Thursday, June 5, 2014

Banyuwangi, Sunrise of Java, The Hidden Superstar

Perjalanan di dalam sebuah perjalanan.  Perjalanan yang bertemu banyak cerita.  Cerita tentang kehidupan seseorang, sejarah sebuah tempat, budaya, kebiasaan, gaya hidup, kenangan, hingga cerita tentang perjalanan itu sendiri. 

Perjalanan dalam sebuah perjalanan ini sepenuhnya disponsori oleh “Wonder J”, mulai dari ketersediaan segala hal, keamanan, kecukupan, dan segala sesuatu yang membuat setiap detik perjalanan ini sangat berkesan.  Perjalanan yang berkesan tapi tidak mudah. 

Perjalanan yang dimulai sejak diberitahu tempat bernama “Baluran” yang disebut sebut Africa of Java.  Pencarian tentang Baluran pun dimulai dan mendasari keputusan untuk membeli tiket kereta ke sebuah tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, Banyuwangi.

Dalam memulai perjalanan ini bukan hal yang mudah, saya diam berjam jam di depan laptop mencari rute kereta api yang tersedia untuk dua orang.  Harusnya cukup mudah hanya dua kali ganti kereta, tapi karena tiket sudah habis, saya harus mencari rute rute lainnya yang memungkinkan.

Akhirnya setelah lebih dari 12 jam mencatat rute kereta yang memungkinkan, saya pun dapat tiket kereta ke Banyuwangi dengan rute Kiaracondong-Kroya-Pasuruan-Banyuwangibaru.  Tiket kereta api ekonomi untuk ke Banyuwangi terbilang murah, hanya Rp. 50.000 sekali naik kereta.  Total biaya yang kami keluarkan untuk tiket pulang pergi adalah Rp 248.000 per orang (kalau dari jauh hari bisa saja dapat Rp. 200.000).  Relatif murah karena itu adalah biaya yang saya butuhkan untuk melakukan perjalanan ke sebuah kota di paling ujung Jawa dan merupakan stasiun paling akhir di Pulau Jawa.  Kalau gamau ribet bisa naik pesawat, Garuda baru buka rute dari Jakarta ke Banyuwangi.

Setelah berhasil mendapat tiket untuk berangkat ke Banyuwangi, saya dan HRP (Helena Return Pingkan, partner perjalanan kali ini) pun mulai mencari wisata lain selain Baluran.  Ternyata ada satu tempat wisata lain yang menarik perhatian kami, G-Land.  Sebuah pantai di ujung bawah pulau Jawa yang lebih banyak dikenal oleh surfer mancanegara karena memiliki ombak terbesar kedua di dunia setelah Hawaii (untuk fakta lain tentang G-land bisa dicari sendiri di google).

Tapi akses untuk menuju kesana cukup sulit karena kendaraan umum di Banyuwangi masih minim, ditambah tempat wisata yang jaraknya berjauhan satu dengan yang lainnya.  G-Land sendiri berada dalam Taman Nasional Alas Purwo, untuk masuk ke Taman Nasional Alas Purwonya pun kita harus menggunakan mobil yang disiapkan oleh pihak TNAP karena keadaan jalan yang masih rusak di dalam TNAP sendiri (kecuali kendaraan yang kita gunakan dianggap memenuhi standard untuk masuk ke TNAP).  Harga sewa kendaraannya pun cukup mahal karena kami hanya berdua saja.
 
Tempat lain yang menarik hati adalah sebuah teluk di Taman Nasional Meru Betiri.  Teluk Hijau atau Green Bay.  Masih jarang tersentuh oleh manusia dan masih banyak monyet kecil berkeliaran di sekitar teluk.

Tempat terakhir adalah Kawah Ijen (masih banyak tempat wisata lainnya, tapi empat wisata ini adalah yang prioritas untuk kami).  Jujur awalnya saya kurang tertarik dan tidak terlalu memprioritaskan untuk ke Kawah Ijen.  Bayangan awal Kawah Ijen akan seperti Kawah Putih di Bandung, belum lagi harus trekking dahulu selama 2 jam.  Bukan perjuangan yang suka saya lakukan. 

Selama seminggu terakhir sebelum keberangkatan, saya sibuk mencari informasi secara langsung ke orang orang Banyuwangi yang kontaknya saya dapat dari blog orang orang.  Dari menghubungi Pak Kasman (petugas kantin di Taman Nasional Baluran) sampai kantor Dinas Pariwisata Banyuwangi, guna mencari tahu biaya yang diperlukan, penginapan, dan akomodasi untuk mencapai tempat tempat tersebut. 

Sampai dua hari sebelum keberangkatan saya masih belum menemukan penyewaan motor di Banyuwangi.  Ada satu tempat penyewaan, tapi sudah full booked sampai akhir bulan.  Akhirnya minta bantuan Nyokap siapa tau punya kenalan di Banyuwangi.  Ternyata teman Nyokap yaitu Om Aan punya seorang reporter di Banyuwangi, Om Shandi (yang sama sekali tidak dikenal sama Nyokap).  Akhirnya minta tolong bantuan Beliau untuk mencari penyewaan motor.  Walau sebenarnya agak bingung juga karena jarak wisata yang cukup jauh pasti akan sangat melelahkan bila pakai motor, lebih baik menggunakan bus atau kendaraan umum lainnya (bila ada). 

Untuk penginapannya sendiri, karena tujuan kami adalah Taman Nasional Baluran, saya pun menghubungi kantor TNB untuk penginapan.  TNB sendiri mempunyai beberapa wisma di dalamnya, tapi pengunjung harus melakukan reservasi dulu untuk ketersediaan tempat.  Ada satu hal yang cukup simpang siur untuk penginapan ini, menurut Pak Kasman, Dinas Pariwisata Banyuwangi, dan Petugas TNB yang diwawancara di stasiun televisi swasta menyatakan bahwa sudah tidak bisa lagi untuk menginap di dalam TNB, sebagai gantinya ada beberapa homestay di luar TNB dengan tarif Rp. 150.000 per malam per kamar.  Akan tetapi ketika saya langsung menghubungi petugas TNB, Beliau menyatakan bahwa dapat menginap di wisma yang ada di dalam TNB sendiri dengan tarif yang sama atau Rp. 250.000 untuk penginapan yang berada di Pantai Bama. 

Karena ketidakjelasan itu, saya pun mencoba mencari penginapan di daerah Banyuwangi.  Hotel Mahkota Plengkung, tidak jauh dari stasiun Banyuwangibaru dan memiliki tarif yang sama dengan fasilitas listrik 24 jam (di homestay dan TNB ada keterbatasan listrik), sarapan, fan, kamar mandi dalam, wifi, dan kolam renang.  Bukan tidak mau untuk hidup susah, tapi kalau ada fasilitas yang jauh lebih baik dengan harga yang sama, kenapa tidak memilih yang lebih baik dan lebih jelas kelegalannya. 

Perjalanan pun benar benar dimulai pada Jumat malam dengan tragedi nyaris ditinggal kereta di detik terakhir dan charger handphone yang tertinggal di rumah. 

Check Point Pertama, Stasiun Kroya
Dalam perjalanan panjang dari Kiaracondong menuju Banyuwangibaru pun bertemu banyak sekali cerita.  Perjalanan 26 jam (termasuk transit di stasiun Kroya selama 4 jam), kami bertemu dengan sepenggal kehidupan banyak orang yang kemudian kembali berpisah dengan cerita sesaat itu. 

Ada seorang penjaga pintu parkir di stasiun Kroya yang sempat tinggal di Bali dan nyaris berada di lokasi saat pemboman Bali terjadi, lalu seorang Tukang Becak yang lebih memilih menggunakan uang yang ada untuk sekolah cucunya daripada mengganti becaknya dengan mesin, seorang Bapak yang menuju ke Solo untuk liburan dan menertawakan perjalanan dua orang wanita yang cukup jauh tanpa seseorang yang dikenal di kota tujuannya, seorang Pramusaji kereta Logawa yang menjadikan kursi kosong didepan kami sebagai halte peristirahatannya setiap kali dia melewati kami, berkali kali berhenti sejenak untuk sekedar beristirahat dan bercerita dengan kami hingga menjalin keakraban yang menyenangkan, sampai seorang Ibu muda dari Malang yang sedang mengajak liburan anaknya ke Banyuwangi (seseorang yang menggunakan handphone yang sama dengan saya jadi saya bisa meminjam sebentar untuk mengisi baterai handphone).

Beberapa jam sebelum sampai di stasiun Banyuwangibaru Om Shandi menelfon untuk menanyakan tempat mana saja yang ingin kami kunjungi, kemudian menawarkan untuk diantar saja selama berada di Banyuwangi karena keadaan kota Banyuwangi yang cukup luas dan mudah membuat tersasar.  Awalnya kami menolak karena tidak mau merepotkan, tapi Beliau memaksa untuk diantar saja, dan yang lebih konyolnya lagi ternyata Beliau sedang bertugas meliput International Surfing Competition yang sedang diadakan di Pulau Merah, sehingga menawarkan adiknya yang akan menjemput dan mengantar kami selama berada di Banyuwangi. 

Intinya perjalanan kami berdua ini akan ditemani oleh seseorang yang belum dikenal dari seseorang yang belum kami kenal juga. 

Stasiun Karang Asem, 991 KM
Malam itu akhirnya kami sampai di Banyuwangi dan turun di stasiun Karangasem, satu stasiun sebelum Banyuwangibaru, karena letaknya yang lebih dekat dengan kota sehingga tidak terlalu jauh untuk dijemput. 
Stasiunnya kecil tapi bagus dan bersih.  Sambil menunggu dijemput, banyak tukang ojek yang menawari untuk mengantar ke tempat tujuan.  Sejauh ini keadaan masih aman tidak ada yang menakutkan, hanya perlu kewaspadaan saja. 

