Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Sunday, November 19, 2017

Melawan Angin, Mendahului Hujan, Menikmati Kasih

18 November 2017, jarak tempuh bersepeda terjauh selama tiga tahun tinggal di Wamena dan dua puluh enam tahun hidup di dunia.  Wamena kota sampai Kali Yago di Sogokmo, total waktu perjalanan pulang pergi lima jam dengan sepeda balap dengan jarak 41 KM.  Aku bangga!

Tiga tahun lalu hanya sanggup bersepeda setengah dari jarak tersebut dengan total waktu yang sama.  Bangga sama diri sendiri, karena ada peningkatan dari kapasitas diri yang sebelumnya. 

Saya ini memang selalu menghindari membandingkan diri dengan orang lain, tidak bakalan ada kata puas kalau terus membandingkan diri dengan orang lain, karena selalu akan ada yang di atas saya.  Saya rasa pun tidak baik buat diri saya sendiri, jadi lebih baik saya selalu membandingkan diri dengan diri saya yang sebelumnya, itu cara saya mengukur diri apakah menjadi lebih baik atau lebih buruk.  Saya rasa itu takaran yang lebih baik dibanding mengukur dengan keberhasilan orang lain, yang ada malah melupakan rasa bersyukur untuk apa yang dipercayakan ke kita saat ini. 

Saya yakin, masih banyak orang – orang yang bisa bersepeda dengan jarak tempuh lebih jauh dan waktu tempuh yang lebih cepat.  Tapi apalah gunanya itu, karena saya bersepeda bukan untuk bertanding dengan orang lain, saya bertanding dengan diri saya sendiri sembari menikmati proses mengayuh, selama mengayuhnya tetap di jalan Tuhan.  Bertanding dengan diri sendiri karena harus memotivasi diri untuk tetap bergerak walau kelelahan, bosan, malas, bahkan merasa sendiri.

Tantangan yang terberat bukan karena harus mengayuh sepeda sejauh 41 KM, tapi ketika harus mengayuh dan kadang kala menuntun sepeda di tanjakan di saat harus melawan arah angin.  Ketika harus tetap bergerak di saat angin bergerak berlawanan arah dengan kami, di situ saya merasa mulai kelelahan dan bosan. 
Sama seperti rutinitas yang biasa dijalani, kita merasa lelah karena harus tetap berdiri teguh di saat orang – orang sekitar tidak satu irama langkah dengan kita.  Selama kita berdiri teguh untuk hal yang benar, berdirilah dan jangan goyah, walau hanya sendiri.  Saya bukan ikan mati yang hanya pergi mengikuti arus air, saya lebih memilih jadi ikan salmon yang hidup melawan arus air walau lelah dan berat, karena dengan begitu menandakan saya hidup dan tetap bergerak. 

Kemarin tujuan kami adalah untuk makan siang di kali Yago yang bertemu dengan kali Baliem, untuk ke sana kami harus menuntun dan mengangkat sepeda selama empat puluh menit di jalan setapak dan berbatu, menyebrangi aliran air kecil, bahkan naik jembatan besar berwarna kuning.  Kaki beberapa kali terantuk pedal karena jalanan yang sempit untuk mendorong sepeda, belum lagi tangan kanan kerja keras menahan sepeda di jalan turunan berbatu.  Rasa puas tentu saja ada ketika berhasil membawa sepeda ke tempat tujuan. 

Memang harus berjuang keras untuk mencapai tujuan, sakit di sana sini ketika berjuang juga hal yang biasa, karena sakit itu yang membentuk untuk lebih kuat.  Kaki lebam karena bersepeda lebih baik daripada luka batin gagal lagi dapat beasiswa, lukanya lebih dalam. 

Akhirnya jam 2.40 kami pun bergerak untuk kembali pulang, kali ini harus mengangkat sepeda di tanjakan berbatu, lebih lelah tapi lebih mudah dilakukan.  Mungkin karena air sudah mulai turun ke atas kepala jadi kami berusaha bergerak lebih cepat walau kelelahan. 

Seperti biasa, perjalanan pulang akan lebih terasa cepat, apalagi lebih banyak turunan karena kami sudah menanjak ketika datang tadi.  Hanya sesekali mengayuh, selanjutnya lebih banyak dibantu dengan gaya gravitasi bumi untuk bergerak dengan cepat.  Perjalanan pulang lebih banyak menikmati angin yang kali ini bergerak searah dengan kami, sangat membantu untuk bisa mendahului hujan. 

Setelah tanah longsor, barulah kami mulai mengayuh dengan sepeda dengan konsisten.  Sebenarnya kemarin ada yang menawarkan untuk ikut mobilnya kembali ke kota, tapi dengan percaya dirinya saya menolak tawaran tanpa bertanya apakah teman saya masih merasa sanggup seperti saya atau tidak. 

Tujuan kami memang bersepeda, menikmati tubuh bergerak, merasakan angin, melihat lebih dekat keindahan yang ada, menikmati kasih.  Itulah kenapa saya senang bersepeda. 

Tentu saja saya bersepeda tidak sendiri, ada satu perempuan Yali yang sempat janji mengajak saya bersepeda tapi tidak pernah terealisasi.  Sintike Bahabol, walau hanya berdua tapi saya merasa berani bersepeda ke Sogokmo karena ada dia sebagai tameng saya.  Two is better than one, isn’t it?

Sama seperti Tuhan Yesus, tameng kehidupan saya.  Selama ada Tuhan Yesus, saya akan berdiri teguh melawan arus, walau harus disudutkan, dijebak, diremehkan, yaudahlah, buat Tuhan Yesus saya berharga kok. 

Ketika kita menyadari diri kita berharga, kita akan belajar mengasihi diri sendiri.  Ketika kita menyadari orang lain juga berharga di mata Tuhan, kita akan belajar mengasihi orang lain sama seperti kita mengasihi diri sendiri.  Ketika kita berhasil mengasihi sesama, itulah cara kita mengasihi Tuhan yang tidak terlihat dengan mata, tetapi selalu melihat kita berharga di mataNya. 

Monday, June 5, 2017

Sepenggal Catatan di Kilise

Desa Kilise, Kurima, Kabupaten Yahukimo, Papua, Indonesia. 

tempat penginapan di Desa Kilise
Desa Kilise ini tempat di mana ada penginapan berbentuk honai yang dikelola oleh masyarakat sekitar kampung itu.  Perjalanan ke desa Kilise sebenarnya tidak terlalu jauh (relative sih), kemarin lama waktu perjalanan adalah sekitar 2,5 jam jalan kaki dari kali Yetni.  Dari kota Wamena bisa menggunakan taksi untuk sampai ke titik awal trekking (kali Yetni).  Kemarin kami diantar sampai kali Yetni lewat Hitigima karena jembatan di jalur biasa masih terputus.  Menyebrang kali Yetni juga bukan perkara mudah sebenarnya karena arus air yang cukup deras, lebih baik pakai sandal gunung kalau gamau ribet sepatu basah sedari awal. 

Cukup melelahkan memang di perjalanan menuju ke Kilise, karena sejak awal sudah langsung bertemu dengan medan tanjakan berbatu – batu.  Walau masyarakat sekitar selalu bilang, “Kilise dekat saja, di sana.  Dekat saja.” Sebagai informasi, dekatnya orang Papua itu ga sama dengan dekatnya orang orang yang ga biasa naik gunung.  Saya sih udah pengalaman, jadi ga kemakan PHP “dekat” nya mama mama yang kasih semangat.  Seingat saya sih ada tiga sampai empat tanjakan selama perjalanan menuju Kilise.  Dua tanjakan pertama adalah dua yang terberat, jadi itu yang buat lelah duluan di awal.  Tapi setelahnya banyak jalan datar yang kasih kesempatan untuk simpan nafas dan tenaga. 


Patokan desa Kilise adalah gereja beratapkan seng alumunium, kalau sudah sampai di gereja berarti kalian tinggal selangkah lagi sampai di Desa Kilise.  Begitu melihat penginapannya, pastilah seperti biasa lelah mendaki langsung hilang, jadi terus berjuang aja karena lelah mendaki cuma sementara dan semu begitu sudah sampai di tempat tujuan. 

Ada lima honai yang bisa digunakan, satu orang dikenakan biaya Rp. 120.000 dan satu honai bisa diisi 4 - 5 orang.  Di dalam honai memang disediakan kasur tipis dan juga selimut, tapi saran saya lebih baik bawa sleeping bag sendiri demi kenyamanan tidur.  Lingkungan penginapannya benar benar nyaman sebenarnya, cuma kebersihan kamar aja yang masih kurang diperhatikan oleh masyarakat lokal di sana.  Kasur dan selimut sepertinya tidak pernah dicuci, kamar juga tidak disapu.  Jangan heran kalau di dinding honai banyak laba – laba dengan ukuran cukup besar.  Jangan lupa bawa senter, karena di dalam honai tidak ada lampu.  Lebih tepatnya tidak ada listrik di desa ini. 

Di sana juga tersedia dua kamar mandi umum, walau airnya tidak terlalu jernih.  Dapur dan ruang makan juga tersedia, tapi ya kontekstual. Jangan berharap dapur dan tempat makan yang sehari hari kita temui di kota.  Jangan lupa bawa bahan makanan untuk diolah, ada dapur bukan berarti mereka juga sediakan bahan makanan untuk diolah.  Masyarakat lokal juga sediakan kayu bakar dengan harga Rp. 20.000 per ikat.  Ada juga mata air yang bisa digunakan untuk makan dan minum, jadi ga perlu khawatir soal itu. 

Untuk keseluruhan, saya takjub dengan masyarakat lokal yang mengelola tempat ini.  Memang masih ada kekurangan, tapi kalau kita lihat dari lokasi desa Kilise yang tidak dekat dari kota, tentu saja adanya tempat ini sangat menyenangkan.  Di sekitar halaman akan banyak masyarakat berkumpul melihat kegiatan yang pengunjung lakukan, sambil menjual kreasi tangan seperti gelang, koteka, dan lain lain. 

Seorang Bapa yang masih berkoteka datang di malam hari, membawakan keladi buah merah untuk kami yang sedang berkumpul di bawah pohon sambil minum kopi.  Ketika ditawari rokok, Bapa ini menolak, katanya sudah berhenti merokok dan juga minum kopi.  Sehingga hanya bisa minum teh atau susu panas.  Senang banget dengar jawaban Beliau.  Belum selesai di situ, besok paginya ketika teman teman membagi permen ke anak anak sebelum kembali pulang ke kota, Bapak ini terlihat memarahi anak anak dengan bahasa lokal.  Lalu setelah itu Bapak itu menjelaskan kepada kami, Beliau marah kepada anak anak karena mereka membuang sampah permen sembarangan.  Rasanya bangga banget sama Bapak satu ini! Juga ada satu adik laki laki bernama Lukas, yang paling rajin menemani kami dan membantu memasak.  Anak yang betah sekali sampai malam mendengar cerita tentang kehidupan di luar sana dan pagi pagi sudah bangun untuk kembali mencari cerita lainnya. 

Walau tidak punya rundown acara selama di sana, tetap aja kebosanan tidak datang menjenguk.  Hanya asik bercerita sejak siang sampai tengah malam, tapi tetap saja setiap detik sangat dinikmati.  Lucunya ternyata masih dapat sinyal di sana, walau hanya sebatas telfon dan sms.  Bisa juga dapat sinyal internet, tapi harus jalan dulu ke gereja sekitar 5 menit dari tempat penginapan.  Di pagi hari kita bisa merasakan berada di atas kabut pagi yang semakin siang akan semakin tinggi dan tebal.
 

Di ketinggian 1800 mdpl pun banyak cerita yang bisa didapat dan dibagikan.  Esok harinya, begitu kembali sampai di kali Yetni dan melihat teman dari kota sudah ada di sana untuk menjemput, rasanya seperti melihat es teh manis yang siap untuk diminum.  Wamena pun rasanya sudah sangat kota bagi kami, walau biasanya merasa Wamena sangat desa dibanding kota kota besar tempat kami dibesarkan.  Tantangan hidup untuk bersyukur itu hanya masalah ‘perbandingan’.  Ketika kita membandingkan sesuatu dengan yang lebih besar membuat susah untuk bersyukur.  Tapi kalau kita lakukan sebaliknya, rasanya mudah sekali untuk bersyukur.  Ketika makan pop mie di kota tidak mendapatkan kenikmatan apa apa, akan menjadi sebuah kenikmatan yang sesungguhnya menyantap pop mie di tempat terpencil di suatu sudut dunia yang jarang tersentuh oleh kenikmatan dunia lainnya.  

Tahun lalu saya masih bingung dengan orang orang yang lahir dan besar di Wamena, sudah pernah merasakan hidup di luar Wamena tapi masih saja memutuskan hidup di Wamena.  Tapi kali ini saya memahaminya, bahkan saya bingung dengan orang orang yang ingin segera keluar dari Wamena.  Sudah hampir tiga tahun di tempat ini dan cukup banyak mengunjungi tempat tempat indah di tempat ini, rasanya masih kurang dan ingin perpanjang periode waktu hidup di tempat ini.  Masih banyak yang ingin dilakukan dan tempat yang ingin dikunjungi.  Bahkan minggu ini saya semakin merasa, “ga kebayang kalau harus hidup di luar Wamena, I wish I could stay here forever.” (kemudian siap dimarahin mama dan disms tiap hari). 

Seandainya saya protozoa yang bisa membelah diri dan memperpanjang waktu di tempat ini semudah memperpanjang masa aktif nomor handphone, pasti hidup akan lebih mudah untuk melangkah.  Sayangnya hidup ga semudah itu dan kalau semudah itu, pasti hidup ga akan seberarti hari ini.  Karena hidup penuh perjuangan, makanya hidup sangat berarti dan sayang banget untuk disia-siakan, bahkan disesali. 

Kalau bisa dibilang, saat ini saya ada di titik terus bersyukur untuk setiap perjalanan dalam hidup saya.  Untuk setiap pengalaman hidup yang saya miliki sampai hari ini, untuk setiap orang yang hadir di hidup saya, untuk setiap kekecewaan dan sukacita yang membentuk diri saya, saya bersyukur.  Saya harap akan konsisten tetap bersyukur, walau di depan nanti kembali bertemu kekecewaan, penyesalan, sakit hati, semoga saya tetap bersyukur dan mampu menikmati setiap proses kehidupan selanjutnya.  Seperti sebuah harta karun, pengalaman di tempat ini dan perjalanan hidup sampai hari ini, gamau saya tukar dengan apapun.

Impian saya saat ini adalah untuk tetap bertahan di kota ini, dan saya sedang memperjuangkan hal itu.  Ketika kota besar bukan lagi tujuan untuk menetap, melainkan tempat berlibur sesaat.  Kota terpencil telah mencuri hati untuk menetap, bukan sesuatu yang bersifat sementara saja.  Jati diri sebagai seorang INFP sangat membantu dalam menikmati hidup di tempat terpencil.  Di kala orang orang semakin mengeluh, saya malah semakin bersyukur bisa hidup di tempat ini.  Melihat setiap hal dari sudut yang berbeda, lebih sering menyenangkan.  Karena bumi kita ini bulat, ga bisa kalau hanya melihat dari satu sudut saja.  Akan banyak hal manis terlewat kalau hanya berdiri di satu sudut yang sama, atau bahkan terus berada di sudut tempat semua orang melihat bumi ini. 

Kita masing masing punya kaki untuk melangkah, otak untuk berpikir, hati untuk merasa dan mata untuk menemukan sudut terindah yang membuat senyuman di bibir kita gamau pergi.  



Thursday, June 2, 2016

Memperlebar Batas Diri ke Hitugi

Jadi ingat, tahun 2011 menemani teman – teman dari Jepang mengunjungi satu perkampungan di daerah dago pojok saja saya sudah nyaris tidak sanggup menyelesaikan anak tangga yang ada, tapi sekarang setelah hampir 5 tahun berlalu ternyata kaki ini telah sanggup berjalan naik turun gunung dan lembah selama 5 jam sekali perjalanan untuk mencapai sebuah kampung bernama Hitugi yang terletak di Kabupaten Yahukimo, Papua. 


Setelah menemani teman – teman dari Jepang, saya menyadari tubuh ini kurang kuat dalam hal menanjak, sehingga saya sedikit membenci ketika diajak naik gunung oleh teman – teman, karena saya tahu saya lemah ketika harus menghadapi tanjakan dengan kedua kaki ini. 

Di tahun 2014 saya beranikan diri pergi ke Kawah Ijen, dengan alasan ingin melihat ‘blue fire’ satu – satunya di dunia itu.  Kembali saya akui saya memang lemah menghadapi tanjakan, hanya berapa langkah kemudian minta istirahat, terus berulang seperti itu sampai akhirnya berhasil tiba di bibir kawah.  Tidak sampai di bibir kawah saja, saya pun ikut turun mendekat ke danau sulfur saking penasarannya ingin melihat blue fire di jarak paling aman yang terdekat.  Buat saya itu perjalanan tidak gampang, medan yang curam, udara yang sangat dingin, persiapan yang kurang matang.  Tidak pernah menyesal untuk hal itu dan sahabat perjalanan menemukan karakter diri saya yang tersembunyi,“rasa penasaranmu lebih besar daripada kelemahanmu, kamu memang lambat tapi rasa penasaranmu yang besar membuatmu berhasil menyelesaikan Kawah Ijen.”

Setelah dari Kawah Ijen, saya dan sahabat berjalan kaki dari Hutan Raya Dago sampai ke Tebing Keraton, mungkin sekitar 1 – 2 jam perjalanan sekali jalan.  Setelah itu, 3 minggu pertama di Wamena, saya ikut trekking bersama teman – teman kantor ke bukit Veraweh.  Perjalanan sekitar 3 jam sampai di atas karena saya sangat lambat dalam setiap tanjakan dengan tubuh yang masih beradaptasi dengan udara di Wamena, sangat mudah kehabisan tenaga dan nafas.  Sembilan bulan terakhir tiga kali ke Habema dan selalu turun sampai danau, memang perjalanan tidak begitu melelahkan, tapi cukup untuk melatih kaki dan nafas yang manja ini. 

Kaki ini juga pernah bersepeda dari Wamena kota sampai Jembatan Kuning di Sogokmo, perjalanan 4 jam pulang pergi, kehabisan air, kepanasan karena berangkat terlalu siang, bekal makan sudah habis, tapi tetap berhasil kembali ke kota.  Sempat juga mengayuh sepeda sampai ke gunung susu walau pulang berjalan kaki mendorong sepeda karena ban sepeda bocor dan baru menemukan tambal ban di kota. 

Perjalanan ke Hitugi kemarin adalah perjalanan paling jauh sampai saat ini.  Saya sendiri masih belum percaya saya sanggup (mungkin lebih tepatnya ‘disanggupkan’).  Walau di dua tanjakan terakhir ada adik laki – laki yang sangat berbaik hati membawakan ransel saya.  Di tanjakan terakhir tenaga saya hanya sanggup berjalan 10 cm per menit kemudian istirahat.  Perjalanan ini memang cukup lucu, saya dijanjikan perjalanan hanya selama 3 jam trekking, pada kenyataannya saya bertanya 3 kali “berapa lama lagi?” dan orang – orang yang menjawab selalu memberi jawaban yang sama, “2 jam lagi”.  Kalau ditotal berarti sudah 6 jam kami berjalan. 

after reaching the first uphill: still 4 hours more trekking to Hitugi
taken by : Tarsi


Kampung Hitugi, Kabupaten Yahukimo

Perjalanan pulang esok harinya lebih mudah, sedikit tanjakan dan lebih banyak turunan.  Pemandangan pun lebih bisa dinikmati, mungkin karena beban sudah berkurang.  Sebelum sampai di mobil harus menyeberang Kali Yetni, satu tantangan terakhir sebelum semua berakhir.  Kalau tidak ada tangan yang terulur, mungkin saya sudah baku ikut dengan air Kali Yetni. 


Sampai di rumah, mencoba menapak tilas perjalanan lewat gambar – gambar yang berhasil saya ambil dalam perjalanan, saya menyadari satu hal, Pencipta kita adalah Pribadi yang sangat mudah dikagumi.  Coretan tanganNya di dunia ini adalah sebuah keindahan yang membuat saya berpikir, “mau seperti apalagi indahNya Dia jika coretanNya saja seindah ini?”

“Apalah saya ini yang masih sering menyakiti Dia dengan sadar dan sengaja, tapi Dia tetap indah dan mengasihi dengan setia.”


Satu hal terakhir, masih sama seperti tulisan saya dalam perjalanan ke Veraweh :

Trekking itu seperti melakukan perjalanan hidup, yang penting bukan seberapa cepat sampai di tujuan, tapi tetap kembali melangkah dan mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah.  Lawan dalam trekking adalah diri sendiri, sama juga seperti hidup.  Teruslah melangkah, jangan berhenti, ambil waktu untuk istirahat itu wajar, tapi mengambil keputusan untuk kembali melangkah adalah keputusan yang layak diambil, karena kita tidak tahu apa yang sedang menunggu kita di depan untuk tetap melangkah melawan kemalasan diri sendiri. 

Segala sesuatu yang indah, layak diperjuangkan.   Lebih baik kita berjuang untuk sesuatu yang indah walau kita belum tahu seberapa indahnya itu, daripada kita berhenti berjuang dan kembali berjalan mundur untuk melihat yang sudah pernah kita lihat. 

Downhill track
Ditambah dengan kata – kata pelengkap hasil perjalanan ke Hitugi :

Kaki ini telah dilatih sebelumnya tanpa saya sadari, berhasil menginjak Hitugi bukan sebuah hasil tanpa proses belaka.  Tanjakan seperti sebuah masalah dalam hidup yang sering membuat kita lemah, merasa tidak mampu, dan malas untuk melewatinya.  Padahal di ujung tanjakan ada sebuah pemandangan indah yang bisa kita nikmati jika kita mau tekun melangkah dan bersandar pada pengertianNya untuk menyadari hal yang tersembunyi itu.  Memang kita juga tidak tahu berapa lama jeda waktu untuk kembali bertemu dengan tanjakan selanjutnya, tapi selama kita menyadari Siapa yang selalu ada di samping kita untuk menemani dan memampukan, bukankah tanjakan menjadi lebih ringan untuk dihadapi?  Dan ketika kita melihat kebelakang, ternyata sudah banyak tanjakan yang sudah kita hadapi, kaki ini sudah terlatih menghadapi tanjakan selanjutnya (karakter kita sudah terlatih untuk menghadapi masalah selanjutnya).  Ketika kita tidak lagi berfokus terhadap 'masalah' yang ada, tapi fokus menyadari 'Siapa' yang ada bersama kita.  Bersyukur untuk proses, bersyukur untuk hasil. 

Bukan saya mampu, tapi saya dimampukan oleh Dia yang selalu setia dan bersedia menjadi kekuatan saya.  Bersyukur untuk Dia yang memampukan kita.

taken by : Tarsi
Cause I love capturing the perfect ones
"Leaving something that is not even worth to step into everything that is more than just worth enough"
song by  : Munthe - Pure



Monday, December 1, 2014

Veraweh

Perjalanan dimulai ketika Sintike muncul di pintu ruangan kantor dan berkata, “besok kita mau trekking, ko mau ikut?”

Tanpa pikir panjang tentu saja saya langsung jawab, “mau!”

Pulang kerja langsung belanja air minum 1,5 L yang ternyata harga di tempat termurah disini adalah 20ribu rupiah, menyesal harusnya sebelum kesini bawa banyak tempat bekal dan air minum.

Sabtu pagi jam 7.30 Sintike sudah sampai di rumah dengan sepedanya, kami berangkat ke Pasar Wouma dengan ongkos becak 20ribu.  Tidak terlalu jauh, tapi harga transportasi segitu sudah biasa disini. 
 
