Monday, December 1, 2014

Veraweh

Perjalanan dimulai ketika Sintike muncul di pintu ruangan kantor dan berkata, “besok kita mau trekking, ko mau ikut?”

Tanpa pikir panjang tentu saja saya langsung jawab, “mau!”

Pulang kerja langsung belanja air minum 1,5 L yang ternyata harga di tempat termurah disini adalah 20ribu rupiah, menyesal harusnya sebelum kesini bawa banyak tempat bekal dan air minum.

Sabtu pagi jam 7.30 Sintike sudah sampai di rumah dengan sepedanya, kami berangkat ke Pasar Wouma dengan ongkos becak 20ribu.  Tidak terlalu jauh, tapi harga transportasi segitu sudah biasa disini. 
 
Perdana di pasar Wouma, melihat sayur yang dijual oleh mama mama yang diambil langsung dari kebunnya, besar besar sekali.  Sayur sayur itu tumbuh tanpa diberi pupuk sedikitpun, benar benar organik.  Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah ada beberapa babi yang berjalan dengan santai di pasar, bukan sekedar babi kecil, tapi babi besar, ada yang pink ada juga yang hitam.  Dan orang orang sepertinya sudah biasa dengan hal itu. 

Jam 8 lewat Pak Martijn dan Bu Anne Marie sampai dengan membawa 2 mobil berisi mahasiswa semester 1 STKIP dan anak bungsunya.  Saya dan Sintike pun bergabung dengan mobil itu.  Dari pasar Wouma kita berjalan terus dan akan menyebrangi sebuah jembatan, yang sebenarnya cukup mengerikan menyebrang jembatan dengan mobil.   Tapi ternyata kondisi jembatan itu sudah lebih baik dari sebelumnya. 

Tidak begitu jauh sampai titik dimulainya trekking, mungkin kurang dari 30 menit sudah sampai.  Sebelumnya kami melewati sebuah daerah bernama Kurima, daerah lawan longsor yang dipenuhi pohon cemara. 

we went to that sharp hill
Kami pun memulai trekking, tujuan kami adalah sebuah bukit yang berbentuk tajam, tampak jauh buat saya yang tidak terbiasa trekking, dan sebenarnya cukup terkejut juga melihat jarak trekking yang akan ditempuh. 

Trekking dimulai dengan menyebrangi kali Baliem dengan jembatan yang cukup bergoyang dan kurang stabil.  Hal yang menyenangkan dan saya tunggu tunggu selama ini, menyebrangi sungai dengan jembatan tali! Dan langsung menyebrangi kali Baliem! Hehe

Mulai dari situ dimulailah perjalanan menanjak, stamina mulai menurun, tidak lama dari menyebrang jembatan saya sudah kelelahan dan berada di barisan paling belakang.  Akhirnya mereka semua menyuruh saya untuk berjalan paling depan sehingga menyesuaikan dengan kecepatan saya.  Dengan keadaan seperti itu justru membuat saya semakin tertekan sebenarnya, lalu akhirnya saya minta mereka jalan duluan saja dan Sintike menemani saya berjalan sesuai dengan kecepatan saya. 

the baliem river
Saat itu matahari sudah mulai terik, sehingga rasanya mata sulit untuk terbuka lebar, Sintike pun membuat semacam topi dari tanaman yang ditemukan selagi berjalan yang membantu untuk melindungi mata dari terik matahari dan memberikannya kepada saya.  Kreatif sekali!

Berjalan bersama Sintike seperti sedang study tour! Sambil berjalan Sintike menceritakan segala sesuatu yang ditemukan, seperti menunjukkan tanaman yang merupakan bahan dasar noken, atau juga tanaman tali yang digunakan untuk mengikat kayu bakar.  Menunjukkan nama beberapa daerah yang sulit sekali saya ingat karena bukan sebuah nama yang umum.  Banyak sekali informasi yang sebenarnya bisa saya serap tapi apa daya karena kecapekan dan juga nama yang tidak umum, tidak bisa semua saya ingat.

Semakin lama saya semakin membuat Sintike ketinggalan jauh dengan rombongan.  Sebentar istirahat, sebentar melangkah, capai sekali rasanya.  Tapi ada waktu ketika capai itu tiba tiba hilang ketika melihat pemandangan disekitar.  Kalo kata Sintike, “Tuhanni!”


Melihat pemandangan dengan gunung yang berlapis lapis kaya wafer, dengan langit biru dan hamparan tanah yang luas.  Kalau foto disana rasanya seperti foto dengan wallpaper, tapi kali ini wallpaper langsung tanpa mencetak dalam sebuah kertas.  Melihat kali Baliem dari atas, betapa panjangnya, sampai bertemu lagi dengan kali lain.  Kemudian ada kali kecil disebelahnya, air yang langsung keluar dari sebuah bukit, kata Sintike segar sekali kalau minum air itu.  
Pak Martijn beberapa kali menunggu kami atau kembali lagi ke bawah untuk memeriksa keadaan kami sambil mengejar beberapa kupu kupu dan mengambil banyak objek foto.  Lalu Pak Martijn pun menjelaskan kenapa saya begitu gampang capai, karena tubuh butuh sekitar 4 minggu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.  Udara dingin disini membuat Hb tinggi, dan saya yang baru 2 minggu disini dan langsung trekking, pasti Hb masih rendah, sehingga saya mudah sekali kecapaian.  Jadi itu wajar.  Ya saya sih senang senang aja jadi ada pembelaan kenapa saya lama sekali berjalan.  Haha.

Tapi memang, walau tidak terlalu sering trekking, biasanya saya istirahat 2 menit saya bisa berjalan untuk 10 menit menanjak tanpa terlalu capai, ini baru 5 langkah sejak istirahat saya sudah capai sekali rasanya. 

Pak Martijn sempat bertanya, “Gita sudah tahu kenapa bentuk gunung di kanan dan kiri berbeda?”.  Gunung di sebelah kanan seperti gunung pada umumnya, tapi di sebelah kiri pegunungan dengan banyak bukit bukit kecil jadi seperti taman teletubbies. 

Saya jawab tidak tahu, lalu minta Pak Martijn untuk bercerita sambil mencuri waktu untuk duduk dan beristirahat.  Legendanya konon, ketika manusia keluar dari goa pertama kali, para pria keluar lewat sebelah kanan, lalu wanita keluar sebelah kiri, sehingga pegunungan di sebelah kiri banyak bukit bukit kecil lambang bahwa wanita menyusui anak mereka. 

Kami pun tertawa dengan cerita Pak Martijn, dia membela diri kalau itu dia dengar dari penduduk lokal, dia hanya menceritakan ulang. 

Tanjakan terakhir adalah tanjakan paling berat, lebih curam dan panjang.  Entah beberapa kali saya beristirahat, rombongan sudah sampai diatas tapi saya masih leha leha di tengah bukit sambil beberapa kali mengambil foto.  Lumayan mendistract otak saya yang lagi ngasih sinyal ke tubuh kalau lagi kecapean. 

Mungkin jam 12 kurang saya sampai di puncak tajam itu.  Anne Marie dan seorang mahasiswi menyelamati saya karena berhasil tidak menyerah! Yeay!

Berdoa, makan siang bersama, walau hanya nasi kuning dengan kering tempe dan kacang tanah, jadi luar biasa dengan pemandangan di depan mata.  Berfoto bersama, lalu tidak lama kembali turun, tidak melewati rute yang sama ketika datang, jadi agak lebih memutar. 

Awal perjalanan turun masih semangat, walau orang orang bilang lebih capek turun daripada nanjak, tapi kecepatan saya lebih konsisten ketika turun, capek dan lebih sakit kaki juga karena keadaan turunnya lebih berasa hutan dan medan yang lebih sulit, tapi setidaknya tidak sesulit berjuang menanjak.  Ya walau sempat terjatuh juga ketika turun, terpeleset dan telapak tangan tertusuk ranting, kenang kenangan.

Setengah perjalanan semakin melelahkan, lalu melihat keatas, bukit tempat kami berhenti makan yang menjadi tujuan kami, rasanya ga percaya saya berhasil naik kesana dan sekarang sudah ada di bawah lagi, perjuangan luar biasa.  Tapi belum sampai situ, perjalanan masih lumayan panjang untuk sampai ke mobil. 

Sudah mulai agak bawah, dihamparan tanah yang luas, bukan berjalan menurun lagi, keren banget bisa berada di tempat itu dan dikelilingi pegunungan dan segala macam yang berwarna hijau.  Capek sih kaki, tapi terus dan terus melangkah, berhenti sejenak, lalu lanjut lagi.  Tidak sesering istirahat ketika menanjak. 

Akhirnya tiba di titik peristirahatan, mata air yang keluar dari bukit yang sempat diceritakan oleh Sintike! Hore!!!