Akhirnya bertemu dengan dua teman baru, Mas Fian dan Edvin.  Sebelum ke penginapan mereka pun mengajak kami keliling kota Banyuwangi di malam hari, tidak seperti bayangan, kota Banyuwangi cukup maju, di sepanjang jalan tersedia wifi dan memiliki banyak taman kota yang indah dan terawat.  Gedung DPRD yang megah dan keadaan jalan yang ramah dan aman.  Menurut mereka, sejak Bupati yang baru, Banyuwangi banyak melakukan perombakan besar besaran. 

Setelah itu kami diajak ke tempat wisata bernama Pantai Boom.  Berhubung malam jadi kami tidak bisa begitu jelas bagaimana keindahan Pantai Boom itu sendiri, tapi yang jelas dari tepi pantai kita dapat melihat dengan sangat jelas Pulau Bali di depan mata.  Makanan pembuka pertama untuk mata di Banyuwangi, Laut Bali dan Pulau Bali. 

Kemudian mereka mengajak kami untuk mengobrol sejenak di warung minum yang berjejeran di sepanjang Pantai Boom.  Disana kami kembali menambah kenalan baru, teman teman dari Mas Fian dan Edvin.  Berbincang bincang dengan mengangkat topik perbandingan biaya hidup di Bandung dan Banyuwangi yang cukup jauh perbedaannya. 

Lalu kami mendiskusikan tentang rencana keesokan harinya.  Om Shandi meminta kami untuk bertemu Beliau di Pulau Merah sekaligus menonton International Surfing Competition, kami pun berkoordinasi dengan Mas Fian.  Karena jarak tempuh Banyuwangi ke Pulau Merah cukup jauh, memerlukan waktu 2 jam, dan Mas Fian juga besok harus meliput, akhirnya meminta bantuan temannya Mas Fian yaitu Mas Rian dan Edvin untuk mengantar kami di Minggu pagi ke Pulau Merah. 

Kembali semakin banyak hubungan “baru kenal” ini. 

Malam itu kami bermalam dahulu di penginapan daerah kota dengan harga yang lebih murah Rp.95.000 dengan 2 kasur, fan, kamar mandi dalam, dan sarapan.  Setelah lebih dari 26 jam akhirnya bertemu kasur juga.

***

Minggu, 25 Mei 2014

Hari pertama kami diajak sarapan ala anak Banyuwangi, sego cawok di depan taman Blambangan.  Nasi disiram kuah kelapa, ikan pedas, telor rebus ala gudeg, dan sambal.  Enak, hanya terlalu pedas untuk saya.  Kami makan berenam dan menghabiskan Rp. 50.000 saja (termasuk minum es teh).

Perjalanan ke Pulau Merah pun dimulai, harus siap masker karena Banyuwangi cukup banyak debu walau kotanya terbilang bersih.  Penunjuk jalan untuk ke Pulau Merah hanya sedikit, kalau tidak salah ingat sepanjang perjalanan 2 jam, saya hanya melihat 2-3 penunjuk jalan ke Pulau Merah.  Dan ternyata memang lebih baik diantar oleh orang lokal, karena orang lokalnya sendiri pun masih sering nyasar, dan kurang disarankan mengandalkan GPS, sinyal di luar pusat kota Banyuwangi masih sulit ditemukan. 

Sebenarnya kami kurang begitu tertarik untuk ke Pulau Merah karena tidak mendapat ulasan yang cukup menarik dari internet, jadi pergi kesana untuk bertemu langsung dengan Om Shandi dan karena sejalan dengan Green Bay.  Tapi setelah sampai di Pulau Merah, hati terkesima melihat pasir putih yang luas, ombak yang cukup besar (karena itu diadakan international surfing competition), langit yang biru bersih, air yang jernih, dikelilingi oleh bukit bukit, dan terdapat satu bukit di tengah pantai. 

Red Island, International Surfing Competition 2014
Hari itu pun kami banyak menemukan bulu babi disekitar tepi pantai, hingga beberapa kali petugas pantai harus mengingatkan pengunjung untuk berhati hati.  Awalnya tidak percaya, tapi memang benar ada beberapa bulu babi yang mudah ditemukan. 

Setelah puas di Pulau Merah, Mas Rian dan Edvin dengan inisiatif mengajak kami untuk ke Green Bay.  Sebelum berangkat Mas Rian bertanya, “Yakin mau ke Green Bay? Harus trekking dulu loh, ga cape?”

“Yakin, kapan lagi kalau ga sekarang.”

“Disini sih ngomongnya ‘kapan lagi’, nyampe sana ‘kapan kapan deh’.” 

Jadi kami pun melanjutkan perjalanan ke Green Bay, yang menurut mereka tidak jauh dari Pulau Merah.  Tapi kenyataannya cukup jauh.  Masih sekitar 1,5jam lagi untuk sampai ke Taman Nasional Meru Betiri.  Dengan kondisi setengah perjalanan yang masih rusak, sehingga harus pelan pelan dalam berkendara.  Dalam perjalanan kesana, awalnya kita akan melewati PTPN untuk perkebunan coklat, kemudian dilanjutkan dengan perkebunan pohon karet.  Pohon karet yang punya kemiringan melebihi menara Pisa.  Lalu akan bertemu dengan secuil pantai tanpa pengunjung, lalu tidak jauh dari sana akan ada hamparan rumput dan beberapa kerbau.  Kurang ada penunjuk jalan yang jelas untuk sampai ke TNMB, jadi lebih baik sesekali bertanya kepada penduduk lokal. 

Begitu sampai di TNMB, perjalanan belum selesai.  Sebelumnya kita harus membayar tiket masuk dan tiket pengambilan foto di Pos depan.  Tidak mahal, berkisar Rp 3.000-5000 per orang.  Kami berempat membayar Rp 21.000 termasuk ijin pengambilan foto, tapi tidak termasuk parkir motor yang akan ditagih ketika pulang (Rp 3.000 sampai jam 15.00 dan Rp 5.000 untuk setelahnya).  Setelah sampai di parkiran motor, kita harus berjalan kaki ke atas titik awal trekking.  Ada beberapa penjual makanan disana, saya pun sempat makan siang dulu dengan nasi, telor ceplok, dan tempe.  Kalau tidak salah 3 porsi nasi dengan 1 botol aqua, kami membayar Rp 25.000. 

Trekking dimulai.  Perjalanan menuju Green Bay tidak begitu terasa melelahkan, bahkan kami sempat tersasar ke dalam hutan karena arah yang lagi lagi tidak jelas.  Untuk mencapai Green Bay, kita akan melewati Pantai Batu, jadi jangan berhenti di pantai yang dipenuhi dengan batu, karena itu belum sampai Green Bay.  Lebih baik menyusuri jalan lewat Pantai Batu, jangan terus mengambil jalan di dalam hutan seperti kami.  Setelah trekking kira kira 30 menit, akhirnya Green Bay pun terlihat.  Kami sampai sekitar jam 3 sore dan keadaan saat itu cukup ramai. 
Only Footprints and Pictures are Allowed


Cukup puas melihat Green Bay, yang kami lakukan adalah duduk diam menikmati angin dan suara ombak sambil menunggu pengunjung yang lain pergi meninggalkan Green Bay.  Kalau melihat ke belakang, ada beberapa kawanan monyet berseliweran di dalam hutan.  Semakin sore tempat semakin sepi.  Jam 4 sore tempat sudah cukup sepi, hingga hanya ada kami berempat dan beberapa orang yang menawarkan jasa naik perahu. 

Kembali di tempat ini kami bertemu dengan seorang Bapak yang bertanya, “Penyunya dimana ya mba?”
Kami pun langsung menjelaskan kalau disini tidak ada penyu, yang ada di Sukamade.  Pernyataan yang membuat Bapak itu berpikir kalau kami orang Banyuwangi.  Setelah bertanya semakin dalam akhirnya Beliau tahu kalau kami dari Bandung dan cukup takjub kalau Green Bay ada di internet.  Kemudian datang seorang nelayan muda yang menawarkan perahu ke Bapak tersebut dan mengira kalau kami berdua adalah anak dari Bapak tersebut. 
Green Bay, Private Spot
Setelah itu kami lanjut mengobrol dengan nelayan muda ini dan bercerita kalau kami berasal dari Bandung lalu kembali menerima pujian “hebat” atas keberanian kami.  Nekat sih bukan berani. 

Untuk naik perahu dikenakan biaya Rp 35.000 untuk sekali jalan dan Rp 50.000 untuk pulang pergi.  Itu harga tanpa negosiasi, jadi mungkin bisa lebih murah.  Tapi kami tidak berniat naik perahu yang cukup mengkhawatirkan dengan kondisi ombak yang cukup besar, tanpa pelampung, dan ya mengerikan aja.  Dan kalian harus siap basah kalau mau naik perahu.  Siap basah siap jatuh.  Nah loh!
Sebelum jam 5 kami pun meninggalkan Green Bay dan kembali melakukan trekking.  Rasanya lebih melelahkan dibanding perjalanan menuju Green Bay.  Selesai trekking, kami masih harus berjuang melewati jalanan rusak dalam perjalanan pulang dengan keadaan cukup mengerikan karena kanan kiri perkebunan yang hanya mengandalkan lampu motor. 

Akhirnya setelah sempat tersasar beberapa kali, jam 19.30 baru kami berhasil sampai di kota Banyuwangi.  Tujuan utama kami malam itu adalah mencari makan, nasi tempong.  Nasi dengan beberapa lembar sayur (sepertinya daun pepaya), lalu tempe, tahu, perkedel, sambal, dan lauk utamanya bisa pilih sendiri, ada ikan goreng, pepes ikan, ayam goreng, atau telor dadar.  Kenyang dan puas banget.  Kami berempat makan disana dan menghabiskan Rp 43.000.  Cukup murah melihat porsinya yang begitu besar, bahkan itu sudah termasuk minuman dan kerupuk. 

