Thursday, November 13, 2014

Kabar Perdana Dari Wamena

Perdana Papua

Pertama kalinya menginjakkan kaki seorang diri ke sebuah pulau bernama Papua, bahkan lebih tepatnya ibukota kabupaten Jayawijaya, Wamena, dan akan tinggal selama 2 tahun kedepan.

Reaksi kebanyakan orang - orang, "jauh banget! Nekat! Serius?!".

Keputusan yang besar memang, meninggalkan sebuah kenyamanan yang terbiasa dinikmati selama 23 tahun terakhir. Tapi kalau ada kesempatan besar, kenapa tidak diambil toh? Selagi belum punya suami dan anak, belum punya pacar, yang dipertimbangkan hanya diri sendiri dan keluarga. Hajar!

Kamis malam berangkat ke Jayapura tanpa tahu dan bertanya siapa yang akan menjemput di Wamena, justru keluarga dan sahabat dekat yang bertanya tanya. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah pemandangan seperti apa yang akan saya nikmati.

Ternyata dari Jayapura saya ditemani oleh suami calon atasan saya yang habis pulang dari Medan bersama orangtuanya. Sampai di Wamena, su banyak sekali orang orang menunggu di pagar landasan, Jarak tempat pesawat parkir dengan orang orang yang menunggu mungkin hanya 20 langkah saja.

Lalu kami pun pergi ke tempat rumah dinas kami, mungkin lebih tepatnya rumah susun dengan 2 tingkat saja. Sederhana, seadanya. Lantai kayu dan dinding triplek, jadi pembicaraan rumah kiri kanan dan bawah kedengaran sekali.

Setelah resmi menginjakkan kaki di Wamena, antara ekspektasi dan kenyataan benar berbeda. Banyak motor, mobil, becak, dan ATM Mandiri! Taxi disini pakai mobil Strada, canggih toh. Belum lagi kondisi keamanan kota, jauh dari kata "aman". Masih banyak OPM, sering terjadi perang suku di pinggiran (yang jaraknya hanya 7 km dari rumah saya yang di pusat kota), kalau berjalan kaki harus selalu waspada dengan masyarakat lokal (bisa dijambret, perkosa, bahkan bunuh), jangan kaget kalau lihat orang orang bawa parang. Pengemis disini mana mau dikasih recehan, minimal 5000, itu juga kalau tidak dimarahi. Kalau sedang ada perang atau keadaan tidak aman di kota, maka isu akan cepat menyebar, dan semua harus berada di dalam rumah saja sudah, tidak bisa kemana mana. Jam 6 malam harus sudah ada di rumah, karena jalanan sudah tidak aman. Sering ada rumah dicuri entah bagaimana mereka bisa buka pintu, dan lebih baik untuk pura pura tidak tahu saja daripada nyawa melayang. Hukum tidak berlaku.

Puji Tuhan rumah saya di daerah yang aman karena banyak polisi dan aparat keamanan.

Baru beberapa jam sampai sudah ketakutan, jauh sekali dari bayangan saya dengan desa aman dan tentram kaya di buku paket SD.

Keindahan alam sama besarnya dengan bahaya yang mengancam.

Wamena itu Papuanya Papua.  Belum ke Papua kalau belum ke Wamena.  Kalau mau lihat orang orang yang masih pakai Koteka, disinilah.

Wamena itu ibarat cekungan dasar wajan yang dikelilingi pegunungan Jayawijaya 360 derajat. Silahkan membayangkan berlapis lapis gunung dan bukit di kiri kanan depan belakang. Tidak ada jalur darat, pesawat saja, itu yang buat mahalnya kebutuhan disini, bahkan hanya ada kompor minyak tanah. Dulu pernah mau dibuat jalur darat, tapi langsung dihadang oleh penduduk asli di pinggiran kota.

Mulai hari Minggu kemarin, sudah diberlakukan tutup toko dari jam 5 pagi sampai 5 sore, bahkan ojeg, angkot, dan becak tidak ada, untuk menghormati hari Sabat, sebelumnya hanya sampai jam 1 siang.

Lalu di Wamena juga ada hari memperingati Injil Masuk Papua.