Perdana di pasar Wouma, melihat sayur yang dijual oleh mama mama yang diambil langsung dari kebunnya, besar besar sekali.  Sayur sayur itu tumbuh tanpa diberi pupuk sedikitpun, benar benar organik.  Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah ada beberapa babi yang berjalan dengan santai di pasar, bukan sekedar babi kecil, tapi babi besar, ada yang pink ada juga yang hitam.  Dan orang orang sepertinya sudah biasa dengan hal itu. 

Jam 8 lewat Pak Martijn dan Bu Anne Marie sampai dengan membawa 2 mobil berisi mahasiswa semester 1 STKIP dan anak bungsunya.  Saya dan Sintike pun bergabung dengan mobil itu.  Dari pasar Wouma kita berjalan terus dan akan menyebrangi sebuah jembatan, yang sebenarnya cukup mengerikan menyebrang jembatan dengan mobil.   Tapi ternyata kondisi jembatan itu sudah lebih baik dari sebelumnya. 

Tidak begitu jauh sampai titik dimulainya trekking, mungkin kurang dari 30 menit sudah sampai.  Sebelumnya kami melewati sebuah daerah bernama Kurima, daerah lawan longsor yang dipenuhi pohon cemara. 

we went to that sharp hill
Kami pun memulai trekking, tujuan kami adalah sebuah bukit yang berbentuk tajam, tampak jauh buat saya yang tidak terbiasa trekking, dan sebenarnya cukup terkejut juga melihat jarak trekking yang akan ditempuh. 

Trekking dimulai dengan menyebrangi kali Baliem dengan jembatan yang cukup bergoyang dan kurang stabil.  Hal yang menyenangkan dan saya tunggu tunggu selama ini, menyebrangi sungai dengan jembatan tali! Dan langsung menyebrangi kali Baliem! Hehe

Mulai dari situ dimulailah perjalanan menanjak, stamina mulai menurun, tidak lama dari menyebrang jembatan saya sudah kelelahan dan berada di barisan paling belakang.  Akhirnya mereka semua menyuruh saya untuk berjalan paling depan sehingga menyesuaikan dengan kecepatan saya.  Dengan keadaan seperti itu justru membuat saya semakin tertekan sebenarnya, lalu akhirnya saya minta mereka jalan duluan saja dan Sintike menemani saya berjalan sesuai dengan kecepatan saya. 

the baliem river
Saat itu matahari sudah mulai terik, sehingga rasanya mata sulit untuk terbuka lebar, Sintike pun membuat semacam topi dari tanaman yang ditemukan selagi berjalan yang membantu untuk melindungi mata dari terik matahari dan memberikannya kepada saya.  Kreatif sekali!

Berjalan bersama Sintike seperti sedang study tour! Sambil berjalan Sintike menceritakan segala sesuatu yang ditemukan, seperti menunjukkan tanaman yang merupakan bahan dasar noken, atau juga tanaman tali yang digunakan untuk mengikat kayu bakar.  Menunjukkan nama beberapa daerah yang sulit sekali saya ingat karena bukan sebuah nama yang umum.  Banyak sekali informasi yang sebenarnya bisa saya serap tapi apa daya karena kecapekan dan juga nama yang tidak umum, tidak bisa semua saya ingat.

Semakin lama saya semakin membuat Sintike ketinggalan jauh dengan rombongan.  Sebentar istirahat, sebentar melangkah, capai sekali rasanya.  Tapi ada waktu ketika capai itu tiba tiba hilang ketika melihat pemandangan disekitar.  Kalo kata Sintike, “Tuhanni!”


Melihat pemandangan dengan gunung yang berlapis lapis kaya wafer, dengan langit biru dan hamparan tanah yang luas.  Kalau foto disana rasanya seperti foto dengan wallpaper, tapi kali ini wallpaper langsung tanpa mencetak dalam sebuah kertas.  Melihat kali Baliem dari atas, betapa panjangnya, sampai bertemu lagi dengan kali lain.  Kemudian ada kali kecil disebelahnya, air yang langsung keluar dari sebuah bukit, kata Sintike segar sekali kalau minum air itu.  
Pak Martijn beberapa kali menunggu kami atau kembali lagi ke bawah untuk memeriksa keadaan kami sambil mengejar beberapa kupu kupu dan mengambil banyak objek foto.  Lalu Pak Martijn pun menjelaskan kenapa saya begitu gampang capai, karena tubuh butuh sekitar 4 minggu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.  Udara dingin disini membuat Hb tinggi, dan saya yang baru 2 minggu disini dan langsung trekking, pasti Hb masih rendah, sehingga saya mudah sekali kecapaian.  Jadi itu wajar.  Ya saya sih senang senang aja jadi ada pembelaan kenapa saya lama sekali berjalan.  Haha.

Tapi memang, walau tidak terlalu sering trekking, biasanya saya istirahat 2 menit saya bisa berjalan untuk 10 menit menanjak tanpa terlalu capai, ini baru 5 langkah sejak istirahat saya sudah capai sekali rasanya. 

Pak Martijn sempat bertanya, “Gita sudah tahu kenapa bentuk gunung di kanan dan kiri berbeda?”.  Gunung di sebelah kanan seperti gunung pada umumnya, tapi di sebelah kiri pegunungan dengan banyak bukit bukit kecil jadi seperti taman teletubbies. 

Saya jawab tidak tahu, lalu minta Pak Martijn untuk bercerita sambil mencuri waktu untuk duduk dan beristirahat.  Legendanya konon, ketika manusia keluar dari goa pertama kali, para pria keluar lewat sebelah kanan, lalu wanita keluar sebelah kiri, sehingga pegunungan di sebelah kiri banyak bukit bukit kecil lambang bahwa wanita menyusui anak mereka. 

Kami pun tertawa dengan cerita Pak Martijn, dia membela diri kalau itu dia dengar dari penduduk lokal, dia hanya menceritakan ulang. 

Tanjakan terakhir adalah tanjakan paling berat, lebih curam dan panjang.  Entah beberapa kali saya beristirahat, rombongan sudah sampai diatas tapi saya masih leha leha di tengah bukit sambil beberapa kali mengambil foto.  Lumayan mendistract otak saya yang lagi ngasih sinyal ke tubuh kalau lagi kecapean. 

Mungkin jam 12 kurang saya sampai di puncak tajam itu.  Anne Marie dan seorang mahasiswi menyelamati saya karena berhasil tidak menyerah! Yeay!

Berdoa, makan siang bersama, walau hanya nasi kuning dengan kering tempe dan kacang tanah, jadi luar biasa dengan pemandangan di depan mata.  Berfoto bersama, lalu tidak lama kembali turun, tidak melewati rute yang sama ketika datang, jadi agak lebih memutar. 

Awal perjalanan turun masih semangat, walau orang orang bilang lebih capek turun daripada nanjak, tapi kecepatan saya lebih konsisten ketika turun, capek dan lebih sakit kaki juga karena keadaan turunnya lebih berasa hutan dan medan yang lebih sulit, tapi setidaknya tidak sesulit berjuang menanjak.  Ya walau sempat terjatuh juga ketika turun, terpeleset dan telapak tangan tertusuk ranting, kenang kenangan.

Setengah perjalanan semakin melelahkan, lalu melihat keatas, bukit tempat kami berhenti makan yang menjadi tujuan kami, rasanya ga percaya saya berhasil naik kesana dan sekarang sudah ada di bawah lagi, perjuangan luar biasa.  Tapi belum sampai situ, perjalanan masih lumayan panjang untuk sampai ke mobil. 

Sudah mulai agak bawah, dihamparan tanah yang luas, bukan berjalan menurun lagi, keren banget bisa berada di tempat itu dan dikelilingi pegunungan dan segala macam yang berwarna hijau.  Capek sih kaki, tapi terus dan terus melangkah, berhenti sejenak, lalu lanjut lagi.  Tidak sesering istirahat ketika menanjak. 

Akhirnya tiba di titik peristirahatan, mata air yang keluar dari bukit yang sempat diceritakan oleh Sintike! Hore!!!

Begitu menyebrang kali tersebut dengan batang pohon yang terbaring, ada dua mahasiswi yang 
langsug memanggil saya dan mengajak saya bergabung, lalu siap bergaya, saya berlari dan siap mengambil foto mereka, tapi ternyata mereka mau minta foto bersama saya.  Sedikit bingung, tapi senang.  Lalu setelah itu saya langsung duduk bersama mereka dan meluruskan kaki di hamparan rumput.  Mereka bilang, “saya kira kaka bakal menyerah!”

“Hei adik, sa pu kamus hidup trada kata menyerah, biar lambat dan banyak istirahat, saya pasti sampai di titik akhir.”

Melihat yang lain asik berendam di mata air tersebut, saya pun melepas sepatu dan siap turun ke kali.  Baru sebagian telapak kaki terendam air, langsung mengangkat lagi, dinginnya kaya air es! Ditambah arus yang cukup deras, butuh perjuangan juga untuk merendam kaki selama sepuluh detik.  Gagal paham melihat orang orang yang dengan santainya merendam seluruh badan di kali itu.  Saya pun kembali lagi membaringkan badan di rumput. 

Tidak lama, kembali penasaran dan ingin mencoba merendam kaki lagi.  Menghampiri Sintike yang lagi asik merendam kaki, saya turun perlahan lahan.  Masih berjuang keluar masukkan telapak kaki ke air, sampai akhirnya berhasil menahan diri untuk tidak mengangkat kaki lagi, ya walaupun jadinya telapak kaki mati rasa.  Tapi kapan lagi mencoba hal hal seperti itu.

Dari situ perjalanan masih sekitar 30 menit lagi untuk mencapai jalan raya, kembali bertemu dengan jembatan diatas sungai.  Kali ini keadaan jembatan lebih menyeramkan dibanding sebelumnya, tapi tetap saja semangat menyebranginya. 

Setelah jembatan saya kira sudah sebentar lagi sampai ke jalan raya, ternyata tidak.  Masih harus menanjak sedikit lalu berjalan di tengah tengah hamparan tanah luas dan dikelilingi gunung lagi, I was in the middle of nowhere.  Tapi itu pengalaman asik banget pernah berada di tempat seperti itu.  Apalagi dengan keindahannya. 

Sedikit lagi sampai di terminal, yang sepertinya orang orang lain sudah berjalan di jalan raya menuju tempat mobil parkir, saya masih beberapa kali beristirahat karena kembali gampang kelelahan.   
Sampai akhirnya bertemu dengan seorang laki laki yang berjalan berlawan arah dengan saya yang menggunakan bambu atau kayu panjang untuk membantunya berjalan dengan kaki satu. 

Oke, dia aja semangat masa saya yang punya dua kaki dikit dikit kelelahan. 

Sampai di terminal, tepat saat Pak Martijn sampai juga dengan membawa mobil untuk membawa kami dan beberapa orang lainnya ke tempat kami memarkir mobil.  Haleluya tidak perlu jalan lagi sampai tempat parkir.  Tuhan tahu kesanggupan saya sampai mana.  Bahkan untuk berjalan sampai disitu pun udah kesanggupan yang luar biasa banget yang Tuhan kasih. 

Dan berakhirlah perjalanan perdana yang berat namun sangat indah ini dengan kenang kenangan luka tusuk di telapak tangan. 

Walau saya bukan anak gunung ataupun seorang yang sering melakukan trekking,dan saya tahu trekking itu melelahkan sekali karena itu saya lebih suka ke pantai daripada ke gunung, bahkan dulu saya menganggap naik gunung itu palling melelahkan sedunia, udah berjuang sampai puncak harus berjuang lagi untuk kembali turun. 

Tapi trekking ga buat saya jera untuk melakukannya lagi, walau nanti saya akan kembali jadi orang di barisan paling akhir, saya bakal berjuang untuk sampai di titik akhir. 

Trekking itu seperti melakukan perjalanan hidup, yang penting bukan seberapa cepat sampai di tujuan, tapi tetap kembali melangkah dan mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah.  Lawan dalam trekking adalah diri sendiri, sama juga seperti hidup.  Teruslah melangkah, jangan berhenti, ambil waktu untuk istirahat itu wajar, tapi mengambil keputusan untuk kembali melangkah adalah keputusan yang layak diambil, karena kita tidak tahu apa yang sedang menunggu kita di depan untuk tetap melangkah melawan kemalasan diri sendiri. 