Selanjutnya kami langsung menuju tempat terakhir, penginapan. Hotel Mahkota Plengkung.  Begitu sampai cukup terkejut dengan keadaan hotelnya.  Benar benar terasa murah dengan harga Rp 150.000 per malam dan kondisi hotel yang sangat memuaskan.  Kami pun beristirahat sambil memikirkan besok akan bagaimana perjalanan kami. 

Senin, 26 Mei 2014

Saking lelahnya kami baru terbangun jam 08.00.  Menurut Om Shandi, hari itu lebih baik kami beristirahat saja biar malamnya bisa ke Kawah Ijen dan melihat Blue Fire.  Blue Fire ini adalah hal yang membuat saya semangat dan rela berjuang trekking di Kawah Ijen.  Karena fakta bahwa Blue Fire hanya ada dua di dunia, Indonesia dan Iceland.  Tentu saja saya semangat dan mau memanjakan mata untuk melihat hal unik di dunia ini.

Tapi menurut info yang kami dapat, saat itu Kawah Ijen sedang dalam status Waspada, jadi tidak diijinkan untuk melihat Blue Fire.  Biasanya pengunjung memulai trekking pada jam 01.00 sehingga dapat sampai di atas Kawah Ijen jam 03.00 dan melihat Blue Fire sambil menunggu sunrise.  Tapi karena sedang dalam status waspada, maka petugas baru menginjinkan untuk memulai trekking pada jam 03.00/04.00.  Sehingga ketika sampai atas kita akan terlambat untuk melihat Blue Fire. 

Sedikit mengecewakan karena Blue Firelah yang membuat saya semangat untuk trekking di Kawah Ijen.  Apalagi dengan kabar dari salah satu teman HRP yang hari sebelumnya ke Kawah Ijen dan status masih waspada dan belum bisa melihat Blue Fire.  Bisa dipastikan kemungkinan besar belum bisa melihat Blue Fire. 

Dengan pertimbangan seperti itu, hari kedua ini kami melakukan perjalanan ke Taman Nasional Baluran.  Kali ini perjalanan kami lakukan hanya berdua, tanpa ditemani oleh teman teman Banyuwangi kami.  Karena sebelumnya saya sudah mencari tahu terlebih dahulu untuk sampai kesana, jadi tidak terlalu panik dan kewalahan walau tidak punya motor yang disewa.

Dari depan hotel, kami tinggal naik Lyn (angkot) ke arah utara menuju terminal Sri Tanjung.  Kita tidak perlu khawatir, karena terminal ini titik akhir dari Lyn, jadi lebih baik tidak usah minta diturunin di terminal Sri Tanjung biar tidak terlihat pendatang.  Ongkos Lyn di Banyuwangi cukup mahal, jauh dekat Rp. 5.000.  Jarak dari hotel ke terminal pun tidak begitu jauh, dan dalam perjalanan kita akan melewati stasiun Banyuwangibaru dan Pelabuhan Ketapang dimana tempat penyebrangan ke Pulau Bali. Jarak tempuh dari Pelabuhan Ketapang sampai Pelabuhan Gilimanuk hanya sekitar 30-45 menit dengan ongkos Rp. 7.500 saja, dan kapal feri pun selalu ada setiap jam jadi ga perlu khawatir ketinggalan feri. 

Sekitar 15 menit untuk sampai ke terminal Sri Tanjung, dalam perjalanan ke terminal kami mengobrol dengan Bapak supir Lyn untuk bertanya mengenai kendaraan kami pulang di rabu pagi ke stasiun Banyuwangibaru.  Bapak tersebut pun berinisiatif akan menjemput kami di hotel jam 6 pagi untuk mengantar kami.  Setelah itu kami langsung naik bus yang asiknya langsung berangkat begitu kami naik. 

Dari informasi yang saya dapat dari Pak Kasman, ketika naik Bus yang ke arah Surabaya, bilang saja turun di Batangan, jangan Baluran untuk menghindari tarif yang lebih mahal dari yang seharusnya.  Gausah takut salah daerah, karena Batangan itu tepat di depan pintu masuk Taman Nasional Baluran, dan kernet bus pun pasti akan teriak kalau sudah sampai di Baluran. 

Ongkos yang disarankan oleh Pak Kasman adalah Rp 6.000 tapi karena kami ragu, jadi kami mencoba membayar seorang Rp 7.000 dengan uang pas dan bilang akan turun di Batangan.  Berhasil, kami tidak ditagih lagi untuk ongkos. 

Jarak dari terminal ke TNB pun tidak jauh, mungkin kurang dari satu jam saja.  Sesampai di TNB, sudah banyak ojek menawarkan jasa.  Memang untuk menjelajahi TNB ini kita butuh kendaraan, bisa saja jalan kaki, tapi cukup jauh dan ternyata menyeramkan juga.  Tiket masuk ke TNB sekarang menjadi Rp 5.000 per orang, baru naik 50% dalam 2 hari terakhir, serentak di seluruh Taman Nasional.  Yang mahal itu adalah ongkos ojeknya, untuk ojek sekali jalan dikenakan biaya Rp 40.000 sekali jalan, jadi butuh Rp 80.000 untuk pulang pergi.  Karena kami berdua, saya pikir lebih baik untuk menyewa motor saja selama 12 jam Rp 100.000.  Awalnya masih ingin menawar lagi biar lebih murah, karena kami toh tidak akan sampai 12 jam, tapi ternyata sudah tidak bisa ditawar dan HRP sudah keburu setuju.

Perjalanan menjelajah TNB pun dimulai, dengan motor bebek supra fit.  Kata Bapak petugasnya ikuti jalan saja, hanya ada satu jalan kok.  Lalu saya pun mulai mengendarai motor tersebut.  Jalannya masih rusak, jadi saya pelan pelan dalam mengendarainya.  Batu dimana mana dan cukup besar, belum lagi hari sebelumnya hujan sehingga ada beberapa jalan masih becek dan harus hati hati mengendarai biar tidak licin dan jatuh. 

Beberapa saat menyenangkan, lama kelamaan cukup mengerikan juga.  Jarak dari pintu gerbang TNB ke pos Bekol (satu satunya pos di TNB) adalah 12 km dan untuk lanjut ke Pantai Bama masih ada 3 km lagi.  Mulai memasuk 3 km pertama, keadaan jalan kanan kiri adalah hutan.  Dan saat itu sepi sekali, hanya kami yang menyusuri jalan itu.  Sempat teman saya meminta untuk mengendarai lebih cepat karena keadaan yang semakin menakutkan.  Tapi apa daya kondisi jalan yang tidak begitu baik membuat sulit untuk mengendarai dengan cepat. 

Dalam perjalanan pun saya menyadari kenapa tarif sewa motor cukup tinggi, karena kondisi jalan yang rusak dan cukup menyeramkan, belum lagi harus siap kalau motor rusak.  Harga Rp 100.000 itu udah termasuk bensin full tank.  Lalu ketahuan mengapa petugas di gerbang sempat berkomentar, “emang berani cuma cewe berdua?”.  Ternyata memang keadaannya cukup mengerikan karena berjalan dengan kanan kiri hutan belantara dan jarang banget ada orang yang melintas jalan itu. 


Beneran berasa jadi jurnalist National Geographic, ya anggap aja latian sebelum jadi jurnalist NatGeo beneran yang lagi menjelajah Afrika (apalagi sekarang latiannya di Afrika rasa Jawa, pas banget).  Setelah sekitar 10 km, akhirnya pemandangan di kanan kiri yang hutan belantara pun selesai, diganti dengan savanna seluas luasnya dengan Gunung Baluran dibelakangnya.  1 km dari situ akan menemukan pos Bekol dan beberapa wisma yang disewakan, kemudian ada menara pandang sehingga bisa melihat savanna bekol secara keseluruhan dari atas (sayang kami tidak sempat menaiki menara pandang karena mengejar waktu pulang biar tidak gelap untuk sampai ke pintu gerbang utama). 

Jujur, kece banget tempatnya.  Waktu kami datang rumputnya masih berwarna hijau, untuk lebih merasakan sensasi Afrikanya lebih baik datang di bulan Agustus – Oktober saat semua menguning.  Apalagi bulan Oktober, dimana musim kawin Merak dan Rusa yang heboh mempercantik diri.  Cuma kekurangannya akan banyak orang yang mengunjungi TNB dan para satwa akan lebih susah dijumpai pada siang hari karena terganggu dengan kedatangan manusia.


Tapi kalau kalian mau melihat monyet tidak usah khawatir, mereka doyan banget muncul, bahkan setelah pos Bekol, kalau kalian melihat ke kanan dan kiri savanna, rasanya itu lautan monyet. Banyak banget dan ga lari kalau kita dekatin.  Cuma hati hati kalau bawa makanan atau apapun yang punya warna mencolok. 

Di kunjungan kami kemaren, cukup banyak satwa yang menunjukkan diri.  Ada beberapa kerbau yang asik mandi, ratusan monyet di kanan kiri, sekumpulan merak yang sempat terbang melewati kami, lalu kangkareng, burung dengan paruh panjang yang sering ada di kartun kartun, dan sekawanan rusa yang cukup sulit dilihat selain banteng dan macan tutul. 

Di pantai Bamanya kurang menarik karena sedang surut dan sudah kecapekan juga untuk melakukan snorkeling atau diving.  Lagipula untuk snorkeling harus membawa peralatan sendiri.  disini juga bisa main canoe, tapi ya itu dia udah terlalu capek.  Ada juga mangrove trail dan kawasan bird watching di deket Pantai Bama.  Jadi sebenarnya banyak yang bisa dilakukan di Pantai Bama ini.  Hanya saja waktu yang kami punya dan tenaga yang tersisa terbatas untuk melakukan semuanya.  Mungkin memang harus lebih dari satu kali untuk mengunjungi Taman Nasional Baluran ini. 