Banyak sekali keunikan Wamena, pulang pergi ke kantor berjalan kaki sekitar 20 menit, kalau naik ojek bayar 10 ribu, kalau tukang ojeknya orang lokal mungkin bisa lebih mahal, kalau naik becak harus tanya berkali kali berapa ongkosnya, karena suka berubah ketika sampai, kemudian harga di pasar yang berlaku hanya 5 ribu dan kelipatannya.

Saya disini bekerja sebagai bendahara sebuah Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan untuk Papua. Ruangan kerja saya berhadapan dengan ruangan kerja tim kurikulum dari USAID, ketika istirahat saya selalu pergi ke ruangan mereka. Tim kurikulum ini dibina oleh Sir Martijn yang berasal dari Belanda.

Ada yang menarik dari tim kurikulum ini. Sejak hari pertama masuk, saya langsung tertarik dengan karakter salah satu anggota tim kurikulum, Sintike. Dia bertanya apakah saya suka jalan jalan, karena orang yayasan tidak ada yang suka jalan jalan, sedangkan tim kurikulum sering jalan jalan. Saya pun langsung bersemangat jawab iya, kemudian Sintike menunjukkan koleksi foto liburan mereka. Ah sudah tidak usah ditanya lagi banyak dan indahnya tempat tempat disekitar Wamena yang patut dikunjungi, dan akan secepatnya saya kunjungi bersama mereka!

Hal yang paling menarik adalah, "what they do?". Mereka membuat BPKP (Buku Paket Kontekstual Papua), intinya mereka membuat pedoman mengajar untuk para guru disesuaikan dengan kemampuan dan metode yang paling tepat untuk para guru dan murid di Papua. Jadi guru tinggal membaca saja tidak usah pusing mempersiapkan bahan mengajar, mereka sudah mengemas buku semenarik mungkin untuk memudahkan guru dan murid murid di Papua. Hasilnya justru anak anak yang memakai buku ini jauh lebih pintar. Mereka punya mimpi BPKP ini bisa digunakan diseluruh Papua.

Hari ini pun saya melihat foto foto perjuangan tim kurikulum yang pergi untuk memberi pelatihan ke sebuah tempat bernama Nalca, dekat Yakuhimo. Menggunakan pesawat kecil yang setiap orang dan barang harus ditimbang dulu. Masyarakat di Nalca pun kalau mau membeli sesuatu harus berjalan berhari hari. Sangat jauh. Tidak hanya sampai Nalca, tim kurikulum berjalan kaki menyusuri hutan dan sungai selama 1,5 jam demi memberi pelatihan di daerah lain, dan semua mata anak anak di tempat itu sungguh kosong dan tak berdaya, lalu Sintike mengajak saya merayakan Natal di kampungnya, Yakuhimo. Melihat orang yang bangun rumah di pohon dan sang Cendrawasih, ngiler sudah! Belum lagi Sabtu ini diajak untuk belajar membuat Noken!

Bisa tahu dan kenal orang orang yang punya mimpi dan tugas kece benar benar menyenangkan hati!

Puji Tuhan sampai saat ini masih senang dan nyaman, tapi pasti akan ada masanya saya ingin menyerah, semoga saya ingat visi dan misi awal saya dan bisa konsisten pada keputusan yang saya ambil.

Lagipula saya akan bahagia kalau punya tabungan cerita "hidup 2 tahun di Wamena" untuk anak anak saya nanti.

Saya belajar berdiri dengan iman,
Tuhan ga mungkin biarkan saya kekurangan,
Tidak mungkin salah menempatkan saya,
Tidak mungkin salah rencana,
Tidak pernah berubah,
Tidak pernah ingkar janji.

And i can confidently say, The Lord is my helper, i will not fear, what can man do to me.



[Karena keterbatasan signal dan kurang aman mengambil foto selagi berjalan kaki, hanya sedikit foto yang saya miliki tentang Wamena]

Untuk gambar bisa dilihat beberapa di facebook atau instagram @advinas

4 comments:

  1. Teringat satu ujar2 membaca situasimu ini Git : Safety is not the absence of danger, but it is the presence of God.

    ReplyDelete