Pagi ini saya
berangkat ke kantor dengan meninggalkan sepeda dan beralih menjadi pengguna
jasa Bapak Ojek. Sembari duduk di motor
Bapak Ojek, saya melihat langit biru di atas kepala saya, lalu kemudian
tersenyum sendiri menikmati kehidupan di bawah langit biru ini sambil berbisik,
‘terima kasih Tuhan’.
Sore hari
setelah pulang kantor saya berjalan kaki sendiri menuju satu minimarket
terbesar di kota kecil ini, saya berjalan santai menikmati suasana sore yang
penuh dengan angin Kurima dan berpapasan dengan banyak masyarakat lokal. Teringat beberapa bulan pertama di Wamena,
sulit sekali rasanya untuk menikmati kota ini sendirian. Setiap kali jalan kaki ketika berangkat dan
pulang dari kantor, selalu dengan kecepatan kaki seperti yang sedang berlomba
jalan cepat. Susah sekali menikmati
dengan tenang keindahan alam yang disuguhkan di sekeliling lewat langit biru,
bukit bukit kecil dengan kehijauannya, dan rentetan pegunungan yang
mengelilingi Wamena dengan berbagai keunikan bentuknya. Keinginan untuk menangkap dalam kamera setiap
keindahan yang ditemui terpaksa tertahan karena pola pikir yang sudah
ditanamkan duluan oleh teman teman disini, ‘banyak kejahatan’.
Hari ini tiap
pagi bersepeda ke kantor pun sudah dengan tenang membagikan senyuman kepada
banyak orang di jalan, mengucapkan selamat pagi baik kepada orang yang dikenal
maupun tidak kenal. Berjalan kaki sore
sambil dengan tenang memberi kontak mata kepada masyarakat lokal yang
berpapasan sembari memberi senyuman selamat sore. Sepertinya dulu saya selalu fokus dengan
kecepatan kaki saya berjalan dan menghindari kontak mata, karena yang ada
dipikiran saya adalah, ‘hati – hati, mereka bisa berbuat jahat’. Ya mungkin memang sempat saya punya
pengalaman dipegang pergelangan tangan saya oleh seorang mabuk ketika sedang
berjalan kaki sendirian atau orang mabuk yang dengan sengaja menghalangi saya
yang sedang bersepeda, tapi hari ini saya menyadari, saya sudah ditahap bisa
menikmati Wamena. Tidak semua mereka
yang tidak kita kenal mempunyai niat jahat.
Tidak semua dari mereka ingin mengganggu kita.
Ketika saya
mulai bisa menikmatinya, saya lebih banyak bertemu dengan masyarakat yang
dengan tulus ingin menyapa dan ingin berbagi senyuman. Atau mungkin lebih tepatnya saya ungkapkan,
‘saya semakin sering bertemu dengan ketulusan dan senyuman dari masyarakat
lokal dan itu membuat saya mulai bisa menikmati Wamena’.
Bukan berarti
kota ini sudah bisa dibilang ‘aman’, cuma terkadang kekhawatiran itu membuat
kita lupa untuk menikmati apa yang tersedia dan menolak memberi kasih melalui
senyuman dan pikiran positif kepada orang orang yang kita temui di jalan. Saya masih sering kok bertemu dengan keusilan
kaum adam ketika bersepeda ataupun berjalan kaki sendirian, bedanya saya sudah
bisa tenang menghadapinya, bukannya dengan tiba tiba ikut latihan jalan cepat,
tapi dengan memasang muka datar dengan tatapan mata tajam memandang mereka dari
atas ke bawah dan tidak akan melepaskan pandangan sebelum mereka berhenti
memandang saya atau bisa juga pura pura tidak punya telinga ketika mendengar
celotehan ga penting mereka yang berusaha menarik perhatian saya.
