Monday, March 13, 2017

Menemukan Impian dan Temannya

Waktu kecil saya selalu bingung bila ditanya apa cita – cita saya.  Seringkali saya menjawab, “tidak tahu”.  Saya bukan salah satu anak yang menjawab ingin menjadi dokter ketika saya kecil. Ketika SMP pun saya sempat dibilang bermasalah karena saya tidak bisa menuliskan apa kekurangan dan kelebihan diri saya.  Lulus SMA, saya gagal masuk di jurusan teknik yang saya inginkan. Kegagalan itu membuat saya memilih dengan asal jurusan akuntansi.  Memilih dengan asal bukan berarti saya menjalaninya dengan asal juga, karena saya merasa setiap orang sanggup belajar apa saja jika ada kemauan dari diri sendiri, bukan berasal dari kesukaan diri sendiri.  Belajar sesuatu berdasarkan apa yang kita sukai membuat kita lebih mudah untuk mengerti, bukan berarti kita hanya bisa berhasil ketika kita memilih apa yang kita sukai.  Saya tidak mau membatasi diri saya hanya belajar hal hal yang saya sukai, kalau begitu saya juga akan membatasi kemampuan diri saya.  Selama kuliah, jujur sebenarnya saya pun masih bingung apa yang akan saya kerjakan setelah lulus nanti.  Saya hanya mengikuti arus waktu dan belajar apa yang harus dipelajari untuk mendapat nilai bagus dan IP yang bagus.  2 semester terakhir, saya terinspirasi untuk menjadi CIA, bukan yang di Amerika, tapi Certified Internal Auditor.  Tapi begitu lulus kuliah, inspirasi itu tenggelam begitu saja.  Saya justru lebih berambisi menjadi eksternal auditor, tapi gagal sebanyak 3 kali.  Pada akhirnya gelar sarjana ini membawa saya ke pegunungan Papua, tentunya masih di bidang keuangan ruang lingkup pekerjaan saya.  Lucunya pekerjaan yang saya ambil justru sedikit berfungsi internal audit pada akhirnya.

Kalau sekarang saya ditanya apa cita-cita saya, saya pun masih bingung.  Bukan karena masih tidak tahu, tapi karena memiliki banyak cita cita dan hal yang ingin saya lakukan selama hidup.  Semakin banyak bertemu cerita dan memiliki pengalaman, membuat saya mempunyai sederatan impian.  Jangan ditanya apa saja impian itu, karena dari satu impian mempunyai seribu teman bersamanya.  Dua tahun tinggal di Papua, tentu saja semakin menguak apa keinginan saya yang sebenarnya. Berkutat dengan keuangan menjadi sebuah kelelahan yang ingin ditinggalkan.

Once I read, "Don't ask kids what they want to be when they grow up.  Ask them what problems they want to solve.  This changes the conversation from do I want to work for to what do I need to learn in order to be able to do that." - Jaime Casap


Sebelum menanyakan hal itu kepada anak saya nanti, saya tanyakan hal itu kepada diri saya saat ini.  Apa masalah yang mau saya selesaikan adalah jawaban berkesinambungan untuk apa yang mau saya lakukan.  Pertanyaan itu sungguh membantu untuk mengetahui apa impian terdalam saya.  Memang saya pernah ingin menjadi news anchor seperti Marissa Anita, atau traveling journo seperti Marisckha Prudence, tapi lebih dalam lagi saya memiliki satu mimpi yang menjadi tujuan utama saya saat ini.  


Hidup itu adalah suatu proses pengenalan dan pembelajaran yang terus menerus, pengenalan akan Tuhan seumur hidup, mempelajari dunia setiap hari, belajar mengasihi sampai seringkali merasa lelah, tentunya juga mengenal diri sendiri dalam setiap langkah.  Tergantung diri kita, apakah kita peka untuk mempelajari hal hal itu atau tidak.  

Saya tidak malu ketika kecil pernah tidak punya mimpi, untuk apa malu kalau saya memang tidak punya bayangan sama sekali apa yang mau saya lakukan.  Toh memang setiap kita terus melakukan pencarian jati diri itu sampai akhirnya kita menemukannya.  Saya tidak akan marah ketika nanti anak saya menjawab tidak tahu tentang cita citanya kelak.  Saya akan berikan dia sederatan masalah yang terjadi untuk mengarahkan dia mengetahui apa yang ingin dia selesaikan nantinya.  

Saya percaya, saya bukan memilih impian, tapi saya menemukan impian saya.  Tidak berhenti di situ, saya juga akan melakukan impian saya.  Impian itu adalah melihat anak - anak ini pergi ke sekolah setiap hari, memiliki sekolah untuk pergi belajar, mempunyai guru yang setia mengajar, orang tua yang mendukung mereka untuk bersekolah, dan juga sistem pendidikan yang menolong mereka untuk memiliki kualitas pendidikan yang seharusnya mereka miliki dan dapatkan.  Keadilan sosial bagi mereka, itu visi hidup saya saat ini.  

Visi itu mengarahkan saya memiliki sederatan misi yang bisa berdampak positif bagi orang banyak.  Karena saat ini hidup bukan tentang berbagi kepada diri sendiri lagi, tapi berbagi kepada sesama.  Ketika gengsi hidup bukan lagi tentang apa saja yang kita bisa beli untuk diri sendiri, tapi tentang apa saja yang bisa dan sudah kita lakukan untuk orang banyak.  

Bersama anak - anak di Kampung Sumunikama
taken by : Sintike Bahabol

2 comments: