Monday, June 16, 2014

Prabowo, Korupsi, dan Karakter Indonesia

Sabtu lalu saya pergi berlari sore bersama satu teman saya lalu kami lanjutkan untuk mencari makan ke daerah Gatsu dengan menggunakan motor.  Di salah satu lampu merah, kami menemukan tiga mobil yang berhenti di ruang henti khusus sepeda motor.  Kami berdua cukup cerewet untuk hal hal yang melanggar peraturan lalu lintas.  Saat itu teman saya yang mengendarai motor pun langsung mencari tempat dan berhenti di sebelah salah satu mobil tersebut, kemudian berbicara secara tidak langsung ke pengendara itu “ini tempat berhenti motor, bukan mobil.”  Entah terdengar atau tidak oleh pengendara tersebut.  Saya hanya diam dan memikirkan beberapa hal. 

Ada yang menarik, saya berpikir, apakah dengan cara teman saya seperti itu akan membuat pengendara tersebut tidak akan berhenti di ruang henti khusus atau bahkan akan tetap saja melakukannya?  Lalu bagaimana kalau pengendara tersebut diberitahu secara langsung dan baik baik, apakah dia akan menurutinya atau bahkan punya pembelaan kuat?  Misal, saya melihat pengendara motor lainnya, apakah mereka menggunakan ruang henti khusus tersebut? Tidak.  Banyak dari mereka yang berhenti di zebra cross bahkan di depan zebra cross.  Saya kurang tahu alasannya, apakah karena ruang henti khusus telah habis dimakan oleh pengendara mobil atau memang mereka masih merasa kurang depan dengan diberikannya ruang henti khusus. 

Kalau seperti itu harus bagaimana dong? Pengendara mobil bisa saja menjawab, “Kan pengendara motor juga tidak menggunakan ruang henti khusus ini, jadi kenapa tidak saya pakai saja?”

Atau kalau kita coba bertanya kepada pengendara motor, “Yah kan kalo saya berhenti di zebra cross juga penyebrang masih bisa menyebrang.” Bahkan mungkin, “Kalo saya berhenti di depan zebra cross juga ga bakal ganggu pengendara dari arah lain, kan jalanan masih luas tuh.”

Tipikal orang Indonesia, sudah diberikan fasilitas dan peraturan untuk mencapai kenyamanan bersama, tapi tetap saja lebih mementingkan kenyamanan diri sendiri. 

Karakter orang Indonesia ini membawa pikiran saya berjalan ke beberapa hari ke belakang.  Salah satu pernyataan Prabowo yang membuat saya menarik kesimpulan untuk tidak memilih Beliau.  Beliau berkata, “Untuk mengurangi korupsi kita harus menaikkan gaji pejabat.”

Sebentar.  Gaji pejabat dan korupsi.  Kalau menurut saya, itu bukan dua hal yang mutlak akan berbanding terbalik.  Gaji pejabat, itu bukan satu variabel yang dapat menjamin menurunnya angka korupsi, lagipula ada variabel lain yang harus ikut andil diukur dan diharapkan dapat berbanding lurus dengan kenaikan gaji pejabat ini, misalnya tingkat kinerja dan loyalitas para pejabat dalam melayani masyarakat, yakin akan berbanding lurus dengan dinaikkannya gaji pejabat?

Korupsi, variabel utama yang mempengaruhi naik turunnya angka korupsi bukanlah gaji pejabat, melainkan sistem manajemen pengawasan (seperti kekurangan yang berhasil dideteksi oleh Jokowi). 

Jadi menurut saya, pernyataan Prabowo itu mungkin untuk menarik perhatian para pejabat untuk memilih Beliau.  Bukan sebuah kesadaran Prabowo akan karakter yang melekat pada bangsa ini.  Terlihat jelas dengan cerita cerita yang dapat kita temui sendiri di lampu merah sepanjang jalan negara ini.  Pasti kita akan sering menemukan fenomena para pengendara yang dengan santainya tidak menggunakan fasilitas yang ada dengan benar untuk kenyamanan bersama. 

Contoh lain, (ini saya dapat dari teman saya) orang Indonesia lebih banyak terganggu dengan pasangan yang mengumbar kemesraan di tempat umum dibanding orang orang yang membuang sampah sembarangan.  Kalau dipikir, apa sih yang merugikan kita dengan melihat sepasang manusia berciuman di tempat umum?  Lebih rugi lingkungan kita kotor karena banyak yang membuang sampah sembarangan atau kerisihan diri kita sendiri dengan melihat orang berciuman? 