Baluran National Park
Bagi pengunjung yang menginap diperbolehkan untuk safari night yang dipandu oleh petugas TNB dengan biaya Rp 150.000, katanya sih cukup menyeramkan apalagi kalau beradu mata dengan para satwa.  Dan memang para satwa akan lebih nyaman keluar pada malam hari karena minim kehadiran manusia. 

Setelah puas di savanna Bekol dan Pantai Bama, jam 16.30 kami kembali melakukan perjalanan menuju pos gerbang utama.  Perjalanan pulang ke gerbang utama jauh lebih menyeramkan, karena saya mengejar sebelum matahari terbenam sehingga mengendarai dengan kecepatan lebih tinggi dari sebelumnya dan ga jarang bagian bawah motor terbentur oleh batu batuan cukup keras.  Soalnya mengejar ga kegelapan di tengah tengah hutan yang menyeramkan itu.  Sekitar 30 sampai 45 menit barulah kita berhasil sampai di pos gerbang utama dan mengembalikan motor ke pemiliknya.    
Savanna Bekol, Baluran National Park.  Been there.

Ketika menunggu bus di depan gerbang TNB, Bapak pemilik motor menemani kami dan membantu untuk memberhentikan bus yang tepat.  Ternyata ada bus yang langsung lewat penginapan kami, jadi gausah turun dulu di stasiun baru ganti naik Lyn.  Bus kecil yang menuju ke Madura.  Sembari menunggu kami pun mengobrol cukup banyak hal tentang TNB, lumayan banget nambah pengetahuan tentang TNB.  Setelah itu bus mini tersebut datang dan Beliau menitipkan kami ke Bapak kernet bus tersebut.  Masih banyak orang baik di sekitar kita. 

Ongkos naik bus itu Rp 10.000 per orang, lebih murah Rp 2.000 dibanding harus ganti Lyn di terminal.  Kembali di bus ini pun kami diajak mengobrol dengan Bapak kernet tadi, lebih banyak tentang makanan khas Banyuwangi, Beliau menyarankan untuk mencoba makanan pinggiran di Banyuwangi, jangan makanan mahal.  Dengan beberapa senda gurau bersama Beliau, sekitar jam 18.30 kami pun sudah sampai di depan penginapan. 

Malam itu kami lanjutkan dengan mencari makan di daerah kota Banyuwangi dengan diantar oleh Mas Rian dan Mas Sigit.  Pertama kami diajak makan cemilan ala Banyuwangi yang cukup terkenal, “darplok” atau martabak ndeso.  Butuh waktu yang cukup lama dalam menunggu tersajinya darplok ini, lalu setelah itu pun kami pergi ke taman Blambangan untuk menikmat darplok tersebut.  Darplok ternyata telor dadar yang diisi dengan bihun lengkap dengan kuah yang cukup pedas, harganya hanya Rp 3.000 untuk 1 telur dan Rp 6.000 untuk 2 telur.  Enak, hanya menurut saya akan lebih enak kalau disajikan dengan nasi (maklum orang Indonesia, cemilan aja dijadiin lauk, ga makan kalau belum pake nasi). 

Lalu kami pergi ke alun alun kota, duduk santai sambil minum susu dengan sate pisang.  Kalau disini kisaran jajanan cukup mahal, untuk empat gelas susu dan dua porsi sate pisang kami membayar Rp 24.000 (mahal untuk takaran Banyuwangi).

Disana kami kembali bertukar cerita tentang Banyuwangi dan Bandung, ternyata Mas Sigit ini masyarakat asli Banyuwangi yang berasal dari Desa Kemiren, sebutan untuk orang asli Banyuwangi adalah Osing Deles, yang juga merupakan merk baju untuk oleh oleh khas Banyuwangi. 

Setiap tempat di Banyuwangi punya sejarahnya sendiri dan entah memang semua orang Banyuwangi tahu betul sejarah dari setiap tempat atau memang teman teman kami ini orang yang cukup mengenal dan peduli dengan sejarah setiap sudut kotanya.  Mas Rian dan Mas Sigit bisa dengan lancar menceritakan sejarah dari setiap sudut kota di Banyuwangi, mengapa dinamakan Blambangan, Sri Tanjung, kerajaan yang berkuasa, dan segala macam lainnya.  Anak muda yang dapat diandalkan dan peduli dengan sejarah kota miliknya. 

Banyuwangi merupakan kota yang cukup maju dengan pesat walaupun tanpa kehadiran makanan cepat saji yang banyak ditemukan di kota kota besar, untuk membeli Jco saja harus pergi ke Surabaya dulu yang butuh waktu naik kereta selama kurang lebih 6 jam (oh please).  Kota yang tenang karena benar benar jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota kota besar, tetapi pada hari libur menjadi kota yang ramai karena masyarakat yang merantau biasanya akan pulang ke Banyuwangi. 

Belum lagi Banyuwangi punya banyak kegiatan kota yang cukup unik, di akhir tahun akan banyak festival yang diadakan di kota Banyuwangi, belum lagi setiap hari Sabtu selalu ada acara di alun alun kota. 

Selanjutnya kami memperbincangkan tentang keinginan untuk ke Kawah Ijen.  Mas Rian dan Mas Sigit menyanggupi untuk mengantarkan kami ke Kawah Ijen malam itu, tapi menurut Mas Sigit yang sudah empat kali ke Kawah Ijen, perjalanan kesana cukup berat.  Butuh waktu 4 jam dari Banyuwangi dan jalanan yang cukup curam, kanan kiri jurang.  Mas Rian sendiri belum pernah ke Kawah Ijen, jadi kami semua mengandalkan informasi dari Mas Sigit saat itu.  HRP, Mas Rian, dan Mas Sigit memutuskan untuk ke Kawah Ijen malam itu, tinggal saya yang masih ragu.  Semua keputusan tergantung saya. 

Saya kurang berani malam itu, dengan keadaan saya yang cukup mengantuk karena kecapekan di Baluran, belum lagi perjalanan yang menurut Mas Sigit 4 jam, lalu sampai disana harus melakukan trekking selama 2-3 jam untuk sampai ke Kawah Ijen.  Bahkan belum tentu bisa melihat Blue Fire karena status waspadanya.  Sulit sekali rasanya untuk memutuskan saat itu, apalagi kesempatan untuk melihat Blue Fire hanyalah malam itu karena rabu pagi kami sudah harus berangkat pulang ke Jogja.  Tapi pada akhirnya saya pun menyerah dan memutuskan untuk tidak pergi malam itu, sehingga mereka bertiga mengikuti keputusan saya.

Sampai di hotel saya terus memikirkan bagaimana cara untuk ke Ijen dan melihat Blue Fire.  Berencana memakai angkutan umum saja (berhubung saya juga sudah mencari tahu bagaimana cara dengan kendaraan umum) tapi dengan situasi tidak akan bisa melihat Blue Fire di saat subuh karena kendaraan umum untuk turun tidak selalu ada 24 jam apalagi dengan kondisi kami yang harus pulang di Rabu pagi. 

Ada kekecewaan karena keputusan saya dengan jelas memupuskan harapan untuk melihat Blue Fire.  Yang jelas saat itu saya butuh tidur dan tidak mau terlalu ribet memikirkan rencana keesokan paginya.  Berdoa saja minta diijinkan melihat Blue Fire. 

Selasa, 27 Mei 2014

Pagi itu bangun dan langsung memikirkan cara untuk ke Kawah Ijen.  Berdasarkan informasi yang saya dapat, untuk mencapai ke Kawah Ijen kita bisa naik Lyn ke terminal Sasak Perot dan dari sana dilanjutkan naik kendaraan umum lainnya ke arah desa Jambu sekitar Rp 15.000 (tergantung negosiasi), lalu menumpang truk belerang yang hanya ada pada jam jam tertentu, seingat saya untuk ke menuju Kawah Ijen truk belerang lewat setiap hari (kecuali Jumat) jam 08.00 sampai 10.00, kita cukup membayar Rp. 5.000 per orang kepada supir truk dan bisa berbincang bincang dengan penambang lain yang ikut di truk belerang tersebut.  Kalau siang hari, truk belerang lewat sekitar jam 13.00, saya kurang tahu tepatnya karena catatan saya sepertinya tertinggal di hotel Banyuwangi.  Untuk kendaraan pulang dari Kawah Ijen, orang orang biasanya naik truk belerang keesokan paginya jam 10.00 lalu dilanjutkan seperti sebelumnya ke desa Jambu. 

Untuk ke Kawah Ijen, biasanya orang orang akan mulai datang di sore atau malam hari (karena akan memulai trekking sekitar jam 01.00 untuk melihat Blue Fire dan dilanjutkan menikmati sunrise) bila memakai kendaraan sendiri atau menyewa jeep dengan biaya Rp 500.000 per mobil yang bisa diisi sekitar 4 orang termasuk supir, atau kalau mau lebih berpetualang dan mengenal lebih dekat keadaan lokal dapat menggunakan kendaraan umum seperti cara diatas.  Bila menggunakan kendaraan umum, kita harus menyediakan waktu lebih banyak lagi karena truk belerang yang hanya ada pada jam jam tertentu saja, jadi kemungkinan besar kalau kita mau melihat Blue Fire harus menginap atau menunggu malam dahulu baru melakukan trekking ke Kawah Ijen. 