Segala sesuatu yang indah, layak diperjuangkan.   Lebih baik kita berjuang untuk sesuatu yang indah walau kita belum tahu seberapa indahnya itu, daripada kita berhenti berjuang dan kembali berjalan mundur untuk melihat yang sudah pernah kita lihat. 











Monday, June 16, 2014

Prabowo, Korupsi, dan Karakter Indonesia

Sabtu lalu saya pergi berlari sore bersama satu teman saya lalu kami lanjutkan untuk mencari makan ke daerah Gatsu dengan menggunakan motor.  Di salah satu lampu merah, kami menemukan tiga mobil yang berhenti di ruang henti khusus sepeda motor.  Kami berdua cukup cerewet untuk hal hal yang melanggar peraturan lalu lintas.  Saat itu teman saya yang mengendarai motor pun langsung mencari tempat dan berhenti di sebelah salah satu mobil tersebut, kemudian berbicara secara tidak langsung ke pengendara itu “ini tempat berhenti motor, bukan mobil.”  Entah terdengar atau tidak oleh pengendara tersebut.  Saya hanya diam dan memikirkan beberapa hal. 

Ada yang menarik, saya berpikir, apakah dengan cara teman saya seperti itu akan membuat pengendara tersebut tidak akan berhenti di ruang henti khusus atau bahkan akan tetap saja melakukannya?  Lalu bagaimana kalau pengendara tersebut diberitahu secara langsung dan baik baik, apakah dia akan menurutinya atau bahkan punya pembelaan kuat?  Misal, saya melihat pengendara motor lainnya, apakah mereka menggunakan ruang henti khusus tersebut? Tidak.  Banyak dari mereka yang berhenti di zebra cross bahkan di depan zebra cross.  Saya kurang tahu alasannya, apakah karena ruang henti khusus telah habis dimakan oleh pengendara mobil atau memang mereka masih merasa kurang depan dengan diberikannya ruang henti khusus. 

Kalau seperti itu harus bagaimana dong? Pengendara mobil bisa saja menjawab, “Kan pengendara motor juga tidak menggunakan ruang henti khusus ini, jadi kenapa tidak saya pakai saja?”

Atau kalau kita coba bertanya kepada pengendara motor, “Yah kan kalo saya berhenti di zebra cross juga penyebrang masih bisa menyebrang.” Bahkan mungkin, “Kalo saya berhenti di depan zebra cross juga ga bakal ganggu pengendara dari arah lain, kan jalanan masih luas tuh.”

Tipikal orang Indonesia, sudah diberikan fasilitas dan peraturan untuk mencapai kenyamanan bersama, tapi tetap saja lebih mementingkan kenyamanan diri sendiri. 

Karakter orang Indonesia ini membawa pikiran saya berjalan ke beberapa hari ke belakang.  Salah satu pernyataan Prabowo yang membuat saya menarik kesimpulan untuk tidak memilih Beliau.  Beliau berkata, “Untuk mengurangi korupsi kita harus menaikkan gaji pejabat.”

Sebentar.  Gaji pejabat dan korupsi.  Kalau menurut saya, itu bukan dua hal yang mutlak akan berbanding terbalik.  Gaji pejabat, itu bukan satu variabel yang dapat menjamin menurunnya angka korupsi, lagipula ada variabel lain yang harus ikut andil diukur dan diharapkan dapat berbanding lurus dengan kenaikan gaji pejabat ini, misalnya tingkat kinerja dan loyalitas para pejabat dalam melayani masyarakat, yakin akan berbanding lurus dengan dinaikkannya gaji pejabat?

Korupsi, variabel utama yang mempengaruhi naik turunnya angka korupsi bukanlah gaji pejabat, melainkan sistem manajemen pengawasan (seperti kekurangan yang berhasil dideteksi oleh Jokowi). 

Jadi menurut saya, pernyataan Prabowo itu mungkin untuk menarik perhatian para pejabat untuk memilih Beliau.  Bukan sebuah kesadaran Prabowo akan karakter yang melekat pada bangsa ini.  Terlihat jelas dengan cerita cerita yang dapat kita temui sendiri di lampu merah sepanjang jalan negara ini.  Pasti kita akan sering menemukan fenomena para pengendara yang dengan santainya tidak menggunakan fasilitas yang ada dengan benar untuk kenyamanan bersama. 

Contoh lain, (ini saya dapat dari teman saya) orang Indonesia lebih banyak terganggu dengan pasangan yang mengumbar kemesraan di tempat umum dibanding orang orang yang membuang sampah sembarangan.  Kalau dipikir, apa sih yang merugikan kita dengan melihat sepasang manusia berciuman di tempat umum?  Lebih rugi lingkungan kita kotor karena banyak yang membuang sampah sembarangan atau kerisihan diri kita sendiri dengan melihat orang berciuman? 

Kenyaman diri sendiri lebih unggul dibanding kenyaman bersama.  Itulah salah satu karakter dasar orang Indonesia.  Masih banyak para pengendara mobil bahkan mobil dengan merk ternama membuang sampah sembarangan dari jendela mobil, kalau kata dosen saya, “orang orang seperti itu tidak pantas punya mobil, tidak menunjukkan pendidikan.”  Ngapain lo sekolah tinggi tinggi, punya mobil bagus, tapi masih aja gatau dimana buang sampah yang benar. 

Contoh lain, banyak pengendara baik mobil dan motor yang tidak memberi jalan pada para penyebrang.  Alasannya? Nanggung, lagi buru buru, telat.  Para pengendara merasa lebih memiliki jalan dibanding para pejalan kaki, sehingga lupa untuk menghargai para pejalan kaki.  Bahkan sering kan melihat para pengendara motor menggunakan trotoar untuk menghindari macet dan mengklakson pejalan kaki agar tidak menghalangi jalannya.  Ga cukup memonopoli jalan, trotoar pun dimonopoli oleh para pengendara.  Kenyamanan bersama? Bukan.

Menaikkan gaji pejabat merupakan kenyamanan bersama? Bukan.  Mengurangi korupsi merupakan kenyamana bersama? Ya.  Tapi apakah menaikkan gaji pejabat adalah satu faktor yang penting dan utama untuk mengurangi korupsi? Silahkan dijawab sendiri dengan meneliti lebih lanjut mengenai karakter bangsa ini. 

Ada satu lagi karakter yang sangat mencolok dari bangsa kita ini.  Lagi lagi saya sering temukan ini di lampu merah.  Pengikut! Followers! Mau membuktikan? Bisa.  Ketika di lampu merah dan kita ada di barisan paling depan dan yang pertama berhenti, cobalah berhenti sesuai peraturan yang ada, di belakang zebra cross.  Tunggu dan lihat para pengendara lain, ikut berhenti atau akan lebih maju dengan kita.  Kemungkinan besar para pengendara lain akan mengikut kita berhenti di belakang zebra cross.  Tapi, kalau ada satu saja pengendara yang berhenti (atau bahkan kita bisa coba untuk menjadi pengendara yang satu ini) di depan zebra cross, lihatlah berapa banyak pengendara yang akan mengikuti perbuatan satu orang ini.  Coba dan buktikan sendiri.

Karakter yang menjadi kelemahan bangsa ini.  Tapi juga sebuah karakter yang bisa dijadikan kekuatan bangsa ini.  Dimana letak kekuatan kita, disitu jugalah ada kelemahan kita.  Dan dimana kita menemukan kelemahan, cobalah pakai kelemahan itu sebagai kekuatan kita. 

Dengan karakter pengikut ini, hal yang dibutuhkan untuk menjadikannya sebuah kekuatan adalah menjadi seorang inspirator.  Inspirator yang selalu berusaha untuk melakukan hal yang benar demi kenyamanan bersama.  Inspirator yang akan menginspirasi bangsa dari segala lapisan.  Inspirator yang melayani dan mengenal karakter bangsa ini.  Satu inspirator akan menghasilkan banyak pengikut yang kemudian berbuah menjadi inspirator lainnya.  Karena karakter pengikut, selalu membutuhkan seorang inspirator untuk diikuti.

Saya ga bilang inspirator ini adalah Jokowi, tapi dari kedua kandidat Presiden yang ada, Jokowilah yang mempunyai karakter inspirator yang dibutuhkan bangsa ini (berdasarkan hal hal yang saya amati dari kehidupan sehari hari). 

Saya bukan mengajak para pembaca untuk memilih Jokowi, saya disini mengajak kita semua untuk mengenali karakter bangsa ini, karakter calon pemimpin kita, karakter pemerintah kita.  Sehingga kita bisa memilih dengan bijak apa yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa ini. 

Untuk menyelamatkan bangsa, tidak hanya perlu pemimpin yang bijak, melainkan juga dilengkapi dengan pemerintah yang bijak dan masyarakat yang bijak dalam memilih, dari hal memilih untuk mentaati peraturan lalu lintas, membuang sampah pada tempatnya, tidak menggunakan uang negara untuk kenyamanan bersama, sampai bijak dalam memilih pemimpin yang bijak dalam memimpin dan melayani bangsa. 

Jika menurut kalian memilih Prabowo adalah hal yang bijak, silahkan.  Jika menurut kalian memilih Jokowi adalah hal yang bijak, juga silahkan.  Bijak dalam memilih, bijak dalam menggunakan hak suara, bijak dalam mengenali karakter bangsa ini, dan diri kita sendiri.  Bijak dalam menyelamatkan bangsa ini. 

Kalimat terakhir untuk menutup tulisan ini, kata kata yang saya dapat dari seorang pendeta satu minggu yang lalu.

“All good things are hard to achieve and all bad things are easy to get.  So, stay away from easy things.”



Selamat datang Indonesia bijak :)

Thursday, June 5, 2014

Banyuwangi, Sunrise of Java, The Hidden Superstar

Perjalanan di dalam sebuah perjalanan.  Perjalanan yang bertemu banyak cerita.  Cerita tentang kehidupan seseorang, sejarah sebuah tempat, budaya, kebiasaan, gaya hidup, kenangan, hingga cerita tentang perjalanan itu sendiri. 

Perjalanan dalam sebuah perjalanan ini sepenuhnya disponsori oleh “Wonder J”, mulai dari ketersediaan segala hal, keamanan, kecukupan, dan segala sesuatu yang membuat setiap detik perjalanan ini sangat berkesan.  Perjalanan yang berkesan tapi tidak mudah. 

Perjalanan yang dimulai sejak diberitahu tempat bernama “Baluran” yang disebut sebut Africa of Java.  Pencarian tentang Baluran pun dimulai dan mendasari keputusan untuk membeli tiket kereta ke sebuah tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, Banyuwangi.

Dalam memulai perjalanan ini bukan hal yang mudah, saya diam berjam jam di depan laptop mencari rute kereta api yang tersedia untuk dua orang.  Harusnya cukup mudah hanya dua kali ganti kereta, tapi karena tiket sudah habis, saya harus mencari rute rute lainnya yang memungkinkan.

Akhirnya setelah lebih dari 12 jam mencatat rute kereta yang memungkinkan, saya pun dapat tiket kereta ke Banyuwangi dengan rute Kiaracondong-Kroya-Pasuruan-Banyuwangibaru.  Tiket kereta api ekonomi untuk ke Banyuwangi terbilang murah, hanya Rp. 50.000 sekali naik kereta.  Total biaya yang kami keluarkan untuk tiket pulang pergi adalah Rp 248.000 per orang (kalau dari jauh hari bisa saja dapat Rp. 200.000).  Relatif murah karena itu adalah biaya yang saya butuhkan untuk melakukan perjalanan ke sebuah kota di paling ujung Jawa dan merupakan stasiun paling akhir di Pulau Jawa.  Kalau gamau ribet bisa naik pesawat, Garuda baru buka rute dari Jakarta ke Banyuwangi.

