungkin
kurang dari 10 menit. Di gerbang
stasiun, Bapak tersebut berhenti dan menawarkan untuk membeli nasi bungkus
sebagai bekal di kereta. Nasi bungkusnya
cuma Rp 5.000 udah sama ayam dan tempe.
Lalu saya dan HRP sempat berdiskusi harus bayar berapa ke Bapak supir
ini. Sampai di pintu stasiun karena
bingung harus bayar berapa, HRP pun bertanya, dan kalian tahu biaya yang
diminta Beliau? Rp 10.000 saja untuk berdua.
Sama saja dengan naik Lyn biasa tanpa harus dijemput, kami kira akan
lebih mahal karena Bapak ini sudah menjemput dan tidak mencari penumpang lain,
tapi ternyata sama saja. Aduh banyak
banget orang baik yang disedikana dalam perjalanan kali ini dan hal ini yang
membuat kami ingin balik lagi ke Banyuwangi.
Total biaya
yang saya keluarkan untuk perjalanan kali ini mungkin sekitar Rp 800.000, sudah
termasuk tiket PP kereta api (yang bisa didapat lebih murah 50.000),
penginapan, bayar bensin teman teman yang mengantar, dan mentraktir teman teman
Banyuwangi setiap kali makan bersama mereka.
Perjalanan ini berlangsung selama satu minggu, Jumat malam berangkat
dari Bandung dan Jumat pagi minggu berikutnya sudah sampai di Bandung.
Tentunya saya
ingin kembali kesana, entah dalam waktu dekat atau akhir tahun ini ketika
Banyuwangi ramai dengan festival, belum lagi ingin melihat musim kawin merak
dan rusa di Baluran. Tapi mungkin bisa
saja Agustus ini akan kembali kesana menemani teman saya yang lainnya yang jadi
tertarik untuk kesana. Lagian belum
kesampaian juga mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo yang ga kalah kece dari
Baluran dan punya ombak terbesar setelah Hawaii. Belum lagi ada beberapa tempat wisata baru
yang akan dibuka dalam waktu dekat, lalu ke Pulau Menjangan, atau bahkan
menyebrang ke Bali dengan biaya Rp 7.500 saja untuk sampai ke Gilimanuk. Masih banyak tempat yang ingin saya datangi
di Banyuwangi. Jadi kalau ada yang
berminat ke Banyuwangi setelah membaca cerita saya yang beneran panjang ini,
jangan ragu ajak ajak saya. Hati saya sebagian
sudah tertinggal di Banyuwangi, bahkan kalau memungkinkan mau menjadi duta Banyuwangi
ditambah kami punya hari jadi yang sama.
Please ajak gue! Lagian emang punya temen di Banyuwangi? Gue punya loh!
Haha.
Untuk penyewaan
motor di Banyuwangi mungkin hanya ada satu tempat, bahkan orang Banyuwanginya sendiri
pun tidak tahu. Lebih baik menyewa mobil
dan lebih asik kalau pergi dengan banyak orang agar bisa patungan lebih
murah. Dan satu lagi, beneran diperlukan
orang lokal untuk pertama kali kesana. Sebelumnya
saya juga pernah hanya mengandalkan GPS dan penunjuk arah di kota Jogja dan Bali,
tapi metode itu kurang bisa diandalkan kalau di Banyuwangi. Tidak apa apa kalau kalian mau merasakan
sensasi tersasar.
Satu lagi,
untuk fakta Blue Fire yang hanya ada dua di dunia. Ada kemungkinan bahwa Blue Fire sebenarnya
hanya ada satu di dunia yaitu di Kawah Ijen.
Karena kalau saya cari keywords Blue Fire di google, akan keluar Iceland
memang, tapi itu adalah nama Roller Coaster terbesar di dunia. Memang Iceland punya Kawah, tapi sepertinya
tidak memiliki Blue Fire seperti di Kawah Ijen.
Tapi kurang tau juga ya, kalian bisa coba cari sendiri informasinya di
google. Kalau salah bisa tolong
dibenarkan informasi di tulisan saya ini.
Lalu untuk ke Kawah Ijennya sendiri, menurut saya lebih enak kalau
trekking pada pagi atau siang hari dan melihat Blue Fire pada saat maghrib
daripada baru mulai trekking saat subuh, karena Blue Fire tidak hanya terlihat
waktu subuh saja kok. Menghindari udara
yang semakin dingin juga.
Akhir kata,
untuk siapapun yang berhasil membaca sampai paragraf ini, terima kasih! Semoga tulisan
ini cukup informatif bagi kalian. Saya
tunggu ajakan untuk kembali ke Banyuwangi.
Semoga tidak
ada cerita yang tertinggal dari perjalanan dalam perjalanan ini. Sebuah perjalanan lain dalam perjalanan hidup
ini. Satu cerita (bahkan banyak cerita)
tambahan lagi yang telah siap dibagikan untuk anak di esok hari.
Salam keindahan dari kaki yang telah menginjak Kawah Ijen, tangan yang menyentuh kerasnya Kawah Ijen, paru paru yang berjuang melawan belerang, badan yang menahan udara dingin alam, dan juga mata yang telah melihat Blue Fire beratapkan lautan penuh bintang.
Banyuwangi. Sunrise of Java. The Hidden Superstar.
************************************pictures mostly taken by Helena Return Pingkan**************************************
itu sepatu2 kalo mau difoto dicuci dulu dong wkwkwkwkwk
ReplyDeleteBawel deh kaya ibu ibu dharma wanita
Delete..
ReplyDeleteHai kak salam kenal, nama saya Ranu. Saya mau nanya2 tentang Baluran dong kak, ada nomer yang bisa dihubungi ga ya? makasih
ReplyDeleteHi Ranu, salam kenal. Email ke aku dulu aja : gita.advina@yahoo.com :)
ReplyDelete