Jalan menuju Paltuding
Kembali ke pemikiran cara ke Kawah Ijen hari itu, ternyata Edvin mengajak untuk ke Kawah Ijen bersama dia dan Mas Rian saja diantar.  Menurut mereka lebih baik kalau ada laki lakinya.  Jadi pagi itu mereka pun menjemput kami jam 09.00 di hotel.  Dalam perjalanan ke Kawah Ijen mereka membeli nasi bungkus dulu sebagai perbekalan disana.  Lalu perjalanan pun dimulai dengan keadaan lebih mudah, karena kondisi jalan yang sudah mulus dan lebih banyak penunjuk jalan yang tersedia.  Dan ternyata pernyataan Mas Sigit yang memerlukan waktu 4 jam ke Kawah Ijen kurang dapat diandalkan, medannya pun tidak semenyeramkan yang diceritakan.  Jalan menuju Kawah Ijen sudah diaspal seluruhnya hanya memang kanan kiri penuh dengan hutan.  Kalau siang hari tidak begitu menyeramkan, pasti akan berbeda kalau malam hari, mungkin itu juga yang dimaksud Mas Sigit malam kemaren.  Lebih baik untuk perjalanan perdana, berangkatlah saat hari masih terang sehingga bisa tahu medan perjalanan menuju Paltuding dan Kawah Ijen, setelahnya kalau mau pada malam hari silahkan, yang penting sudah terbayang perjalanan di dalam kegelapan itu.

Gerbang utama untuk ke Kawah Ijen bernama Paltuding, tempat beristirahat sebelum melakukan trekking dan tempat akhir menggunakan kendaraan.  Di Paltuding ada beberapa warung makan yang menyediakan indomie dan minuman hangat lainnya.  Bisa juga menunggu malam di warung warung makan tersebut dan kalau ke Kawah Ijen jangan lupa membawa banyak jaket tebal, sarung tangan, dan masker tentunya.  Udara di Kawah ijen tentunya sangat dingin sudah terasa sejak dalam perjalanan menuju Kawah Ijen.  Di Paltuding sendiri udara sudah cukup dingin, mungkin sekitar 12-15 derajat.  Belum lagi ketika sampai atas akan lebih dingin, tapi akan terbantu dengan adanya sinar matahari. 

Waktu yang diperlukan dari Banyuwangi sampai ke Paltuding sekitar 1,5 jam menggunakan motor.  Ada beberapa jalan dengan tanjakan cukup curam, sehingga saya sempat turun dari motor dan berjalan kaki karena Mas Rian menggunakan motor matic (kurang disarankan untuk pakai motor matic kesini).  Sampai di Paltuding udara semakin dingin walau siang hari, kami beristirahat sejenak bertemu dengan teman teman Mas Rian dan Edvin yang sudah lebih dulu sampai.  Di Paltuding akan ditarik biaya parkir sebesar Rp 6.000 per motor (sepertinya sudah termasuk tiket masuk per orangnya).  Dan di tempat parkir motor dengan jelas ada pengumuman bahwa Kawah Ijen masih dalam status waspada 2.  Pengumuman ini cukup melegakan karena memang Blue Fire masih belum bisa dilihat, menghibur hati dengan berpikir harus kembali kesini untuk melihat Blue Fire (walau masih kecewa juga sudah jauh jauh ke Banyuwangi tapi tidak bisa lihat Blue Fire). 

Dalam perbincangan dengan teman teman yang lain, ada yang mencetus kalau Blue Fire sudah mulai bisa dilihat hari itu.  Simpang siur memang, mungkin karena melihat keadaan yang sebenarnya aman aman saja hanya petugas tidak mau mengambil resiko.  Saya dan HRP pun bingung, memikirkan segala cara untuk bisa melihat Blue Fire tanpa harus ketinggalan kereta esok paginya.  Sambil berharap juga semoga memang belum bisa melihat Blue Fire. 


Jam 12.00 kami memulai perjalanan ke Kawah Ijen bersama pasangan suami istri muda dengan anaknya berumur 2,5 tahun, Mas Ua, Mba Ajeng, dan Al.  Perjalanan dimulai dengan mengambil foto bersama turis dari Slovakia.  Sepanjang perjalanan banyak orang melihat rombongan kami karena membawa seorang anak kecil dan sepanjang perjalanan juga kita akan banyak menyapa dengan orang orang yang tidak dikenal, belum lagi para penambang yang turun membawa belerang yang sangat berat sekitar 70
kg di bahunya  dengan jarak 3 km sekali jalan. 

Untuk saya yang sebenarnya tidak suka trekking, perjalanan ini cukup melelahkan.  Beberapa kali istirahat sejenak untuk mengambil nafas, sampai beberapa kali Edvin mendorong saya dari belakang agar lebih cepat melangkah ditanjakan.  Selama trekking pasti kita akan saling memberi semangat satu sama lain walaupun kepada orang orang yang tidak kita kenal.  Lumayan belajar mengenal karakter dasar seorang manusia yang saling mendukung.  Perjalanan trekking ini pun tidak membosankan, pemandangan di kanan kiri dan belakang sangat memanjakan mata ditambah udara dingin yang disediakan alam.  Walau pada dasarnya tidak suka trekking, saya tidak ada kepikiran sedikitpun untuk menyerah dan kembali turun.  Rasa penasaran dengan Kawah Ijen dan Blue Fire lebih besar dibanding menyerah dengan rasa capek. 

Ditengah perjalanan kita akan sampai di pos terakhir, Pos Bundar.  Kantin yang menyediakan air minum hangat dan pop mie seharga Rp 8.000.  Ketika membeli pop mie di Pos Bundar, saya iseng bertanya mengenai Blue Fire.  Menurut Bapak penjaga kantin masih belum bisa melihat Blue Fire karena status waspada dan pengunjung baru boleh mulai trekking pada jam 03.00/04.00 dini hari.  Jadi akan sampai di atas pada saat matahari telah terbit dan tidak sempat melihat Blue Fire.  Saya pun bertanya, apakah Blue Fire hanya ada pada subuh hari.  Ternyata tidak, Blue Fire selalu ada 24 jam, tapi butuh keadaan gelap agar bisa dilihat oleh mata, jadi sebenarnya ketika maghrib pun kita sudah bisa melihat Blue Fire.  Rencana baru pun sudah mulai tersusun diotak saya untuk menunggu Blue Fire saat maghrib saja, tapi langsung dilenyapkan dengan pernyataan Beliau, “tapi jam 16.00 nanti petugas akan datang ke atas untuk mengecek dan meminta pengunjung untuk kembali turun ke Paltuding”.  Lagi lagi kecewa. 
Dari Pos Bundar, perjalanan untuk sampai keatas masih sekitar setengah jam lagi.  Jadi kalau belum sampai di Pos Bundar dan bertemu dengan orang orang yang dalam perjalanan turun kemudian mereka bilang “semangat, bentar lagi sampai kok.”, itu hanyalah semangat klise biar kita ga menyerah (nyebelin ya gue buka rahasia). 


Perjalanan setelah Pos Bundar akan lebih ringan karena ada beberapa jalanan datar walau masih banyak tanjakan yang harus dilalui.  Kabut pun mulai dapat disentuh dalam perjalanan setelah Pos Bundar.  Setelah itu kalau sudah sampai di atas yaitu Kawah Ijen, tenang saja capek kita akan terbayarkan bahkan hilang begitu saja.  Sesuatu yang sangat layak diperjuangkan.
Pemandangan menuju Kawah Ijen

Waktu trekking yang dibutuhkan dari Paltuding ke Kawah Ijen sekitar 2-3 jam, tergantung banyak istirahat atau tidak selama trekking.  Lebih baik kalau capek jangan dipaksa, istirahat saja, tidak perlu terburu buru.  Ketika sampai diatas, harus selalu ingat untuk berjalan melawan arah angin agar asap belerang tidak begitu menusuk pernapasan kita.  Tapi kalau tidak turun lagi ke Kawah Ijennya, hanya kecil kemungkinan asap belerang sampai ke kita.  Kalau sudah berhasil sampai atas, kita akan disuguhi suasana dataran seperti yang ada di Mesir hanya beda yang ini disediakan udara yang dingin.  Kami pun melanjutkan perjalanan mengitari mulut Kawah, keadaan jalannya penuh dengan batu batuan besar.  Kami duduk beristirahat dekat dengan tanda larangan untuk turun ke bawah yang terletak di tangga batu untuk kebawah.  Duduk sambil menikmati keindahan Kawah Ijen, mulai dari danau sulfur berwarna hijau tosca, batu batuan yang kece abis, udara dingin ditemani sinar matahari.  Serius asik banget. 

Sekitar setengah jam duduk diam di mulut kawah, Mas Ua, Mba Ajeng, dan Al pun turun duluan ke Paltuding meninggalkan kami berempat yang masih belum puas memanjakan mata.  Ketika kami melihat kebawah arah danau, cukup takjub melihat ada orang yang berada di bawah sana, dan terlihat sangat kecil sekali dari atas.  Takjub bagaimana bisa mereka turun kesana melihat medan yang jelas sekali cukup berat.  Tidak berapa lama kami pun ingin mengambil foto dengan berdiri di tangga batu.  Ketika sedang berfoto tiba tiba lewat dua orang Bapak penambang yang mengajak untuk ikut turun ke bawah bersama mereka.  Kami berdua bingung apalagi dengan jelas ada larangan disebelah tangga.  Setelah bertanya berkali kali dan kedua Bapak ini tetap yakin kalau tidak akan apa apa, kami pun turun kebawah dipandu kedua Bapak tersebut, disusul dengan Mas Rian dan Edvin. 

Perjalanan yang harus dilalui untuk sampai ke bawah
Dalam perjalanan ke bawah, tangan kanan Bapak penambang ini memegang tangan saya agar tidak terjatuh dalam menuruni setiap batu, sambil di bahu kirinya memikul dua keranjang untuk diisi dengan belerang.  Kami pun berbincang beberapa hal sambil ketakutan karena beberapa kali hampir terpeleset ketika turun karena selain batu ada banyak pasir yang cukup licin (saya yang ketakutan, bukan Beliau).  Beliau pun menyarankan untuk turun dengan posisi miring seperti jalan kepiting sehingga bisa menahan kalau terjatuh.  Berikut perbincangan yang saya lakukan dengan Beliau.

“Beneran gak papa untuk  turun ke bawah Pak?”

“Iya, asal ada pemandunya gak papa kok.  Memang sempat ada turis yang meninggal, tapi itu karena dia asal turun saja tanpa pemandu, jadi dia belum tau medannya seperti apa.”