Setelah berhasil mendapat tiket untuk berangkat ke Banyuwangi, saya dan HRP (Helena Return Pingkan, partner perjalanan kali ini) pun mulai mencari wisata lain selain Baluran.  Ternyata ada satu tempat wisata lain yang menarik perhatian kami, G-Land.  Sebuah pantai di ujung bawah pulau Jawa yang lebih banyak dikenal oleh surfer mancanegara karena memiliki ombak terbesar kedua di dunia setelah Hawaii (untuk fakta lain tentang G-land bisa dicari sendiri di google).

Tapi akses untuk menuju kesana cukup sulit karena kendaraan umum di Banyuwangi masih minim, ditambah tempat wisata yang jaraknya berjauhan satu dengan yang lainnya.  G-Land sendiri berada dalam Taman Nasional Alas Purwo, untuk masuk ke Taman Nasional Alas Purwonya pun kita harus menggunakan mobil yang disiapkan oleh pihak TNAP karena keadaan jalan yang masih rusak di dalam TNAP sendiri (kecuali kendaraan yang kita gunakan dianggap memenuhi standard untuk masuk ke TNAP).  Harga sewa kendaraannya pun cukup mahal karena kami hanya berdua saja.
 
Tempat lain yang menarik hati adalah sebuah teluk di Taman Nasional Meru Betiri.  Teluk Hijau atau Green Bay.  Masih jarang tersentuh oleh manusia dan masih banyak monyet kecil berkeliaran di sekitar teluk.

Tempat terakhir adalah Kawah Ijen (masih banyak tempat wisata lainnya, tapi empat wisata ini adalah yang prioritas untuk kami).  Jujur awalnya saya kurang tertarik dan tidak terlalu memprioritaskan untuk ke Kawah Ijen.  Bayangan awal Kawah Ijen akan seperti Kawah Putih di Bandung, belum lagi harus trekking dahulu selama 2 jam.  Bukan perjuangan yang suka saya lakukan. 

Selama seminggu terakhir sebelum keberangkatan, saya sibuk mencari informasi secara langsung ke orang orang Banyuwangi yang kontaknya saya dapat dari blog orang orang.  Dari menghubungi Pak Kasman (petugas kantin di Taman Nasional Baluran) sampai kantor Dinas Pariwisata Banyuwangi, guna mencari tahu biaya yang diperlukan, penginapan, dan akomodasi untuk mencapai tempat tempat tersebut. 

Sampai dua hari sebelum keberangkatan saya masih belum menemukan penyewaan motor di Banyuwangi.  Ada satu tempat penyewaan, tapi sudah full booked sampai akhir bulan.  Akhirnya minta bantuan Nyokap siapa tau punya kenalan di Banyuwangi.  Ternyata teman Nyokap yaitu Om Aan punya seorang reporter di Banyuwangi, Om Shandi (yang sama sekali tidak dikenal sama Nyokap).  Akhirnya minta tolong bantuan Beliau untuk mencari penyewaan motor.  Walau sebenarnya agak bingung juga karena jarak wisata yang cukup jauh pasti akan sangat melelahkan bila pakai motor, lebih baik menggunakan bus atau kendaraan umum lainnya (bila ada). 

Untuk penginapannya sendiri, karena tujuan kami adalah Taman Nasional Baluran, saya pun menghubungi kantor TNB untuk penginapan.  TNB sendiri mempunyai beberapa wisma di dalamnya, tapi pengunjung harus melakukan reservasi dulu untuk ketersediaan tempat.  Ada satu hal yang cukup simpang siur untuk penginapan ini, menurut Pak Kasman, Dinas Pariwisata Banyuwangi, dan Petugas TNB yang diwawancara di stasiun televisi swasta menyatakan bahwa sudah tidak bisa lagi untuk menginap di dalam TNB, sebagai gantinya ada beberapa homestay di luar TNB dengan tarif Rp. 150.000 per malam per kamar.  Akan tetapi ketika saya langsung menghubungi petugas TNB, Beliau menyatakan bahwa dapat menginap di wisma yang ada di dalam TNB sendiri dengan tarif yang sama atau Rp. 250.000 untuk penginapan yang berada di Pantai Bama. 

Karena ketidakjelasan itu, saya pun mencoba mencari penginapan di daerah Banyuwangi.  Hotel Mahkota Plengkung, tidak jauh dari stasiun Banyuwangibaru dan memiliki tarif yang sama dengan fasilitas listrik 24 jam (di homestay dan TNB ada keterbatasan listrik), sarapan, fan, kamar mandi dalam, wifi, dan kolam renang.  Bukan tidak mau untuk hidup susah, tapi kalau ada fasilitas yang jauh lebih baik dengan harga yang sama, kenapa tidak memilih yang lebih baik dan lebih jelas kelegalannya. 

Perjalanan pun benar benar dimulai pada Jumat malam dengan tragedi nyaris ditinggal kereta di detik terakhir dan charger handphone yang tertinggal di rumah. 

Check Point Pertama, Stasiun Kroya
Dalam perjalanan panjang dari Kiaracondong menuju Banyuwangibaru pun bertemu banyak sekali cerita.  Perjalanan 26 jam (termasuk transit di stasiun Kroya selama 4 jam), kami bertemu dengan sepenggal kehidupan banyak orang yang kemudian kembali berpisah dengan cerita sesaat itu. 

Ada seorang penjaga pintu parkir di stasiun Kroya yang sempat tinggal di Bali dan nyaris berada di lokasi saat pemboman Bali terjadi, lalu seorang Tukang Becak yang lebih memilih menggunakan uang yang ada untuk sekolah cucunya daripada mengganti becaknya dengan mesin, seorang Bapak yang menuju ke Solo untuk liburan dan menertawakan perjalanan dua orang wanita yang cukup jauh tanpa seseorang yang dikenal di kota tujuannya, seorang Pramusaji kereta Logawa yang menjadikan kursi kosong didepan kami sebagai halte peristirahatannya setiap kali dia melewati kami, berkali kali berhenti sejenak untuk sekedar beristirahat dan bercerita dengan kami hingga menjalin keakraban yang menyenangkan, sampai seorang Ibu muda dari Malang yang sedang mengajak liburan anaknya ke Banyuwangi (seseorang yang menggunakan handphone yang sama dengan saya jadi saya bisa meminjam sebentar untuk mengisi baterai handphone).

Beberapa jam sebelum sampai di stasiun Banyuwangibaru Om Shandi menelfon untuk menanyakan tempat mana saja yang ingin kami kunjungi, kemudian menawarkan untuk diantar saja selama berada di Banyuwangi karena keadaan kota Banyuwangi yang cukup luas dan mudah membuat tersasar.  Awalnya kami menolak karena tidak mau merepotkan, tapi Beliau memaksa untuk diantar saja, dan yang lebih konyolnya lagi ternyata Beliau sedang bertugas meliput International Surfing Competition yang sedang diadakan di Pulau Merah, sehingga menawarkan adiknya yang akan menjemput dan mengantar kami selama berada di Banyuwangi. 

Intinya perjalanan kami berdua ini akan ditemani oleh seseorang yang belum dikenal dari seseorang yang belum kami kenal juga. 

Stasiun Karang Asem, 991 KM
Malam itu akhirnya kami sampai di Banyuwangi dan turun di stasiun Karangasem, satu stasiun sebelum Banyuwangibaru, karena letaknya yang lebih dekat dengan kota sehingga tidak terlalu jauh untuk dijemput. 
Stasiunnya kecil tapi bagus dan bersih.  Sambil menunggu dijemput, banyak tukang ojek yang menawari untuk mengantar ke tempat tujuan.  Sejauh ini keadaan masih aman tidak ada yang menakutkan, hanya perlu kewaspadaan saja. 

Akhirnya bertemu dengan dua teman baru, Mas Fian dan Edvin.  Sebelum ke penginapan mereka pun mengajak kami keliling kota Banyuwangi di malam hari, tidak seperti bayangan, kota Banyuwangi cukup maju, di sepanjang jalan tersedia wifi dan memiliki banyak taman kota yang indah dan terawat.  Gedung DPRD yang megah dan keadaan jalan yang ramah dan aman.  Menurut mereka, sejak Bupati yang baru, Banyuwangi banyak melakukan perombakan besar besaran. 

Setelah itu kami diajak ke tempat wisata bernama Pantai Boom.  Berhubung malam jadi kami tidak bisa begitu jelas bagaimana keindahan Pantai Boom itu sendiri, tapi yang jelas dari tepi pantai kita dapat melihat dengan sangat jelas Pulau Bali di depan mata.  Makanan pembuka pertama untuk mata di Banyuwangi, Laut Bali dan Pulau Bali. 

Kemudian mereka mengajak kami untuk mengobrol sejenak di warung minum yang berjejeran di sepanjang Pantai Boom.  Disana kami kembali menambah kenalan baru, teman teman dari Mas Fian dan Edvin.  Berbincang bincang dengan mengangkat topik perbandingan biaya hidup di Bandung dan Banyuwangi yang cukup jauh perbedaannya. 

Lalu kami mendiskusikan tentang rencana keesokan harinya.  Om Shandi meminta kami untuk bertemu Beliau di Pulau Merah sekaligus menonton International Surfing Competition, kami pun berkoordinasi dengan Mas Fian.  Karena jarak tempuh Banyuwangi ke Pulau Merah cukup jauh, memerlukan waktu 2 jam, dan Mas Fian juga besok harus meliput, akhirnya meminta bantuan temannya Mas Fian yaitu Mas Rian dan Edvin untuk mengantar kami di Minggu pagi ke Pulau Merah. 

Kembali semakin banyak hubungan “baru kenal” ini. 

Malam itu kami bermalam dahulu di penginapan daerah kota dengan harga yang lebih murah Rp.95.000 dengan 2 kasur, fan, kamar mandi dalam, dan sarapan.  Setelah lebih dari 26 jam akhirnya bertemu kasur juga.

***

Minggu, 25 Mei 2014

Hari pertama kami diajak sarapan ala anak Banyuwangi, sego cawok di depan taman Blambangan.  Nasi disiram kuah kelapa, ikan pedas, telor rebus ala gudeg, dan sambal.  Enak, hanya terlalu pedas untuk saya.  Kami makan berenam dan menghabiskan Rp. 50.000 saja (termasuk minum es teh).

Perjalanan ke Pulau Merah pun dimulai, harus siap masker karena Banyuwangi cukup banyak debu walau kotanya terbilang bersih.  Penunjuk jalan untuk ke Pulau Merah hanya sedikit, kalau tidak salah ingat sepanjang perjalanan 2 jam, saya hanya melihat 2-3 penunjuk jalan ke Pulau Merah.  Dan ternyata memang lebih baik diantar oleh orang lokal, karena orang lokalnya sendiri pun masih sering nyasar, dan kurang disarankan mengandalkan GPS, sinyal di luar pusat kota Banyuwangi masih sulit ditemukan. 

Sebenarnya kami kurang begitu tertarik untuk ke Pulau Merah karena tidak mendapat ulasan yang cukup menarik dari internet, jadi pergi kesana untuk bertemu langsung dengan Om Shandi dan karena sejalan dengan Green Bay.  Tapi setelah sampai di Pulau Merah, hati terkesima melihat pasir putih yang luas, ombak yang cukup besar (karena itu diadakan international surfing competition), langit yang biru bersih, air yang jernih, dikelilingi oleh bukit bukit, dan terdapat satu bukit di tengah pantai. 

Red Island, International Surfing Competition 2014
Hari itu pun kami banyak menemukan bulu babi disekitar tepi pantai, hingga beberapa kali petugas pantai harus mengingatkan pengunjung untuk berhati hati.  Awalnya tidak percaya, tapi memang benar ada beberapa bulu babi yang mudah ditemukan. 

Setelah puas di Pulau Merah, Mas Rian dan Edvin dengan inisiatif mengajak kami untuk ke Green Bay.  Sebelum berangkat Mas Rian bertanya, “Yakin mau ke Green Bay? Harus trekking dulu loh, ga cape?”

“Yakin, kapan lagi kalau ga sekarang.”