Saya pernah
diikuti oleh seorang laki laki yang berusaha ingin kenalan dengan saya, tapi
saya menoleh ke dia pun tidak. Terus
terjadi sampai beberapa kali, setiap kali bertemu di jalan, dia pasti akan
mengikuti saya. Sampai suatu kali dia
terus mengikuti saya yang sedang bersepeda pulang dari mengajar, dia terus
ikuti saya di samping sambil terus berusaha mendapatkan nama dan nomor telfon
(bahkan kepala saya menoleh ke dia atau suara saya keluar untuk bicara dengan
dia pun tidak), saya mengayuh sepeda dengan santai, tidak ke arah rumah, lalu
dengan percaya dirinya saya belok ke kantor polisi dan melihat dia dengan
tatapan sinis, baru dia kaget dan berhenti mengikuti saya. Kaum adam yang saya bicarakan di sini bukan
saja masyarakat lokal, tapi pendatang juga.
Iya saya tahu
Wamena bukan sebuah kota yang aman, apalagi bagi seorang perempuan, tapi saya
belajar untuk tidak membuat pandangan ‘ketidakamanan’ itu sebagai alat yang
membuat kita gagal menikmati keindahan yang tersedia, entah itu keindahan alam
sekitar maupun ketulusan masyarakat sekitar.
Karena sikap berhati – hati bukan berarti menutup diri untuk menyentuh
Wamena dengan hati. Runtutan kejadian
kriminal yang terjadi hanyalah satu sisi dari sebuah lembah di tengah
pegunungan Jayawijaya ini, masih banyak sisi lain yang bisa kita lihat dan raih
untuk bergandengan tangan bersama.
Saya
bersyukur, saat ini punya rutinitas kehidupan yang bisa berangkat dari rumah
sepuluh menit sebelum jam masuk kantor dan tidak terlambat karena alasan macet. Jam 4 sore saya sudah bisa ada di rumah
setelah sebelumnya sempat belanja dulu ke pasar tradisional untuk bahan makan
malam dan sarapan esok pagi.
Saat ini kota
besar sebagai tempat menetap sedang tidak menjadi pilihan saya, kini kota besar
adalah tempat berlibur dan bertemu dengan keluarga dan sahabat. Bukan lagi sebuah kebutuhan primer untuk
tinggal di sebuah kota besar yang memanjakan diri dengan segala fasilitas yang
tersedia, terkadang kepuasan bisa ditemui di kota yang hanya butuh 30 menit
bersepeda untuk mengelilinginya. Kecemburuan
sudah tidak dimiliki oleh teman yang mempunyai gadget ter up to date, karena
untuk berhasil mendapat sinyal saja sudah bersyukur. Definisi gengsi sudah bukan tentang apa saja
yang sudah saya miliki, tapi kini gengsi adalah tentang apa saja yang sudah
saya lakukan untuk orang banyak.
Memang saya
belum melakukan banyak hal atau mungkin belum melakukan apa apa juga untuk
orang banyak, memang juga saya terkadang cemburu melihat teman teman di Jawa
sana bisa makan enak di franchise kesukaan saya, ataupun cemburu melihat teman
teman saya berkumpul dan tertawa bersama.
Tetapi itu semua belum cukup berhasil membuat saya menyesal meninggalkan
zona nyaman saya dan berjuang menikmati suka duka yang ada di tempat ini. Bukankah kita harus berani melangkah untuk
mau berkembang dan dibentuk? Seperti
memberi diri dengan sepenuh hati untuk dibentuk, tanpa tahu akan dibentuk menjadi
apa, hanya berbekalkan keyakinan ‘kita sedang dibentuk untuk menjadi indah,
apapun itu bentuk akhirnya nanti’. Tidak
lupa untuk membuka diri kepada pandanganNya sehingga kita berhasil menikmati
setiap tawa dan luka yang ada atau akan dihadapi nanti. Susah sih dan pasti akan susah, tapi …
bertahanlah! Karena Dia pun selalu bertahan untuk kita…
No comments:
Post a Comment