“Tapi emang bener Pak cuma ada 2 Blue Fire di dunia?”

“Iya benar itu, tapi cuma disini yang apinya abadi.  Mau hujan seharian apinya tidak akan mati.”

“Oh, terus Bapak udah berapa lama kerja disini?”

“Baru sebentar kalau saya, 25 tahun.”

“Buset, itu sih bukan bentar Pak, lebih lama Bapak kerja disini dibanding saya hidup.”

Kami pun tertawa sambil tetap berjuang untuk turun.

“Saya kerja disini sejak umur 21 tahun.  Orang tua juga dulu kerja disini, ingin lebih baik tapi ya gimana, untuk sekolah mahal.  Biaya makan saja masih susah.  Inginnya juga anak saya nanti bisa lebih baik.”

“Ohiya sih ya Pak.”  Karena bingung juga gatau harus merespon apa dan sedih dengan keadaan Beliau. 

Walau semakin ke bawah semakin berbahaya, tapi itu semua berbanding lurus dengan keindahan yang bisa kita nikmati.  Penting banget untuk turun ke bawah, jangan hanya berhenti di mulut Kawah Ijen.  Ingat, hati hati, dan lebih baik bersama para penambang belerang sebagai pemandu untuk mengurangi resiko terjadi hal yang tidak diinginkan.

Lalu kami berhenti sejenak di batu yang cukup besar (kurang tau apakah itu batu, yang pasti pijakan yang cukup luas untuk beberapa orang), di tempat itu kami bertemu dengan dua orang backpacker juga dari Solo, seorang wanita dan laki laki.  Senang banget rasanya bisa bertemu dengan mereka, walau baru kenal beberapa detik (bahkan tidak saling tukar nama), kami langsung lancar bercerita satu sama lain, heboh dengan Banyuwangi.  Setelah berbincang bincang ternyata mereka juga ingin melihat Blue Fire dan rencana akan naik lagi nanti subuh jam 01.00.  Tapi kami memberitahu kalau tidak akan diijinkan naik oleh petugas di Paltuding.  Lalu kedua Bapak yang menemani kami pun mengusulkan untuk menunggu saja bersama mereka di bawah sehingga bisa melihat Blue Fire saat maghrib nanti. 

Kami pun kembali bertanya berkali kali apakah akan aman dengan status yang masih waspada 2, ditambah lagi teman kami dari Solo tidak membawa masker.  Kedua Bapak ini pun tetap meyakinkan bahwa tidak akan ada apa apa.  Memberi jalan keluar untuk turun ke bawah dan beristirahat di tenda milik mereka, dimana semakin dekat dengan asap belerang.  Kedua Bapak ini terus meyakinkan kami semua.  Kedua orang dari Solo ini pun bertanya balik kepada kami, kalau kami ikut mereka akan ikut, kalau tidak ya mereka tidak mau.  Saya bertanya pada HRP untuk mengambil keputusan, kami pun mengiyakan, kapan lagi? Sudah sejauh ini. 

Lalu laki laki dari Solo ini pun kembali naik ke atas mulut kawah untuk mengambil tas dan bertanya kepada dua orang lagi teman mereka.  Kiki, wanita yang bersamanya (akhirnya kami berkenalan) pun bercerita tentang bagaimana mereka ke Kawah Ijen, dengan menggunakan truk belerang yang banyak disarankan dari blog blog orang.  Kedua Bapak yang menemani kami pun memutuskan untuk pergi ke bawah duluan dan menyarankan kalau nanti mau turun tinggal teriak saja memanggil nama mereka. 

Sesampainya teman Kiki di bawah bersama dengan kedua teman lainnya, kami pun memulai untuk kembali turun ke bawah, semakin dekat dengan danau sulfur.  Perjalanan ini menjadi berdelapan orang.  Sambil turun saya berbincang dengan laki laki ini, sebut saja Onta agar lebih gampang (karena belum sempat berkenalan dan itu sebutan yang sempat dia lontarkan ketika bercerita dengan saya), jadi mereka berencana untuk ke Alas Purwo (tempat yang tidak kesampaian saya kunjungi), Red Island, Green Bay, dan Baluran.  Karena hanya belum kesampaian ke Alas Purwo, saya pun banyak bercerita tentang bagaimana cara untuk ke tempat tempat lainnya kepada Onta ini (dimana seseorang yang ganteng dengan hidung mancung ala orang Arab campur Ambon, kece).  Tapi ditengah jalan ke bawah kami berhenti sejenak karena tiba tiba angin bergerak ke arah kami dan membawa asap belerang.  Kami berdiri membelakangi danau untuk menghindari asap. 
Ijen Crater
Lama kelamaan banyak orang melewati kami untuk kembali naik ke mulut kawah, kami masih terdiam menunggu dan berharap angin segera bergerak ke arah lain.  Cukup lama menunggu, yang ada angin semakin kencang ke arah kami dan asap semakin menyelimuti kami.  Kiki pun berteriak memanggil nama saya, dilanjutkan dengan Onta yang menyarankan untuk ke atas dulu saja.  Terlambat untuk naik ke atas, asap belerang sudah ada disekitar kami semakin banyak, kami berusaha berjalan ke atas lebih cepat dan tetap hati hati.  Jujur, saat itu saya sudah berpikir apakah saya akan meninggal disana karena keracunan asap belerang.  Sempat saya berhenti karena rasanya tenggorokan ditusuk tusuk dan sakit sekali.  Bener benar berjuang melawan lelah untuk menanjak ditambah dengan medan yang berbahaya, kami terus bergerak ke atas, tertinggal dengan orang orang lain. 

Sampai di pijakan luas yang sebelumnya, kami istirahat sejenak, sementara Kiki dan temannya sudah cukup jauh diatas kami.  Kami menunggu sejenak di tempat itu karena Mas Rian sangat kelelahan.  Sepertinya Mas Rian sempat salah mengatur pernapasan dalam menanjak tadi.  Puji Tuhan di tempat itu pernapasan sudah semakin membaik.  Kami memang memakai masker, tapi itu tidak cukup membantu, ada kalanya kita lebih baik membuka masker sehingga udara yang kita keluarkan setelah menghirup asap belerang tersebut tidak terkumpul di masker kita.  Usahakan untuk tetap tenang, pintar mengatur nafas, dan hati hati dalam melangkah, berdoa juga sih paling penting. 

Karena kami menunggu Mas Rian yang beristirahat, kami pun memberitahu ke Onta dan teman temannya untuk melanjutkan perjalanan ke atas lebih dulu.  Karena kejadian itu kami pun berpisah dengan Onta, Kiki, dan temannya. 

Ijen Crater, Been There
Setelah Mas Rian membaik, kami berencana melanjutkan perjalanan ke atas, tapi Edvin dan Mas Rian bersikeras untuk menunggu saja Blue Fire di tempat itu.  Saya adalah orang yang paling cemas diantara mereka, takut angin akan kembali membawa asap ke atas dan sampai ke tempat kami beristirahat.  Beberapa saat melihat pergerakan angin dan sepertinya walaupun angin ke arah kami, asap tidak akan sampai ke tempat itu, saya pun mengikuti untuk menunggu Blue Fire disana, akan tetapi naik sedikit lagi untuk beristirahat di batu bagian tepi kawah.  Sekalian menghindari terlihat dari mulut kawah juga jika petugas datang untuk mengecek keadaan kawah. 

Kalau tidak salah itu sekitar jam 15.00, jadi masih cukup panjang waktu untuk menunggu Blue Fire terlihat.  Udara semakin dingin namun masih terbantu dengan sinar matahari.  Saat itu waktu yang tepat untuk benar benar memanjakan mata melihat sepuas puasnya keindahan Kawah Ijen.  Rasanya seperti orang orang yang terdampar di daerah batuan dan mencoba bertahan hidup, karena hanya ada kami berempat dan kedua Bapak tadi yang sedang di bawah dekat danau sana.  Benar benar cerita yang jauh dari kata biasa. 

Sempat beberapa kali angin kembali bergerak ke arah kami, tapi Puji Tuhan tidak cukup membuat asap belerang sampai ke tempat kami.  Saat itu saya berdoa agar diijinkan untuk melihat Blue Fire.  Entah kenapa begitu penasaran dan ingin menjadi salah satu saksi untuk melihat Blue Fire. 

Semakin sore semakin dingin, sunset dari tempat kami pun keren parah! Sebelum jam 5 sore, seorang Bapak yang tadi pun naik ke atas sambil membawa belerang di pikulannya.  Beliau mengira kalau kami sudah pulang dan menjelaskan kalau asap tadi karena ada kebakaran lalu menyarankan untuk tunggu di tempat ini saja.  Beliau memberikan belerang yang sudah dicetak berbentuk kura kura ke saya dan bercerita dengan kami semua.  Beliau cerita memang susah pekerjaan ini, resiko kesehatan dan resiko keselamatan yang benar benar besar.  Lalu Beliau berkata, “Saya sempat mengecek kondisi paru paru saya ke dokter beberapa waktu lalu, tapi menurut dokter paru paru saya baik baik saja, tidak terjadi kejanggalan apapun.  Alhamdulillah.  Berani kerja, harus berani mati.”  Nangis.

Sunset di Kawah Ijen
Tidak lama Beliau melanjutkan perjalanan ke atas dengan memikul belerang seberat 70 kg itu.  Kalau kalian disana kalian akan lebih tahu bagaimana kondisi perjalanan yang harus ditempuh setiap penambang dengan memikul berat sebesar itu.  Kami saja yang hanya membawa tas kecil rasanya sudah kelelahan, apalagi mereka yang membawa belerang minimal 70 kg.  Pahlawan super.

Untuk kura kura dari belerang tersebut, Bapak ini tidak meminta bayaran.  Sempat saya mengembalikan karena tidak tahu harus membayar berapa, tapi Beliau malah balik bertanya, “Loh emang gamau ini? Ambil saja.” Baik banget pingin nangis.