“Disini sih ngomongnya ‘kapan lagi’, nyampe sana ‘kapan kapan deh’.” 

Jadi kami pun melanjutkan perjalanan ke Green Bay, yang menurut mereka tidak jauh dari Pulau Merah.  Tapi kenyataannya cukup jauh.  Masih sekitar 1,5jam lagi untuk sampai ke Taman Nasional Meru Betiri.  Dengan kondisi setengah perjalanan yang masih rusak, sehingga harus pelan pelan dalam berkendara.  Dalam perjalanan kesana, awalnya kita akan melewati PTPN untuk perkebunan coklat, kemudian dilanjutkan dengan perkebunan pohon karet.  Pohon karet yang punya kemiringan melebihi menara Pisa.  Lalu akan bertemu dengan secuil pantai tanpa pengunjung, lalu tidak jauh dari sana akan ada hamparan rumput dan beberapa kerbau.  Kurang ada penunjuk jalan yang jelas untuk sampai ke TNMB, jadi lebih baik sesekali bertanya kepada penduduk lokal. 

Begitu sampai di TNMB, perjalanan belum selesai.  Sebelumnya kita harus membayar tiket masuk dan tiket pengambilan foto di Pos depan.  Tidak mahal, berkisar Rp 3.000-5000 per orang.  Kami berempat membayar Rp 21.000 termasuk ijin pengambilan foto, tapi tidak termasuk parkir motor yang akan ditagih ketika pulang (Rp 3.000 sampai jam 15.00 dan Rp 5.000 untuk setelahnya).  Setelah sampai di parkiran motor, kita harus berjalan kaki ke atas titik awal trekking.  Ada beberapa penjual makanan disana, saya pun sempat makan siang dulu dengan nasi, telor ceplok, dan tempe.  Kalau tidak salah 3 porsi nasi dengan 1 botol aqua, kami membayar Rp 25.000. 

Trekking dimulai.  Perjalanan menuju Green Bay tidak begitu terasa melelahkan, bahkan kami sempat tersasar ke dalam hutan karena arah yang lagi lagi tidak jelas.  Untuk mencapai Green Bay, kita akan melewati Pantai Batu, jadi jangan berhenti di pantai yang dipenuhi dengan batu, karena itu belum sampai Green Bay.  Lebih baik menyusuri jalan lewat Pantai Batu, jangan terus mengambil jalan di dalam hutan seperti kami.  Setelah trekking kira kira 30 menit, akhirnya Green Bay pun terlihat.  Kami sampai sekitar jam 3 sore dan keadaan saat itu cukup ramai. 
Only Footprints and Pictures are Allowed


Cukup puas melihat Green Bay, yang kami lakukan adalah duduk diam menikmati angin dan suara ombak sambil menunggu pengunjung yang lain pergi meninggalkan Green Bay.  Kalau melihat ke belakang, ada beberapa kawanan monyet berseliweran di dalam hutan.  Semakin sore tempat semakin sepi.  Jam 4 sore tempat sudah cukup sepi, hingga hanya ada kami berempat dan beberapa orang yang menawarkan jasa naik perahu. 

Kembali di tempat ini kami bertemu dengan seorang Bapak yang bertanya, “Penyunya dimana ya mba?”
Kami pun langsung menjelaskan kalau disini tidak ada penyu, yang ada di Sukamade.  Pernyataan yang membuat Bapak itu berpikir kalau kami orang Banyuwangi.  Setelah bertanya semakin dalam akhirnya Beliau tahu kalau kami dari Bandung dan cukup takjub kalau Green Bay ada di internet.  Kemudian datang seorang nelayan muda yang menawarkan perahu ke Bapak tersebut dan mengira kalau kami berdua adalah anak dari Bapak tersebut. 
Green Bay, Private Spot
Setelah itu kami lanjut mengobrol dengan nelayan muda ini dan bercerita kalau kami berasal dari Bandung lalu kembali menerima pujian “hebat” atas keberanian kami.  Nekat sih bukan berani. 

Untuk naik perahu dikenakan biaya Rp 35.000 untuk sekali jalan dan Rp 50.000 untuk pulang pergi.  Itu harga tanpa negosiasi, jadi mungkin bisa lebih murah.  Tapi kami tidak berniat naik perahu yang cukup mengkhawatirkan dengan kondisi ombak yang cukup besar, tanpa pelampung, dan ya mengerikan aja.  Dan kalian harus siap basah kalau mau naik perahu.  Siap basah siap jatuh.  Nah loh!
Sebelum jam 5 kami pun meninggalkan Green Bay dan kembali melakukan trekking.  Rasanya lebih melelahkan dibanding perjalanan menuju Green Bay.  Selesai trekking, kami masih harus berjuang melewati jalanan rusak dalam perjalanan pulang dengan keadaan cukup mengerikan karena kanan kiri perkebunan yang hanya mengandalkan lampu motor. 

Akhirnya setelah sempat tersasar beberapa kali, jam 19.30 baru kami berhasil sampai di kota Banyuwangi.  Tujuan utama kami malam itu adalah mencari makan, nasi tempong.  Nasi dengan beberapa lembar sayur (sepertinya daun pepaya), lalu tempe, tahu, perkedel, sambal, dan lauk utamanya bisa pilih sendiri, ada ikan goreng, pepes ikan, ayam goreng, atau telor dadar.  Kenyang dan puas banget.  Kami berempat makan disana dan menghabiskan Rp 43.000.  Cukup murah melihat porsinya yang begitu besar, bahkan itu sudah termasuk minuman dan kerupuk. 

Selanjutnya kami langsung menuju tempat terakhir, penginapan. Hotel Mahkota Plengkung.  Begitu sampai cukup terkejut dengan keadaan hotelnya.  Benar benar terasa murah dengan harga Rp 150.000 per malam dan kondisi hotel yang sangat memuaskan.  Kami pun beristirahat sambil memikirkan besok akan bagaimana perjalanan kami. 

Senin, 26 Mei 2014

Saking lelahnya kami baru terbangun jam 08.00.  Menurut Om Shandi, hari itu lebih baik kami beristirahat saja biar malamnya bisa ke Kawah Ijen dan melihat Blue Fire.  Blue Fire ini adalah hal yang membuat saya semangat dan rela berjuang trekking di Kawah Ijen.  Karena fakta bahwa Blue Fire hanya ada dua di dunia, Indonesia dan Iceland.  Tentu saja saya semangat dan mau memanjakan mata untuk melihat hal unik di dunia ini.

Tapi menurut info yang kami dapat, saat itu Kawah Ijen sedang dalam status Waspada, jadi tidak diijinkan untuk melihat Blue Fire.  Biasanya pengunjung memulai trekking pada jam 01.00 sehingga dapat sampai di atas Kawah Ijen jam 03.00 dan melihat Blue Fire sambil menunggu sunrise.  Tapi karena sedang dalam status waspada, maka petugas baru menginjinkan untuk memulai trekking pada jam 03.00/04.00.  Sehingga ketika sampai atas kita akan terlambat untuk melihat Blue Fire. 

Sedikit mengecewakan karena Blue Firelah yang membuat saya semangat untuk trekking di Kawah Ijen.  Apalagi dengan kabar dari salah satu teman HRP yang hari sebelumnya ke Kawah Ijen dan status masih waspada dan belum bisa melihat Blue Fire.  Bisa dipastikan kemungkinan besar belum bisa melihat Blue Fire. 

Dengan pertimbangan seperti itu, hari kedua ini kami melakukan perjalanan ke Taman Nasional Baluran.  Kali ini perjalanan kami lakukan hanya berdua, tanpa ditemani oleh teman teman Banyuwangi kami.  Karena sebelumnya saya sudah mencari tahu terlebih dahulu untuk sampai kesana, jadi tidak terlalu panik dan kewalahan walau tidak punya motor yang disewa.

Dari depan hotel, kami tinggal naik Lyn (angkot) ke arah utara menuju terminal Sri Tanjung.  Kita tidak perlu khawatir, karena terminal ini titik akhir dari Lyn, jadi lebih baik tidak usah minta diturunin di terminal Sri Tanjung biar tidak terlihat pendatang.  Ongkos Lyn di Banyuwangi cukup mahal, jauh dekat Rp. 5.000.  Jarak dari hotel ke terminal pun tidak begitu jauh, dan dalam perjalanan kita akan melewati stasiun Banyuwangibaru dan Pelabuhan Ketapang dimana tempat penyebrangan ke Pulau Bali. Jarak tempuh dari Pelabuhan Ketapang sampai Pelabuhan Gilimanuk hanya sekitar 30-45 menit dengan ongkos Rp. 7.500 saja, dan kapal feri pun selalu ada setiap jam jadi ga perlu khawatir ketinggalan feri. 

Sekitar 15 menit untuk sampai ke terminal Sri Tanjung, dalam perjalanan ke terminal kami mengobrol dengan Bapak supir Lyn untuk bertanya mengenai kendaraan kami pulang di rabu pagi ke stasiun Banyuwangibaru.  Bapak tersebut pun berinisiatif akan menjemput kami di hotel jam 6 pagi untuk mengantar kami.  Setelah itu kami langsung naik bus yang asiknya langsung berangkat begitu kami naik. 

Dari informasi yang saya dapat dari Pak Kasman, ketika naik Bus yang ke arah Surabaya, bilang saja turun di Batangan, jangan Baluran untuk menghindari tarif yang lebih mahal dari yang seharusnya.  Gausah takut salah daerah, karena Batangan itu tepat di depan pintu masuk Taman Nasional Baluran, dan kernet bus pun pasti akan teriak kalau sudah sampai di Baluran. 

Ongkos yang disarankan oleh Pak Kasman adalah Rp 6.000 tapi karena kami ragu, jadi kami mencoba membayar seorang Rp 7.000 dengan uang pas dan bilang akan turun di Batangan.  Berhasil, kami tidak ditagih lagi untuk ongkos. 

Jarak dari terminal ke TNB pun tidak jauh, mungkin kurang dari satu jam saja.  Sesampai di TNB, sudah banyak ojek menawarkan jasa.  Memang untuk menjelajahi TNB ini kita butuh kendaraan, bisa saja jalan kaki, tapi cukup jauh dan ternyata menyeramkan juga.  Tiket masuk ke TNB sekarang menjadi Rp 5.000 per orang, baru naik 50% dalam 2 hari terakhir, serentak di seluruh Taman Nasional.  Yang mahal itu adalah ongkos ojeknya, untuk ojek sekali jalan dikenakan biaya Rp 40.000 sekali jalan, jadi butuh Rp 80.000 untuk pulang pergi.  Karena kami berdua, saya pikir lebih baik untuk menyewa motor saja selama 12 jam Rp 100.000.  Awalnya masih ingin menawar lagi biar lebih murah, karena kami toh tidak akan sampai 12 jam, tapi ternyata sudah tidak bisa ditawar dan HRP sudah keburu setuju.

Perjalanan menjelajah TNB pun dimulai, dengan motor bebek supra fit.  Kata Bapak petugasnya ikuti jalan saja, hanya ada satu jalan kok.  Lalu saya pun mulai mengendarai motor tersebut.  Jalannya masih rusak, jadi saya pelan pelan dalam mengendarainya.  Batu dimana mana dan cukup besar, belum lagi hari sebelumnya hujan sehingga ada beberapa jalan masih becek dan harus hati hati mengendarai biar tidak licin dan jatuh. 

Beberapa saat menyenangkan, lama kelamaan cukup mengerikan juga.  Jarak dari pintu gerbang TNB ke pos Bekol (satu satunya pos di TNB) adalah 12 km dan untuk lanjut ke Pantai Bama masih ada 3 km lagi.  Mulai memasuk 3 km pertama, keadaan jalan kanan kiri adalah hutan.  Dan saat itu sepi sekali, hanya kami yang menyusuri jalan itu.  Sempat teman saya meminta untuk mengendarai lebih cepat karena keadaan yang semakin menakutkan.  Tapi apa daya kondisi jalan yang tidak begitu baik membuat sulit untuk mengendarai dengan cepat. 

