Perjalanan dimulai ketika Sintike muncul di pintu ruangan
kantor dan berkata, “besok kita mau trekking, ko mau ikut?”
Tanpa pikir panjang tentu saja saya langsung jawab, “mau!”
Pulang kerja langsung belanja air minum 1,5 L yang ternyata
harga di tempat termurah disini adalah 20ribu rupiah, menyesal harusnya sebelum
kesini bawa banyak tempat bekal dan air minum.
Sabtu pagi jam 7.30 Sintike sudah sampai di rumah dengan
sepedanya, kami berangkat ke Pasar Wouma dengan ongkos becak 20ribu. Tidak terlalu jauh, tapi harga transportasi
segitu sudah biasa disini.
Perdana di pasar Wouma, melihat sayur yang dijual oleh mama
mama yang diambil langsung dari kebunnya, besar besar sekali. Sayur sayur itu tumbuh tanpa diberi pupuk sedikitpun,
benar benar organik. Hal yang lebih
mengejutkan lagi adalah ada beberapa babi yang berjalan dengan santai di pasar,
bukan sekedar babi kecil, tapi babi besar, ada yang pink ada juga yang
hitam. Dan orang orang sepertinya sudah
biasa dengan hal itu.
Jam 8 lewat Pak Martijn dan Bu Anne Marie sampai dengan
membawa 2 mobil berisi mahasiswa semester 1 STKIP dan anak bungsunya. Saya dan Sintike pun bergabung dengan mobil
itu. Dari pasar Wouma kita berjalan
terus dan akan menyebrangi sebuah jembatan, yang sebenarnya cukup mengerikan
menyebrang jembatan dengan mobil. Tapi
ternyata kondisi jembatan itu sudah lebih baik dari sebelumnya.
Tidak begitu jauh sampai titik dimulainya trekking, mungkin
kurang dari 30 menit sudah sampai.
Sebelumnya kami melewati sebuah daerah bernama Kurima, daerah lawan longsor yang dipenuhi pohon cemara.
we went to that sharp hill |
Trekking dimulai dengan menyebrangi kali Baliem dengan
jembatan yang cukup bergoyang dan kurang stabil. Hal yang menyenangkan dan saya tunggu tunggu
selama ini, menyebrangi sungai dengan jembatan tali! Dan langsung menyebrangi
kali Baliem! Hehe
Mulai dari situ dimulailah perjalanan menanjak, stamina
mulai menurun, tidak lama dari menyebrang jembatan saya sudah kelelahan dan
berada di barisan paling belakang. Akhirnya
mereka semua menyuruh saya untuk berjalan paling depan sehingga menyesuaikan
dengan kecepatan saya. Dengan keadaan
seperti itu justru membuat saya semakin tertekan sebenarnya, lalu akhirnya saya
minta mereka jalan duluan saja dan Sintike menemani saya berjalan sesuai dengan
kecepatan saya.
the baliem river |
Berjalan bersama Sintike seperti sedang study tour! Sambil berjalan
Sintike menceritakan segala sesuatu yang ditemukan, seperti menunjukkan tanaman
yang merupakan bahan dasar noken, atau juga tanaman tali yang digunakan untuk
mengikat kayu bakar. Menunjukkan nama
beberapa daerah yang sulit sekali saya ingat karena bukan sebuah nama yang
umum. Banyak sekali informasi yang
sebenarnya bisa saya serap tapi apa daya karena kecapekan dan juga nama yang
tidak umum, tidak bisa semua saya ingat.
Semakin lama saya semakin membuat Sintike ketinggalan jauh
dengan rombongan. Sebentar istirahat,
sebentar melangkah, capai sekali rasanya.
Tapi ada waktu ketika capai itu tiba tiba hilang ketika melihat
pemandangan disekitar. Kalo kata
Sintike, “Tuhanni!”
Pak Martijn beberapa kali menunggu kami atau kembali lagi ke
bawah untuk memeriksa keadaan kami sambil mengejar beberapa kupu kupu dan
mengambil banyak objek foto. Lalu Pak
Martijn pun menjelaskan kenapa saya begitu gampang capai, karena tubuh butuh
sekitar 4 minggu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Udara dingin disini membuat Hb tinggi, dan
saya yang baru 2 minggu disini dan langsung trekking, pasti Hb masih rendah,
sehingga saya mudah sekali kecapaian.