Setelah Beliau pergi, datang Bapak satu lagi yang memandu saya pertama kali (untuk nama tidak saya sebutkan untuk keamanan Beliau, tapi kalau mau bertanya secara personal ke saya bisa, saya ga bakal lupa nama mereka berdua).  Beliau pun mengira kalau kami sudah pulang karena kejadian asap tadi.  Saat itu saya bertanya bagaimana cara kami pulang nanti setelah melihat Blue Fire, kan keadaan sudah gelap dan kami tidak bawa senter.  Lalu Beliau pun memutuskan untuk menemani kami dengan senter milik Beliau.  Disitu Beliau cerita lagi kalau Blue Fire ini tidak padam karena kandungan sulfurnya yang 99% dan kita harus bisa menikmati pekerjaan kita walaupun itu berbahaya.  Belum lagi Beliau cerita pertama kali kerja, Beliau mulai dengan membawa belerang seberat 70 kg dan belerang yang terberat pernah Beliau bawa adalah 130 kg.  Superhero!

Bahkan melihat saya yang kedinginan dan kondisi kami yang tidak punya air minum sedikit pun, Beliau memberikan air minum miliknya ke saya (tanpa minta dibayar).  Saya berkali kali menolak karena sebelumnya sudah menitip minta dibelikan air putih ke Bapak sebelumnya yang menuju ke Pos Bundar, tapi tetap saja Beliau memberikan air putih itu dan menyuruh saya meminumnya. 

Jam 17.15 kami pun turun ke bawah untuk melihat Blue Fire sembari menunggu matahari benar benar terbenam.  Saya kembali dituntun Beliau sepanjang perjalanan dan banyak cari tahu lebih dalam lagi.  Masih cukup jauh juga untuk turun ke bawah walau rasanya danau tersebut sudah di depan mata, ternyata masih panjang perjalanan untuk dekat dengan danau tersebut.  Tapi kami tidak turun sampai ke dekat danau, karena menurut Beliau itu berbahaya.  Beliau membawa kami ke sebuah pijakan yang cukup luas lagi, batas aman kami untuk melihat Blue Fire.  Benar, sampai disana hari sudah gelap dan Blue Fire pun terlihat.  KEREN BANGET! KECE! PECAH! PARAH!
Superstar, what we'd been waiting for.  Blue Fire
Diperlukan kamera sekelas DSLR minimal, karena dengan kamera smartphone yang lumayan bagus ketika mencoba menangkapnya terasa sangat jauh.  Disaat itu kembali saya menyadari, mata itu lensa terbagus yang pernah ada.  Kalau mata bisa menangkap gambar dan menjadikannya sebuah foto yang bisa diperlihatkan bukan hanya diotak kita saja, mungkin sudah berapa gambar saya cetak dengan lensa mata saya ini. 

Yang lebih kerennya lagi, Bapak ini meminta smartphone HRP untuk mengambil gambar dengan cara dia pergi lebih dekat lagi ke Blue Fire.  Kagum sekaligus khawatir ketika melihat Beliau berlari menuruni batu batuan dan pergi sangat dekat dengan Blue Fire demi memberi kami gambar Blue Fire yang bagus.  Tidak hanya ke satu spot, tapi Beliau berlari ke beberapa spot untuk mengambil gambar ditengah tengah asap belerang yang udah gatau lagi banyaknya kaya apa.  Kita sampai teriak teriak agar Beliau kembali saja dan berhati hati. 

Lalu Beliau kembali dan dengan perasaan bangga menunjukkan gambar yang berhasil Beliau dapatkan.  Banyak banget dan keren keren semua.  Beliau hebat banget! 

Kemudian Beliau menyarankan untuk segera kembali ke atas sebelum semakin malam.  Saya berada paling depan bersama Beliau, sehingga berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti irama kecepatan Beliau.  Sampai ditempat titik kami sebelumnya, Beliau memberikan senternya kepada saya yang sama sekali tidak punya penerangan sama sekali diantara berempat lainnya.  Beliau memikul belerang dan memimpin perjalanan ke atas.  Saya berjalan dibelakang Beliau sambil menyinari jalan di depan Beliau, tapi Beliau menolak dan berkata lebih baik menerangi jalan di depan saya saja karena Beliau sudah hapal betul daerah itu. 

Sempat kami kecapekan ingin istirahat, tapi tidak sanggup melihat Beliau yang memandu sambil membawa belerang dibahunya.  Akhirnya HRP pun gantian menemani Beliau, sehingga saya dan dua orang teman saya bisa istirahat sejenak.  Perjalanan ke mulut kawah pada malam hari terasa lebih panjang dari sebelumnya.  Mungkin karena efek gelap dan kami habis turun ke bawah lalu kembali naik lagi jadi cukup kelelahan.  Semakin dekat dengan mulut kawah, udara semakin dingin dan angin semakin besar.  Benar benar dingin.  Sampai di mulut kawah, Beliau meletakkan keranjang belerangnya karena kecapekan sehingga berencana untuk membawa besok pagi saja. 

Di detik ini, di saat ini, coba kalian berhenti sejenak untuk melihat ke langit.  Lautan penuh bintang yang rasanya dekat dan dapat diloncati.  Gak perlu ke Boscha, cukup disitu akan disuguhi pemandangan indah lautan penuh bintang. 

Kembali dalam perjalanan bersama Beliau menuju Pos Bundar.  Beliau berada di depan bersama HRP, saya di tengah sendiri, dan dibelakang para pria.  Mungkin sebenarnya cukup mengerikan berjalan di dalam kegelapan dan hanya berlima.  Tapi perasaan udah keburu takjub dengan Kawah Ijen, Blue Fire, dan lautan bintang, keindahan yang bertubi tubi dalam waktu dekat menghapus ketakutan selama perjalanan menuju Pos Bundar dan Paltuding. 

Untuk informasi kalian, belerang yang dibawa sama semua superhero Kawah Ijen ini akan ditimbang di Pos Bundar, dan uang yang mereka dapat adalah Rp 700 – 800 per kg, jadi beban yang mereka bawa di bahu itu untuk sekali jalan dengan kondisi medan yang gabisa saya jelaskan bahayanya seperti apa, dihargai sekitar Rp 56.000.  Dan para penambang ini hanya boleh 2 kali turun naik dalam sehari.  Perusahaan yang membayar mereka adalah perusahaan dari Surabaya, kurang tahu nama tepatnya. 

Sedih, kagum, terharu, tersayat mendengarnya.  Kembali belajar setiap orang punya perannya masing masing di dunia ini.  Ada yang harus seberusaha dan seberat itu untuk mendapat Rp 50.000, ada yang duduk diam selama sejam di meja kantor dan dibayar dua kali lipat dari mereka, ada yang bahkan sampai dibayar berkali kali lipat lagi per jamnya tanpa harus memikul 70 kg di bahu dan berjalan sejauh 3 km.  Walau untuk kerja kantoran beban yang kita bawa memang tidak dapat diukur dan terlihat seperti belerang 70 kg tersebut, mungkin saja otak kita membawa beban yang sama atau lebih berat dibanding belerang 70 kg tersebut. 

Nominal uang yang sering saya gunakan tanpa berpikir panjang untuk dihabiskan di cafe atau membeli barang tertentu, justru sangat dicari dan diperjuangkan oleh sebagian orang di banyak belahan dunia lainnya.  Begitu juga nominal uang yang saya perjuangkan untuk mendapatkannya di kantor, justru sering digunakan tanpa pikir panjang oleh orang orang yang sudah punya banyak uang dan lebih mudah mendapatkan uang dibanding saya.  Tergantung kita mau melihat ke atas atau ke bawah.  Atau mungkin lebih baik tidak melihat ke bawah ataupun keatas sehingga kita bisa dengan lebih maksimal menikmati dan mensyukuri peran yang kita dapat di dunia ini. 

Beliau hanya menemani kami sampai di Pos Bundar karena Beliau tugas bermalam disana.  Saat berpisah di Pos Bundar saya berkali kali berterima kasih dan berkata bahwa Beliau orang keren, hebat, super dengan perjuangan yang Beliau lakukan setiap harinya.  Saya ingin mereka sadar walau mungkin ada beberapa orang yang meremehkan pekerjaan mereka (mungkin karena tidak melihat sendiri perjuangan yang mereka lakukan), saya harap mereka tahu bahwa mereka tidak kalah hebat dari orang orang terkenal lain yang jasanya diakui oleh dunia. Bahkan sebelum melanjutkan perjalanan ke Paltuding, Beliau mengambil banyak belerang yang diperjualbelikan untuk diberikan kepada kita sebagai oleh oleh.  Jangan terlalu baik sampai ga rela kita tinggalkan dong Pak. 

Perjalanan ke Paltuding pun kami lanjutkan berempat ditengah kegelapan hutan dan cahaya hanya dari handphone masing – masing.  Awalnya saya berpikir perjalanan tidak akan berat karena jalan yang menurun, tetapi HRP sempat bilang kalau dia merasa lebih lelah karena harus menahan berat kita sendiri.  Lama lama baru terasa apa yang dia bilang benar dan kembali saya yang paling cupu diantara mereka.  Sejak awal saya sudah beberapa kali terpeleset karena jalan yang berpasir sehingga cukup licin dan susah melawan gravitasi, beberapa metode saya lakukan.  Mulai dari jalan sendiri dan pelan pelan dengan menumpang cahaya dari smartphone mereka.  Lalu mengikuti cara Edvin yang berlari kecil sehingga lebih minim untuk terpeleset.  Sampai akhirnya karena yang paling sering terpeleset (ga kehitung banyaknya), Edvin pun menemani disebelah saya untuk terus memegang tangan saya, yang paling parahnya saya sempat terpeleset dan tidak bisa menahan diri sehingga sampai posisi jongkok pun badan saya terus turun mengikuti pasir yang tidak bisa melawan gravitasi. 