Kenyaman diri sendiri lebih unggul dibanding kenyaman bersama.  Itulah salah satu karakter dasar orang Indonesia.  Masih banyak para pengendara mobil bahkan mobil dengan merk ternama membuang sampah sembarangan dari jendela mobil, kalau kata dosen saya, “orang orang seperti itu tidak pantas punya mobil, tidak menunjukkan pendidikan.”  Ngapain lo sekolah tinggi tinggi, punya mobil bagus, tapi masih aja gatau dimana buang sampah yang benar. 

Contoh lain, banyak pengendara baik mobil dan motor yang tidak memberi jalan pada para penyebrang.  Alasannya? Nanggung, lagi buru buru, telat.  Para pengendara merasa lebih memiliki jalan dibanding para pejalan kaki, sehingga lupa untuk menghargai para pejalan kaki.  Bahkan sering kan melihat para pengendara motor menggunakan trotoar untuk menghindari macet dan mengklakson pejalan kaki agar tidak menghalangi jalannya.  Ga cukup memonopoli jalan, trotoar pun dimonopoli oleh para pengendara.  Kenyamanan bersama? Bukan.

Menaikkan gaji pejabat merupakan kenyamanan bersama? Bukan.  Mengurangi korupsi merupakan kenyamana bersama? Ya.  Tapi apakah menaikkan gaji pejabat adalah satu faktor yang penting dan utama untuk mengurangi korupsi? Silahkan dijawab sendiri dengan meneliti lebih lanjut mengenai karakter bangsa ini. 

Ada satu lagi karakter yang sangat mencolok dari bangsa kita ini.  Lagi lagi saya sering temukan ini di lampu merah.  Pengikut! Followers! Mau membuktikan? Bisa.  Ketika di lampu merah dan kita ada di barisan paling depan dan yang pertama berhenti, cobalah berhenti sesuai peraturan yang ada, di belakang zebra cross.  Tunggu dan lihat para pengendara lain, ikut berhenti atau akan lebih maju dengan kita.  Kemungkinan besar para pengendara lain akan mengikut kita berhenti di belakang zebra cross.  Tapi, kalau ada satu saja pengendara yang berhenti (atau bahkan kita bisa coba untuk menjadi pengendara yang satu ini) di depan zebra cross, lihatlah berapa banyak pengendara yang akan mengikuti perbuatan satu orang ini.  Coba dan buktikan sendiri.

Karakter yang menjadi kelemahan bangsa ini.  Tapi juga sebuah karakter yang bisa dijadikan kekuatan bangsa ini.  Dimana letak kekuatan kita, disitu jugalah ada kelemahan kita.  Dan dimana kita menemukan kelemahan, cobalah pakai kelemahan itu sebagai kekuatan kita. 

Dengan karakter pengikut ini, hal yang dibutuhkan untuk menjadikannya sebuah kekuatan adalah menjadi seorang inspirator.  Inspirator yang selalu berusaha untuk melakukan hal yang benar demi kenyamanan bersama.  Inspirator yang akan menginspirasi bangsa dari segala lapisan.  Inspirator yang melayani dan mengenal karakter bangsa ini.  Satu inspirator akan menghasilkan banyak pengikut yang kemudian berbuah menjadi inspirator lainnya.  Karena karakter pengikut, selalu membutuhkan seorang inspirator untuk diikuti.

Saya ga bilang inspirator ini adalah Jokowi, tapi dari kedua kandidat Presiden yang ada, Jokowilah yang mempunyai karakter inspirator yang dibutuhkan bangsa ini (berdasarkan hal hal yang saya amati dari kehidupan sehari hari). 

Saya bukan mengajak para pembaca untuk memilih Jokowi, saya disini mengajak kita semua untuk mengenali karakter bangsa ini, karakter calon pemimpin kita, karakter pemerintah kita.  Sehingga kita bisa memilih dengan bijak apa yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa ini. 

Untuk menyelamatkan bangsa, tidak hanya perlu pemimpin yang bijak, melainkan juga dilengkapi dengan pemerintah yang bijak dan masyarakat yang bijak dalam memilih, dari hal memilih untuk mentaati peraturan lalu lintas, membuang sampah pada tempatnya, tidak menggunakan uang negara untuk kenyamanan bersama, sampai bijak dalam memilih pemimpin yang bijak dalam memimpin dan melayani bangsa. 

Jika menurut kalian memilih Prabowo adalah hal yang bijak, silahkan.  Jika menurut kalian memilih Jokowi adalah hal yang bijak, juga silahkan.  Bijak dalam memilih, bijak dalam menggunakan hak suara, bijak dalam mengenali karakter bangsa ini, dan diri kita sendiri.  Bijak dalam menyelamatkan bangsa ini. 

Kalimat terakhir untuk menutup tulisan ini, kata kata yang saya dapat dari seorang pendeta satu minggu yang lalu.

“All good things are hard to achieve and all bad things are easy to get.  So, stay away from easy things.”



Selamat datang Indonesia bijak :)

No comments:

Post a Comment