Jadi ingat, tahun 2011 menemani
teman – teman dari Jepang mengunjungi satu perkampungan di daerah dago pojok
saja saya sudah nyaris tidak sanggup menyelesaikan anak tangga yang ada, tapi
sekarang setelah hampir 5 tahun berlalu ternyata kaki ini telah sanggup
berjalan naik turun gunung dan lembah selama 5 jam sekali perjalanan untuk mencapai sebuah
kampung bernama Hitugi yang terletak di Kabupaten Yahukimo, Papua.
Setelah menemani teman – teman dari
Jepang, saya menyadari tubuh ini kurang kuat dalam hal menanjak, sehingga saya
sedikit membenci ketika diajak naik gunung oleh teman – teman, karena saya tahu
saya lemah ketika harus menghadapi tanjakan dengan kedua kaki ini.
Di tahun 2014 saya beranikan diri
pergi ke Kawah Ijen, dengan alasan ingin melihat ‘blue fire’ satu – satunya di
dunia itu. Kembali saya akui saya memang
lemah menghadapi tanjakan, hanya berapa langkah kemudian minta istirahat, terus
berulang seperti itu sampai akhirnya berhasil tiba di bibir kawah. Tidak sampai di bibir kawah saja, saya pun
ikut turun mendekat ke danau sulfur saking penasarannya ingin melihat blue fire
di jarak paling aman yang terdekat. Buat
saya itu perjalanan tidak gampang, medan yang curam, udara yang sangat dingin, persiapan
yang kurang matang. Tidak pernah
menyesal untuk hal itu dan sahabat perjalanan menemukan karakter diri saya yang
tersembunyi,“rasa penasaranmu lebih besar daripada kelemahanmu, kamu memang lambat tapi rasa penasaranmu yang besar membuatmu berhasil menyelesaikan Kawah Ijen.”
Setelah dari Kawah Ijen, saya dan
sahabat berjalan kaki dari Hutan Raya Dago sampai ke Tebing Keraton, mungkin
sekitar 1 – 2 jam perjalanan sekali jalan.
Setelah itu, 3 minggu pertama di Wamena, saya ikut trekking bersama
teman – teman kantor ke bukit Veraweh. Perjalanan
sekitar 3 jam sampai di atas karena saya sangat lambat dalam setiap tanjakan
dengan tubuh yang masih beradaptasi dengan udara di Wamena, sangat mudah kehabisan
tenaga dan nafas. Sembilan bulan
terakhir tiga kali ke Habema dan selalu turun sampai danau, memang perjalanan
tidak begitu melelahkan, tapi cukup untuk melatih kaki dan nafas yang manja ini.
Kaki ini juga pernah bersepeda
dari Wamena kota sampai Jembatan Kuning di Sogokmo, perjalanan 4 jam pulang
pergi, kehabisan air, kepanasan karena berangkat terlalu siang, bekal makan
sudah habis, tapi tetap berhasil kembali ke kota. Sempat juga mengayuh sepeda sampai ke gunung
susu walau pulang berjalan kaki mendorong sepeda karena ban sepeda bocor dan
baru menemukan tambal ban di kota.
Perjalanan ke Hitugi kemarin
adalah perjalanan paling jauh sampai saat ini.
Saya sendiri masih belum percaya saya sanggup (mungkin lebih
tepatnya ‘disanggupkan’). Walau di dua
tanjakan terakhir ada adik laki – laki yang sangat berbaik hati membawakan
ransel saya. Di tanjakan terakhir tenaga
saya hanya sanggup berjalan 10 cm per menit kemudian istirahat. Perjalanan ini memang cukup lucu, saya
dijanjikan perjalanan hanya selama 3 jam trekking, pada kenyataannya saya
bertanya 3 kali “berapa lama lagi?” dan orang – orang yang menjawab
selalu memberi jawaban yang sama, “2 jam lagi”.
Kalau ditotal berarti sudah 6 jam kami berjalan.
after reaching the first uphill: still 4 hours more trekking to Hitugi taken by : Tarsi |
Kampung Hitugi, Kabupaten Yahukimo |
Perjalanan pulang esok harinya lebih mudah, sedikit tanjakan dan lebih banyak turunan. Pemandangan pun lebih bisa dinikmati, mungkin karena beban sudah berkurang. Sebelum sampai di mobil harus menyeberang Kali Yetni, satu tantangan terakhir sebelum semua berakhir. Kalau tidak ada tangan yang terulur, mungkin saya sudah baku ikut dengan air Kali Yetni.
“Apalah saya ini yang masih
sering menyakiti Dia dengan sadar dan sengaja, tapi Dia tetap indah dan
mengasihi dengan setia.”
Satu hal
terakhir, masih sama seperti tulisan saya dalam perjalanan ke Veraweh :
Trekking itu seperti melakukan perjalanan hidup, yang
penting bukan seberapa cepat sampai di tujuan, tapi tetap kembali melangkah dan
mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah. Lawan dalam trekking adalah diri
sendiri, sama juga seperti hidup. Teruslah
melangkah, jangan berhenti, ambil waktu untuk istirahat itu wajar, tapi
mengambil keputusan untuk kembali melangkah adalah keputusan yang layak
diambil, karena kita tidak tahu apa yang sedang menunggu kita di depan untuk
tetap melangkah melawan kemalasan diri sendiri.
Segala sesuatu yang indah, layak diperjuangkan. Lebih baik kita berjuang untuk sesuatu
yang indah walau kita belum tahu seberapa indahnya itu, daripada kita berhenti
berjuang dan kembali berjalan mundur untuk melihat yang sudah pernah kita lihat.
Kaki ini telah dilatih sebelumnya
tanpa saya sadari, berhasil menginjak Hitugi bukan sebuah hasil tanpa proses
belaka. Tanjakan seperti sebuah masalah
dalam hidup yang sering membuat kita lemah, merasa tidak mampu, dan malas untuk
melewatinya. Padahal di ujung tanjakan ada
sebuah pemandangan indah yang bisa kita nikmati jika kita mau tekun melangkah
dan bersandar pada pengertianNya untuk menyadari hal yang tersembunyi itu. Memang kita juga tidak tahu berapa lama jeda
waktu untuk kembali bertemu dengan tanjakan selanjutnya, tapi selama kita
menyadari Siapa yang selalu ada di samping kita untuk menemani dan memampukan,
bukankah tanjakan menjadi lebih ringan untuk dihadapi? Dan ketika kita melihat kebelakang, ternyata
sudah banyak tanjakan yang sudah kita hadapi, kaki ini sudah terlatih
menghadapi tanjakan selanjutnya (karakter kita sudah terlatih untuk menghadapi
masalah selanjutnya). Ketika kita tidak lagi berfokus terhadap 'masalah' yang ada, tapi fokus menyadari 'Siapa' yang ada bersama kita. Bersyukur untuk
proses, bersyukur untuk hasil.
Bukan saya mampu, tapi saya dimampukan oleh Dia yang selalu setia dan bersedia menjadi kekuatan saya. Bersyukur untuk Dia yang memampukan kita.
No comments:
Post a Comment