Dalam perjalanan pun saya menyadari kenapa tarif sewa motor cukup tinggi, karena kondisi jalan yang rusak dan cukup menyeramkan, belum lagi harus siap kalau motor rusak.  Harga Rp 100.000 itu udah termasuk bensin full tank.  Lalu ketahuan mengapa petugas di gerbang sempat berkomentar, “emang berani cuma cewe berdua?”.  Ternyata memang keadaannya cukup mengerikan karena berjalan dengan kanan kiri hutan belantara dan jarang banget ada orang yang melintas jalan itu. 


Beneran berasa jadi jurnalist National Geographic, ya anggap aja latian sebelum jadi jurnalist NatGeo beneran yang lagi menjelajah Afrika (apalagi sekarang latiannya di Afrika rasa Jawa, pas banget).  Setelah sekitar 10 km, akhirnya pemandangan di kanan kiri yang hutan belantara pun selesai, diganti dengan savanna seluas luasnya dengan Gunung Baluran dibelakangnya.  1 km dari situ akan menemukan pos Bekol dan beberapa wisma yang disewakan, kemudian ada menara pandang sehingga bisa melihat savanna bekol secara keseluruhan dari atas (sayang kami tidak sempat menaiki menara pandang karena mengejar waktu pulang biar tidak gelap untuk sampai ke pintu gerbang utama). 

Jujur, kece banget tempatnya.  Waktu kami datang rumputnya masih berwarna hijau, untuk lebih merasakan sensasi Afrikanya lebih baik datang di bulan Agustus – Oktober saat semua menguning.  Apalagi bulan Oktober, dimana musim kawin Merak dan Rusa yang heboh mempercantik diri.  Cuma kekurangannya akan banyak orang yang mengunjungi TNB dan para satwa akan lebih susah dijumpai pada siang hari karena terganggu dengan kedatangan manusia.


Tapi kalau kalian mau melihat monyet tidak usah khawatir, mereka doyan banget muncul, bahkan setelah pos Bekol, kalau kalian melihat ke kanan dan kiri savanna, rasanya itu lautan monyet. Banyak banget dan ga lari kalau kita dekatin.  Cuma hati hati kalau bawa makanan atau apapun yang punya warna mencolok. 

Di kunjungan kami kemaren, cukup banyak satwa yang menunjukkan diri.  Ada beberapa kerbau yang asik mandi, ratusan monyet di kanan kiri, sekumpulan merak yang sempat terbang melewati kami, lalu kangkareng, burung dengan paruh panjang yang sering ada di kartun kartun, dan sekawanan rusa yang cukup sulit dilihat selain banteng dan macan tutul. 

Di pantai Bamanya kurang menarik karena sedang surut dan sudah kecapekan juga untuk melakukan snorkeling atau diving.  Lagipula untuk snorkeling harus membawa peralatan sendiri.  disini juga bisa main canoe, tapi ya itu dia udah terlalu capek.  Ada juga mangrove trail dan kawasan bird watching di deket Pantai Bama.  Jadi sebenarnya banyak yang bisa dilakukan di Pantai Bama ini.  Hanya saja waktu yang kami punya dan tenaga yang tersisa terbatas untuk melakukan semuanya.  Mungkin memang harus lebih dari satu kali untuk mengunjungi Taman Nasional Baluran ini. 

Baluran National Park
Bagi pengunjung yang menginap diperbolehkan untuk safari night yang dipandu oleh petugas TNB dengan biaya Rp 150.000, katanya sih cukup menyeramkan apalagi kalau beradu mata dengan para satwa.  Dan memang para satwa akan lebih nyaman keluar pada malam hari karena minim kehadiran manusia. 

Setelah puas di savanna Bekol dan Pantai Bama, jam 16.30 kami kembali melakukan perjalanan menuju pos gerbang utama.  Perjalanan pulang ke gerbang utama jauh lebih menyeramkan, karena saya mengejar sebelum matahari terbenam sehingga mengendarai dengan kecepatan lebih tinggi dari sebelumnya dan ga jarang bagian bawah motor terbentur oleh batu batuan cukup keras.  Soalnya mengejar ga kegelapan di tengah tengah hutan yang menyeramkan itu.  Sekitar 30 sampai 45 menit barulah kita berhasil sampai di pos gerbang utama dan mengembalikan motor ke pemiliknya.    
Savanna Bekol, Baluran National Park.  Been there.

Ketika menunggu bus di depan gerbang TNB, Bapak pemilik motor menemani kami dan membantu untuk memberhentikan bus yang tepat.  Ternyata ada bus yang langsung lewat penginapan kami, jadi gausah turun dulu di stasiun baru ganti naik Lyn.  Bus kecil yang menuju ke Madura.  Sembari menunggu kami pun mengobrol cukup banyak hal tentang TNB, lumayan banget nambah pengetahuan tentang TNB.  Setelah itu bus mini tersebut datang dan Beliau menitipkan kami ke Bapak kernet bus tersebut.  Masih banyak orang baik di sekitar kita. 

Ongkos naik bus itu Rp 10.000 per orang, lebih murah Rp 2.000 dibanding harus ganti Lyn di terminal.  Kembali di bus ini pun kami diajak mengobrol dengan Bapak kernet tadi, lebih banyak tentang makanan khas Banyuwangi, Beliau menyarankan untuk mencoba makanan pinggiran di Banyuwangi, jangan makanan mahal.  Dengan beberapa senda gurau bersama Beliau, sekitar jam 18.30 kami pun sudah sampai di depan penginapan. 

Malam itu kami lanjutkan dengan mencari makan di daerah kota Banyuwangi dengan diantar oleh Mas Rian dan Mas Sigit.  Pertama kami diajak makan cemilan ala Banyuwangi yang cukup terkenal, “darplok” atau martabak ndeso.  Butuh waktu yang cukup lama dalam menunggu tersajinya darplok ini, lalu setelah itu pun kami pergi ke taman Blambangan untuk menikmat darplok tersebut.  Darplok ternyata telor dadar yang diisi dengan bihun lengkap dengan kuah yang cukup pedas, harganya hanya Rp 3.000 untuk 1 telur dan Rp 6.000 untuk 2 telur.  Enak, hanya menurut saya akan lebih enak kalau disajikan dengan nasi (maklum orang Indonesia, cemilan aja dijadiin lauk, ga makan kalau belum pake nasi). 

Lalu kami pergi ke alun alun kota, duduk santai sambil minum susu dengan sate pisang.  Kalau disini kisaran jajanan cukup mahal, untuk empat gelas susu dan dua porsi sate pisang kami membayar Rp 24.000 (mahal untuk takaran Banyuwangi).

Disana kami kembali bertukar cerita tentang Banyuwangi dan Bandung, ternyata Mas Sigit ini masyarakat asli Banyuwangi yang berasal dari Desa Kemiren, sebutan untuk orang asli Banyuwangi adalah Osing Deles, yang juga merupakan merk baju untuk oleh oleh khas Banyuwangi. 

Setiap tempat di Banyuwangi punya sejarahnya sendiri dan entah memang semua orang Banyuwangi tahu betul sejarah dari setiap tempat atau memang teman teman kami ini orang yang cukup mengenal dan peduli dengan sejarah setiap sudut kotanya.  Mas Rian dan Mas Sigit bisa dengan lancar menceritakan sejarah dari setiap sudut kota di Banyuwangi, mengapa dinamakan Blambangan, Sri Tanjung, kerajaan yang berkuasa, dan segala macam lainnya.  Anak muda yang dapat diandalkan dan peduli dengan sejarah kota miliknya. 

Banyuwangi merupakan kota yang cukup maju dengan pesat walaupun tanpa kehadiran makanan cepat saji yang banyak ditemukan di kota kota besar, untuk membeli Jco saja harus pergi ke Surabaya dulu yang butuh waktu naik kereta selama kurang lebih 6 jam (oh please).  Kota yang tenang karena benar benar jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota kota besar, tetapi pada hari libur menjadi kota yang ramai karena masyarakat yang merantau biasanya akan pulang ke Banyuwangi. 

Belum lagi Banyuwangi punya banyak kegiatan kota yang cukup unik, di akhir tahun akan banyak festival yang diadakan di kota Banyuwangi, belum lagi setiap hari Sabtu selalu ada acara di alun alun kota. 

Selanjutnya kami memperbincangkan tentang keinginan untuk ke Kawah Ijen.  Mas Rian dan Mas Sigit menyanggupi untuk mengantarkan kami ke Kawah Ijen malam itu, tapi menurut Mas Sigit yang sudah empat kali ke Kawah Ijen, perjalanan kesana cukup berat.  Butuh waktu 4 jam dari Banyuwangi dan jalanan yang cukup curam, kanan kiri jurang.  Mas Rian sendiri belum pernah ke Kawah Ijen, jadi kami semua mengandalkan informasi dari Mas Sigit saat itu.  HRP, Mas Rian, dan Mas Sigit memutuskan untuk ke Kawah Ijen malam itu, tinggal saya yang masih ragu.  Semua keputusan tergantung saya. 

Saya kurang berani malam itu, dengan keadaan saya yang cukup mengantuk karena kecapekan di Baluran, belum lagi perjalanan yang menurut Mas Sigit 4 jam, lalu sampai disana harus melakukan trekking selama 2-3 jam untuk sampai ke Kawah Ijen.  Bahkan belum tentu bisa melihat Blue Fire karena status waspadanya.  Sulit sekali rasanya untuk memutuskan saat itu, apalagi kesempatan untuk melihat Blue Fire hanyalah malam itu karena rabu pagi kami sudah harus berangkat pulang ke Jogja.  Tapi pada akhirnya saya pun menyerah dan memutuskan untuk tidak pergi malam itu, sehingga mereka bertiga mengikuti keputusan saya.

Sampai di hotel saya terus memikirkan bagaimana cara untuk ke Ijen dan melihat Blue Fire.  Berencana memakai angkutan umum saja (berhubung saya juga sudah mencari tahu bagaimana cara dengan kendaraan umum) tapi dengan situasi tidak akan bisa melihat Blue Fire di saat subuh karena kendaraan umum untuk turun tidak selalu ada 24 jam apalagi dengan kondisi kami yang harus pulang di Rabu pagi. 

Ada kekecewaan karena keputusan saya dengan jelas memupuskan harapan untuk melihat Blue Fire.  Yang jelas saat itu saya butuh tidur dan tidak mau terlalu ribet memikirkan rencana keesokan paginya.  Berdoa saja minta diijinkan melihat Blue Fire. 

Selasa, 27 Mei 2014

Pagi itu bangun dan langsung memikirkan cara untuk ke Kawah Ijen.  Berdasarkan informasi yang saya dapat, untuk mencapai ke Kawah Ijen kita bisa naik Lyn ke terminal Sasak Perot dan dari sana dilanjutkan naik kendaraan umum lainnya ke arah desa Jambu sekitar Rp 15.000 (tergantung negosiasi), lalu menumpang truk belerang yang hanya ada pada jam jam tertentu, seingat saya untuk ke menuju Kawah Ijen truk belerang lewat setiap hari (kecuali Jumat) jam 08.00 sampai 10.00, kita cukup membayar Rp. 5.000 per orang kepada supir truk dan bisa berbincang bincang dengan penambang lain yang ikut di truk belerang tersebut.  Kalau siang hari, truk belerang lewat sekitar jam 13.00, saya kurang tahu tepatnya karena catatan saya sepertinya tertinggal di hotel Banyuwangi.  Untuk kendaraan pulang dari Kawah Ijen, orang orang biasanya naik truk belerang keesokan paginya jam 10.00 lalu dilanjutkan seperti sebelumnya ke desa Jambu. 

Untuk ke Kawah Ijen, biasanya orang orang akan mulai datang di sore atau malam hari (karena akan memulai trekking sekitar jam 01.00 untuk melihat Blue Fire dan dilanjutkan menikmati sunrise) bila memakai kendaraan sendiri atau menyewa jeep dengan biaya Rp 500.000 per mobil yang bisa diisi sekitar 4 orang termasuk supir, atau kalau mau lebih berpetualang dan mengenal lebih dekat keadaan lokal dapat menggunakan kendaraan umum seperti cara diatas.  Bila menggunakan kendaraan umum, kita harus menyediakan waktu lebih banyak lagi karena truk belerang yang hanya ada pada jam jam tertentu saja, jadi kemungkinan besar kalau kita mau melihat Blue Fire harus menginap atau menunggu malam dahulu baru melakukan trekking ke Kawah Ijen. 