Jadi itu wajar. Ya saya sih
senang senang aja jadi ada pembelaan kenapa saya lama sekali berjalan. Haha.
Tapi memang, walau tidak terlalu sering trekking, biasanya
saya istirahat 2 menit saya bisa berjalan untuk 10 menit menanjak tanpa terlalu
capai, ini baru 5 langkah sejak istirahat saya sudah capai sekali rasanya.
Pak Martijn sempat bertanya, “Gita sudah tahu kenapa bentuk
gunung di kanan dan kiri berbeda?”.
Gunung di sebelah kanan seperti gunung pada umumnya, tapi di sebelah
kiri pegunungan dengan banyak bukit bukit kecil jadi seperti taman
teletubbies.
Saya jawab tidak tahu, lalu minta Pak Martijn untuk
bercerita sambil mencuri waktu untuk duduk dan beristirahat. Legendanya konon, ketika manusia keluar dari
goa pertama kali, para pria keluar lewat sebelah kanan, lalu wanita keluar
sebelah kiri, sehingga pegunungan di sebelah kiri banyak bukit bukit kecil lambang
bahwa wanita menyusui anak mereka.
Kami pun tertawa dengan cerita Pak Martijn, dia membela diri
kalau itu dia dengar dari penduduk lokal, dia hanya menceritakan ulang.
Tanjakan terakhir adalah tanjakan paling berat, lebih curam
dan panjang. Entah beberapa kali saya
beristirahat, rombongan sudah sampai diatas tapi saya masih leha leha di tengah
bukit sambil beberapa kali mengambil foto.
Lumayan mendistract otak saya yang lagi ngasih sinyal ke tubuh kalau
lagi kecapean.
Mungkin jam 12 kurang saya sampai di puncak tajam itu. Anne Marie dan seorang mahasiswi menyelamati
saya karena berhasil tidak menyerah! Yeay!
Berdoa, makan siang bersama, walau hanya nasi kuning dengan
kering tempe dan kacang tanah, jadi luar biasa dengan pemandangan di depan
mata. Berfoto bersama, lalu tidak lama
kembali turun, tidak melewati rute yang sama ketika datang, jadi agak lebih
memutar.
Awal perjalanan turun masih semangat, walau orang orang
bilang lebih capek turun daripada nanjak, tapi kecepatan saya lebih konsisten
ketika turun, capek dan lebih sakit kaki juga karena keadaan turunnya lebih
berasa hutan dan medan yang lebih sulit, tapi setidaknya tidak sesulit berjuang
menanjak. Ya walau sempat terjatuh juga
ketika turun, terpeleset dan telapak tangan tertusuk ranting, kenang kenangan.
Setengah perjalanan semakin melelahkan, lalu melihat keatas,
bukit tempat kami berhenti makan yang menjadi tujuan kami, rasanya ga percaya
saya berhasil naik kesana dan sekarang sudah ada di bawah lagi, perjuangan luar
biasa. Tapi belum sampai situ, perjalanan
masih lumayan panjang untuk sampai ke mobil.
Sudah mulai agak bawah, dihamparan tanah yang luas, bukan
berjalan menurun lagi, keren banget bisa berada di tempat itu dan dikelilingi
pegunungan dan segala macam yang berwarna hijau. Capek sih kaki, tapi terus dan terus
melangkah, berhenti sejenak, lalu lanjut lagi.
Tidak sesering istirahat ketika menanjak.
Akhirnya tiba di titik peristirahatan, mata air yang keluar
dari bukit yang sempat diceritakan oleh Sintike! Hore!!!
Begitu menyebrang kali tersebut dengan batang pohon yang
terbaring, ada dua mahasiswi yang
langsug memanggil saya dan mengajak saya
bergabung, lalu siap bergaya, saya berlari dan siap mengambil foto mereka, tapi
ternyata mereka mau minta foto bersama saya.
Sedikit bingung, tapi senang. Lalu
setelah itu saya langsung duduk bersama mereka dan meluruskan kaki di hamparan
rumput. Mereka bilang, “saya kira kaka
bakal menyerah!”
“Hei adik, sa pu kamus hidup trada kata menyerah, biar lambat
dan banyak istirahat, saya pasti sampai di titik akhir.”
Melihat yang lain asik berendam di mata air tersebut, saya
pun melepas sepatu dan siap turun ke kali.
Baru sebagian telapak kaki terendam air, langsung mengangkat lagi,
dinginnya kaya air es! Ditambah arus yang cukup deras, butuh perjuangan juga
untuk merendam kaki selama sepuluh detik.
Gagal paham melihat orang orang yang dengan santainya merendam seluruh
badan di kali itu. Saya pun kembali lagi
membaringkan badan di rumput.
Tidak lama, kembali penasaran dan ingin mencoba merendam
kaki lagi. Menghampiri Sintike yang lagi
asik merendam kaki, saya turun perlahan lahan.
Masih berjuang keluar masukkan telapak kaki ke air, sampai akhirnya
berhasil menahan diri untuk tidak mengangkat kaki lagi, ya walaupun jadinya
telapak kaki mati rasa. Tapi kapan lagi
mencoba hal hal seperti itu.
Dari situ perjalanan masih sekitar 30 menit lagi untuk
mencapai jalan raya, kembali bertemu dengan jembatan diatas sungai. Kali ini keadaan jembatan lebih menyeramkan dibanding
sebelumnya, tapi tetap saja semangat menyebranginya.
Setelah jembatan saya kira sudah sebentar lagi sampai ke
jalan raya, ternyata tidak. Masih harus
menanjak sedikit lalu berjalan di tengah tengah hamparan tanah luas dan
dikelilingi gunung lagi, I was in the middle of nowhere. Tapi itu pengalaman asik banget pernah berada
di tempat seperti itu. Apalagi dengan
keindahannya.
Sedikit lagi sampai di terminal, yang sepertinya orang orang
lain sudah berjalan di jalan raya menuju tempat mobil parkir, saya masih
beberapa kali beristirahat karena kembali gampang kelelahan.
Sampai akhirnya bertemu dengan seorang laki
laki yang berjalan berlawan arah dengan saya yang menggunakan bambu atau kayu
panjang untuk membantunya berjalan dengan kaki satu.
Oke, dia aja semangat masa saya yang punya dua kaki dikit
dikit kelelahan.
Sampai di terminal, tepat saat Pak Martijn sampai juga
dengan membawa mobil untuk membawa kami dan beberapa orang lainnya ke tempat
kami memarkir mobil. Haleluya tidak
perlu jalan lagi sampai tempat parkir.
Tuhan tahu kesanggupan saya sampai mana.
Bahkan untuk berjalan sampai disitu pun udah kesanggupan yang luar biasa
banget yang Tuhan kasih.
Dan berakhirlah perjalanan perdana yang berat namun sangat
indah ini dengan kenang kenangan luka tusuk di telapak tangan.
Walau saya bukan anak gunung ataupun seorang yang sering
melakukan trekking,dan saya tahu trekking itu melelahkan sekali karena itu saya
lebih suka ke pantai daripada ke gunung, bahkan dulu saya menganggap naik
gunung itu palling melelahkan sedunia, udah berjuang sampai puncak harus
berjuang lagi untuk kembali turun.
Tapi trekking ga buat saya jera untuk melakukannya lagi,
walau nanti saya akan kembali jadi orang di barisan paling akhir, saya bakal
berjuang untuk sampai di titik akhir.
Trekking itu seperti melakukan perjalanan hidup, yang
penting bukan seberapa cepat sampai di tujuan, tapi tetap kembali melangkah dan
mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah.
Lawan dalam trekking adalah diri sendiri, sama juga seperti hidup. Teruslah melangkah, jangan berhenti, ambil
waktu untuk istirahat itu wajar, tapi mengambil keputusan untuk kembali
melangkah adalah keputusan yang layak diambil, karena kita tidak tahu apa yang
sedang menunggu kita di depan untuk tetap melangkah melawan kemalasan diri
sendiri.
Segala sesuatu yang indah, layak diperjuangkan. Lebih baik kita berjuang untuk sesuatu yang
indah walau kita belum tahu seberapa indahnya itu, daripada kita berhenti
berjuang dan kembali berjalan mundur untuk melihat yang sudah pernah kita
lihat.
No comments:
Post a Comment