Beberapa kali saya melihat ke belakang dan memastikan bahwa benar benar gelap keadaan di belakang kami, cahaya yang ada hanyalah dari smartphone dan semua yang ada di langit.  Sepanjang perjalanan hanya bertemu dengan 1 orang penambang, sisanya hanya kami berempat.  Begitu melihat cahaya lampu dari pos Paltuding, rasanya senang seperti sudah lama ga melihat peradaban manusia, berasa abis melakukan petualangan dari tempat antah berantah dan mencoba bertahan hidup berbulan bulan sampai akhirnya menemukan manusia dan tanda kehidupan selain kami berempat. 

Sampai di Pos Paltuding sekitar jam 19.00, tanpa pikir panjang saya langsung memesan indomie goreng walaupun tadi siang sudah memakan indomie, yang penting perut diisi dulu.  Setelah makan mencoba tidur sebentar di kursi bambu, tapi ga tahan hanya beberapa menit langsung terbangun lagi karena udara yang cukup dingin.  Diantara kami berempat, cuma saya manusia yang kedinginan.  Jam 20.00 kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke Banyuwangi.  Kegelapan masih belum selesai kami lalui hari itu. 

Dengan kondisi udara yang semakin malam akan semakin dingin dan hanya kami manusia yang akan menyusuri perjalanan dari Paltuding ke Banyuwangi malam itu.  Memang jalan bagus, garis jalan pun terlihat jelas, rambu jalan juga masih bagus, tapi kanan kiri sepenuhnya hutan dan cahaya hanyalah dari kedua lampu motor kami.  Kami sudah sepakat untuk pelan pelan saja kecepatan 20-30 km/h (itu saja masih cukup dingin).  Lama kelamaan, gelapnya malam mulai mempengaruhi kami untuk lebih baik menambah kecepatan.  Bahkan ditengah jalan sempat hujan sehingga Mas Rian harus berhenti dulu untuk mengambil jas hujan dan saya dengan pura pura berani turun dari motor menunggu Mas Rian selesai menggunakan jas hujan. 

Lumayan menakutkan dan mata pun seringkali melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada apa apa.  Dalam perjalanan pun berdoa supaya tidak terjadi apa apa dan hujan segera berhenti.  Tidak lama hujan berhenti dan saya hanya mau bernyanyi nyanyi sendiri saja untuk menghindari pikiran pikiran negatif. 
Di perjalanan, Mas Rian berkata, “kalian itu termasuk beruntung, semua dilancarkan.”

“kan berdoa dulu Mas.”

“tapi memang benar loh, semuanya lancar aman dan semua kalian dapat. Hebat.”

“Tuhan sediakan Mas semuanya.”

Karena memang benar segala kelancaran perjalanan kami ini yang dianggap nekat dan berani oleh beberapa orang, semuanya disponsori oleh Wonder J.  Yang bahkan charger handphone pun Dia sediakan.  Satu lagi yang saya pelajari, ketika saya meminta untuk melihat Blue Fire dan kesampaian, hal yang saya inginkan saja dikasih, apalagi hal yang saya butuhkan.  Jadi gausah khawatir selama mengandalkan Wonder J. 

Kami sampai di Banyuwangi sekitar pukul 21.30.  Sebelum ke penginapan kami mampir dahulu ke rumah Om Shandi untuk pamit karena besok pagi sudah harus pulang menuju Jogja.  Om Shandi banyak bercerita tentang tempat wisata di Banyuwangi, lalu cerita juga dulu dia sampai 2 minggu sekali ke Kawah Ijen.  Pernah kecelakaan, di hadang kanan kiri dan belakang dalam perjalanan pulang, tapi kuncinya harus tetap berpikir positif. 

Ketika sampai penginapan saya bahas dengan HRP maksudnya apa kecelakaan yang dialamai oleh Om Shandi, barulah saya mengerti setelah dijelaskan oleh HRP dan kembali bersyukur perjalanan kami benar benar dijaga sehingga luka sedikitpun gada. 

Rabu pagi kami check out dan di depan gerbang sudah ada Bapak supir Lyn yang menawarkan untuk menjemput kami di hari sebelumnya.  Kami pun berangkat menuju stasiun Banyuwangibaru yang tidak jauh dari hotel, mungkin kurang dari 10 menit.  Di gerbang stasiun, Bapak tersebut berhenti dan menawarkan untuk membeli nasi bungkus sebagai bekal di kereta.  Nasi bungkusnya cuma Rp 5.000 udah sama ayam dan tempe.  Lalu saya dan HRP sempat berdiskusi harus bayar berapa ke Bapak supir ini.  Sampai di pintu stasiun karena bingung harus bayar berapa, HRP pun bertanya, dan kalian tahu biaya yang diminta Beliau? Rp 10.000 saja untuk berdua.  Sama saja dengan naik Lyn biasa tanpa harus dijemput, kami kira akan lebih mahal karena Bapak ini sudah menjemput dan tidak mencari penumpang lain, tapi ternyata sama saja.  Aduh banyak banget orang baik yang disedikana dalam perjalanan kali ini dan hal ini yang membuat kami ingin balik lagi ke Banyuwangi. 

Total biaya yang saya keluarkan untuk perjalanan kali ini mungkin sekitar Rp 800.000, sudah termasuk tiket PP kereta api (yang bisa didapat lebih murah 50.000), penginapan, bayar bensin teman teman yang mengantar, dan mentraktir teman teman Banyuwangi setiap kali makan bersama mereka.  Perjalanan ini berlangsung selama satu minggu, Jumat malam berangkat dari Bandung dan Jumat pagi minggu berikutnya sudah sampai di Bandung.

Tentunya saya ingin kembali kesana, entah dalam waktu dekat atau akhir tahun ini ketika Banyuwangi ramai dengan festival, belum lagi ingin melihat musim kawin merak dan rusa di Baluran.  Tapi mungkin bisa saja Agustus ini akan kembali kesana menemani teman saya yang lainnya yang jadi tertarik untuk kesana.  Lagian belum kesampaian juga mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo yang ga kalah kece dari Baluran dan punya ombak terbesar setelah Hawaii.  Belum lagi ada beberapa tempat wisata baru yang akan dibuka dalam waktu dekat, lalu ke Pulau Menjangan, atau bahkan menyebrang ke Bali dengan biaya Rp 7.500 saja untuk sampai ke Gilimanuk.  Masih banyak tempat yang ingin saya datangi di Banyuwangi.  Jadi kalau ada yang berminat ke Banyuwangi setelah membaca cerita saya yang beneran panjang ini, jangan ragu ajak ajak saya.  Hati saya sebagian sudah tertinggal di Banyuwangi, bahkan kalau memungkinkan mau menjadi duta Banyuwangi ditambah kami punya hari jadi yang sama.  Please ajak gue! Lagian emang punya temen di Banyuwangi? Gue punya loh! Haha. 

Untuk penyewaan motor di Banyuwangi mungkin hanya ada satu tempat, bahkan orang Banyuwanginya sendiri pun tidak tahu.  Lebih baik menyewa mobil dan lebih asik kalau pergi dengan banyak orang agar bisa patungan lebih murah.  Dan satu lagi, beneran diperlukan orang lokal untuk pertama kali kesana.  Sebelumnya saya juga pernah hanya mengandalkan GPS dan penunjuk arah di kota Jogja dan Bali, tapi metode itu kurang bisa diandalkan kalau di Banyuwangi.  Tidak apa apa kalau kalian mau merasakan sensasi tersasar.

Satu lagi, untuk fakta Blue Fire yang hanya ada dua di dunia.  Ada kemungkinan bahwa Blue Fire sebenarnya hanya ada satu di dunia yaitu di Kawah Ijen.  Karena kalau saya cari keywords Blue Fire di google, akan keluar Iceland memang, tapi itu adalah nama Roller Coaster terbesar di dunia.  Memang Iceland punya Kawah, tapi sepertinya tidak memiliki Blue Fire seperti di Kawah Ijen.  Tapi kurang tau juga ya, kalian bisa coba cari sendiri informasinya di google.  Kalau salah bisa tolong dibenarkan informasi di tulisan saya ini.  Lalu untuk ke Kawah Ijennya sendiri, menurut saya lebih enak kalau trekking pada pagi atau siang hari dan melihat Blue Fire pada saat maghrib daripada baru mulai trekking saat subuh, karena Blue Fire tidak hanya terlihat waktu subuh saja kok.  Menghindari udara yang semakin dingin juga. 

Akhir kata, untuk siapapun yang berhasil membaca sampai paragraf ini, terima kasih! Semoga tulisan ini cukup informatif bagi kalian.  Saya tunggu ajakan untuk kembali ke Banyuwangi. 

Semoga tidak ada cerita yang tertinggal dari perjalanan dalam perjalanan ini.  Sebuah perjalanan lain dalam perjalanan hidup ini.  Satu cerita (bahkan banyak cerita) tambahan lagi yang telah siap dibagikan untuk anak di esok hari. 






Salam keindahan dari kaki yang telah menginjak Kawah Ijen, tangan yang menyentuh kerasnya Kawah Ijen, paru paru yang berjuang melawan belerang, badan yang menahan udara dingin alam, dan juga mata yang telah melihat Blue Fire beratapkan lautan penuh bintang. 









Banyuwangi.  Sunrise of Java.  The Hidden Superstar.  


************************************pictures mostly taken by Helena Return Pingkan**************************************

























5 comments:

  1. itu sepatu2 kalo mau difoto dicuci dulu dong wkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  2. Hai kak salam kenal, nama saya Ranu. Saya mau nanya2 tentang Baluran dong kak, ada nomer yang bisa dihubungi ga ya? makasih

    ReplyDelete
  3. Hi Ranu, salam kenal. Email ke aku dulu aja : gita.advina@yahoo.com :)

    ReplyDelete