Begitu menyebrang kali tersebut dengan batang pohon yang terbaring, ada dua mahasiswi yang 
langsug memanggil saya dan mengajak saya bergabung, lalu siap bergaya, saya berlari dan siap mengambil foto mereka, tapi ternyata mereka mau minta foto bersama saya.  Sedikit bingung, tapi senang.  Lalu setelah itu saya langsung duduk bersama mereka dan meluruskan kaki di hamparan rumput.  Mereka bilang, “saya kira kaka bakal menyerah!”

“Hei adik, sa pu kamus hidup trada kata menyerah, biar lambat dan banyak istirahat, saya pasti sampai di titik akhir.”

Melihat yang lain asik berendam di mata air tersebut, saya pun melepas sepatu dan siap turun ke kali.  Baru sebagian telapak kaki terendam air, langsung mengangkat lagi, dinginnya kaya air es! Ditambah arus yang cukup deras, butuh perjuangan juga untuk merendam kaki selama sepuluh detik.  Gagal paham melihat orang orang yang dengan santainya merendam seluruh badan di kali itu.  Saya pun kembali lagi membaringkan badan di rumput. 

Tidak lama, kembali penasaran dan ingin mencoba merendam kaki lagi.  Menghampiri Sintike yang lagi asik merendam kaki, saya turun perlahan lahan.  Masih berjuang keluar masukkan telapak kaki ke air, sampai akhirnya berhasil menahan diri untuk tidak mengangkat kaki lagi, ya walaupun jadinya telapak kaki mati rasa.  Tapi kapan lagi mencoba hal hal seperti itu.

Dari situ perjalanan masih sekitar 30 menit lagi untuk mencapai jalan raya, kembali bertemu dengan jembatan diatas sungai.  Kali ini keadaan jembatan lebih menyeramkan dibanding sebelumnya, tapi tetap saja semangat menyebranginya. 

Setelah jembatan saya kira sudah sebentar lagi sampai ke jalan raya, ternyata tidak.  Masih harus menanjak sedikit lalu berjalan di tengah tengah hamparan tanah luas dan dikelilingi gunung lagi, I was in the middle of nowhere.  Tapi itu pengalaman asik banget pernah berada di tempat seperti itu.  Apalagi dengan keindahannya. 

Sedikit lagi sampai di terminal, yang sepertinya orang orang lain sudah berjalan di jalan raya menuju tempat mobil parkir, saya masih beberapa kali beristirahat karena kembali gampang kelelahan.   
Sampai akhirnya bertemu dengan seorang laki laki yang berjalan berlawan arah dengan saya yang menggunakan bambu atau kayu panjang untuk membantunya berjalan dengan kaki satu. 

Oke, dia aja semangat masa saya yang punya dua kaki dikit dikit kelelahan. 

Sampai di terminal, tepat saat Pak Martijn sampai juga dengan membawa mobil untuk membawa kami dan beberapa orang lainnya ke tempat kami memarkir mobil.  Haleluya tidak perlu jalan lagi sampai tempat parkir.  Tuhan tahu kesanggupan saya sampai mana.  Bahkan untuk berjalan sampai disitu pun udah kesanggupan yang luar biasa banget yang Tuhan kasih. 

Dan berakhirlah perjalanan perdana yang berat namun sangat indah ini dengan kenang kenangan luka tusuk di telapak tangan. 

Walau saya bukan anak gunung ataupun seorang yang sering melakukan trekking,dan saya tahu trekking itu melelahkan sekali karena itu saya lebih suka ke pantai daripada ke gunung, bahkan dulu saya menganggap naik gunung itu palling melelahkan sedunia, udah berjuang sampai puncak harus berjuang lagi untuk kembali turun. 

Tapi trekking ga buat saya jera untuk melakukannya lagi, walau nanti saya akan kembali jadi orang di barisan paling akhir, saya bakal berjuang untuk sampai di titik akhir. 

Trekking itu seperti melakukan perjalanan hidup, yang penting bukan seberapa cepat sampai di tujuan, tapi tetap kembali melangkah dan mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah.  Lawan dalam trekking adalah diri sendiri, sama juga seperti hidup.  Teruslah melangkah, jangan berhenti, ambil waktu untuk istirahat itu wajar, tapi mengambil keputusan untuk kembali melangkah adalah keputusan yang layak diambil, karena kita tidak tahu apa yang sedang menunggu kita di depan untuk tetap melangkah melawan kemalasan diri sendiri. 

Segala sesuatu yang indah, layak diperjuangkan.   Lebih baik kita berjuang untuk sesuatu yang indah walau kita belum tahu seberapa indahnya itu, daripada kita berhenti berjuang dan kembali berjalan mundur untuk melihat yang sudah pernah kita lihat. 











No comments:

Post a Comment