Jalan menuju Paltuding
Kembali ke pemikiran cara ke Kawah Ijen hari itu, ternyata Edvin mengajak untuk ke Kawah Ijen bersama dia dan Mas Rian saja diantar.  Menurut mereka lebih baik kalau ada laki lakinya.  Jadi pagi itu mereka pun menjemput kami jam 09.00 di hotel.  Dalam perjalanan ke Kawah Ijen mereka membeli nasi bungkus dulu sebagai perbekalan disana.  Lalu perjalanan pun dimulai dengan keadaan lebih mudah, karena kondisi jalan yang sudah mulus dan lebih banyak penunjuk jalan yang tersedia.  Dan ternyata pernyataan Mas Sigit yang memerlukan waktu 4 jam ke Kawah Ijen kurang dapat diandalkan, medannya pun tidak semenyeramkan yang diceritakan.  Jalan menuju Kawah Ijen sudah diaspal seluruhnya hanya memang kanan kiri penuh dengan hutan.  Kalau siang hari tidak begitu menyeramkan, pasti akan berbeda kalau malam hari, mungkin itu juga yang dimaksud Mas Sigit malam kemaren.  Lebih baik untuk perjalanan perdana, berangkatlah saat hari masih terang sehingga bisa tahu medan perjalanan menuju Paltuding dan Kawah Ijen, setelahnya kalau mau pada malam hari silahkan, yang penting sudah terbayang perjalanan di dalam kegelapan itu.

Gerbang utama untuk ke Kawah Ijen bernama Paltuding, tempat beristirahat sebelum melakukan trekking dan tempat akhir menggunakan kendaraan.  Di Paltuding ada beberapa warung makan yang menyediakan indomie dan minuman hangat lainnya.  Bisa juga menunggu malam di warung warung makan tersebut dan kalau ke Kawah Ijen jangan lupa membawa banyak jaket tebal, sarung tangan, dan masker tentunya.  Udara di Kawah ijen tentunya sangat dingin sudah terasa sejak dalam perjalanan menuju Kawah Ijen.  Di Paltuding sendiri udara sudah cukup dingin, mungkin sekitar 12-15 derajat.  Belum lagi ketika sampai atas akan lebih dingin, tapi akan terbantu dengan adanya sinar matahari. 

Waktu yang diperlukan dari Banyuwangi sampai ke Paltuding sekitar 1,5 jam menggunakan motor.  Ada beberapa jalan dengan tanjakan cukup curam, sehingga saya sempat turun dari motor dan berjalan kaki karena Mas Rian menggunakan motor matic (kurang disarankan untuk pakai motor matic kesini).  Sampai di Paltuding udara semakin dingin walau siang hari, kami beristirahat sejenak bertemu dengan teman teman Mas Rian dan Edvin yang sudah lebih dulu sampai.  Di Paltuding akan ditarik biaya parkir sebesar Rp 6.000 per motor (sepertinya sudah termasuk tiket masuk per orangnya).  Dan di tempat parkir motor dengan jelas ada pengumuman bahwa Kawah Ijen masih dalam status waspada 2.  Pengumuman ini cukup melegakan karena memang Blue Fire masih belum bisa dilihat, menghibur hati dengan berpikir harus kembali kesini untuk melihat Blue Fire (walau masih kecewa juga sudah jauh jauh ke Banyuwangi tapi tidak bisa lihat Blue Fire). 

Dalam perbincangan dengan teman teman yang lain, ada yang mencetus kalau Blue Fire sudah mulai bisa dilihat hari itu.  Simpang siur memang, mungkin karena melihat keadaan yang sebenarnya aman aman saja hanya petugas tidak mau mengambil resiko.  Saya dan HRP pun bingung, memikirkan segala cara untuk bisa melihat Blue Fire tanpa harus ketinggalan kereta esok paginya.  Sambil berharap juga semoga memang belum bisa melihat Blue Fire. 


Jam 12.00 kami memulai perjalanan ke Kawah Ijen bersama pasangan suami istri muda dengan anaknya berumur 2,5 tahun, Mas Ua, Mba Ajeng, dan Al.  Perjalanan dimulai dengan mengambil foto bersama turis dari Slovakia.  Sepanjang perjalanan banyak orang melihat rombongan kami karena membawa seorang anak kecil dan sepanjang perjalanan juga kita akan banyak menyapa dengan orang orang yang tidak dikenal, belum lagi para penambang yang turun membawa belerang yang sangat berat sekitar 70
kg di bahunya  dengan jarak 3 km sekali jalan. 

Untuk saya yang sebenarnya tidak suka trekking, perjalanan ini cukup melelahkan.  Beberapa kali istirahat sejenak untuk mengambil nafas, sampai beberapa kali Edvin mendorong saya dari belakang agar lebih cepat melangkah ditanjakan.  Selama trekking pasti kita akan saling memberi semangat satu sama lain walaupun kepada orang orang yang tidak kita kenal.  Lumayan belajar mengenal karakter dasar seorang manusia yang saling mendukung.  Perjalanan trekking ini pun tidak membosankan, pemandangan di kanan kiri dan belakang sangat memanjakan mata ditambah udara dingin yang disediakan alam.  Walau pada dasarnya tidak suka trekking, saya tidak ada kepikiran sedikitpun untuk menyerah dan kembali turun.  Rasa penasaran dengan Kawah Ijen dan Blue Fire lebih besar dibanding menyerah dengan rasa capek. 

Ditengah perjalanan kita akan sampai di pos terakhir, Pos Bundar.  Kantin yang menyediakan air minum hangat dan pop mie seharga Rp 8.000.  Ketika membeli pop mie di Pos Bundar, saya iseng bertanya mengenai Blue Fire.  Menurut Bapak penjaga kantin masih belum bisa melihat Blue Fire karena status waspada dan pengunjung baru boleh mulai trekking pada jam 03.00/04.00 dini hari.  Jadi akan sampai di atas pada saat matahari telah terbit dan tidak sempat melihat Blue Fire.  Saya pun bertanya, apakah Blue Fire hanya ada pada subuh hari.  Ternyata tidak, Blue Fire selalu ada 24 jam, tapi butuh keadaan gelap agar bisa dilihat oleh mata, jadi sebenarnya ketika maghrib pun kita sudah bisa melihat Blue Fire.  Rencana baru pun sudah mulai tersusun diotak saya untuk menunggu Blue Fire saat maghrib saja, tapi langsung dilenyapkan dengan pernyataan Beliau, “tapi jam 16.00 nanti petugas akan datang ke atas untuk mengecek dan meminta pengunjung untuk kembali turun ke Paltuding”.  Lagi lagi kecewa. 
Dari Pos Bundar, perjalanan untuk sampai keatas masih sekitar setengah jam lagi.  Jadi kalau belum sampai di Pos Bundar dan bertemu dengan orang orang yang dalam perjalanan turun kemudian mereka bilang “semangat, bentar lagi sampai kok.”, itu hanyalah semangat klise biar kita ga menyerah (nyebelin ya gue buka rahasia). 


Perjalanan setelah Pos Bundar akan lebih ringan karena ada beberapa jalanan datar walau masih banyak tanjakan yang harus dilalui.  Kabut pun mulai dapat disentuh dalam perjalanan setelah Pos Bundar.  Setelah itu kalau sudah sampai di atas yaitu Kawah Ijen, tenang saja capek kita akan terbayarkan bahkan hilang begitu saja.  Sesuatu yang sangat layak diperjuangkan.
Pemandangan menuju Kawah Ijen

Waktu trekking yang dibutuhkan dari Paltuding ke Kawah Ijen sekitar 2-3 jam, tergantung banyak istirahat atau tidak selama trekking.  Lebih baik kalau capek jangan dipaksa, istirahat saja, tidak perlu terburu buru.  Ketika sampai diatas, harus selalu ingat untuk berjalan melawan arah angin agar asap belerang tidak begitu menusuk pernapasan kita.  Tapi kalau tidak turun lagi ke Kawah Ijennya, hanya kecil kemungkinan asap belerang sampai ke kita.  Kalau sudah berhasil sampai atas, kita akan disuguhi suasana dataran seperti yang ada di Mesir hanya beda yang ini disediakan udara yang dingin.  Kami pun melanjutkan perjalanan mengitari mulut Kawah, keadaan jalannya penuh dengan batu batuan besar.  Kami duduk beristirahat dekat dengan tanda larangan untuk turun ke bawah yang terletak di tangga batu untuk kebawah.  Duduk sambil menikmati keindahan Kawah Ijen, mulai dari danau sulfur berwarna hijau tosca, batu batuan yang kece abis, udara dingin ditemani sinar matahari.  Serius asik banget. 

Sekitar setengah jam duduk diam di mulut kawah, Mas Ua, Mba Ajeng, dan Al pun turun duluan ke Paltuding meninggalkan kami berempat yang masih belum puas memanjakan mata.  Ketika kami melihat kebawah arah danau, cukup takjub melihat ada orang yang berada di bawah sana, dan terlihat sangat kecil sekali dari atas.  Takjub bagaimana bisa mereka turun kesana melihat medan yang jelas sekali cukup berat.  Tidak berapa lama kami pun ingin mengambil foto dengan berdiri di tangga batu.  Ketika sedang berfoto tiba tiba lewat dua orang Bapak penambang yang mengajak untuk ikut turun ke bawah bersama mereka.  Kami berdua bingung apalagi dengan jelas ada larangan disebelah tangga.  Setelah bertanya berkali kali dan kedua Bapak ini tetap yakin kalau tidak akan apa apa, kami pun turun kebawah dipandu kedua Bapak tersebut, disusul dengan Mas Rian dan Edvin. 

Perjalanan yang harus dilalui untuk sampai ke bawah
Dalam perjalanan ke bawah, tangan kanan Bapak penambang ini memegang tangan saya agar tidak terjatuh dalam menuruni setiap batu, sambil di bahu kirinya memikul dua keranjang untuk diisi dengan belerang.  Kami pun berbincang beberapa hal sambil ketakutan karena beberapa kali hampir terpeleset ketika turun karena selain batu ada banyak pasir yang cukup licin (saya yang ketakutan, bukan Beliau).  Beliau pun menyarankan untuk turun dengan posisi miring seperti jalan kepiting sehingga bisa menahan kalau terjatuh.  Berikut perbincangan yang saya lakukan dengan Beliau.

“Beneran gak papa untuk  turun ke bawah Pak?”

“Iya, asal ada pemandunya gak papa kok.  Memang sempat ada turis yang meninggal, tapi itu karena dia asal turun saja tanpa pemandu, jadi dia belum tau medannya seperti apa.”

“Tapi emang bener Pak cuma ada 2 Blue Fire di dunia?”

“Iya benar itu, tapi cuma disini yang apinya abadi.  Mau hujan seharian apinya tidak akan mati.”

“Oh, terus Bapak udah berapa lama kerja disini?”

“Baru sebentar kalau saya, 25 tahun.”

“Buset, itu sih bukan bentar Pak, lebih lama Bapak kerja disini dibanding saya hidup.”

Kami pun tertawa sambil tetap berjuang untuk turun.

“Saya kerja disini sejak umur 21 tahun.  Orang tua juga dulu kerja disini, ingin lebih baik tapi ya gimana, untuk sekolah mahal.  Biaya makan saja masih susah.  Inginnya juga anak saya nanti bisa lebih baik.”

“Ohiya sih ya Pak.”  Karena bingung juga gatau harus merespon apa dan sedih dengan keadaan Beliau. 

Walau semakin ke bawah semakin berbahaya, tapi itu semua berbanding lurus dengan keindahan yang bisa kita nikmati.  Penting banget untuk turun ke bawah, jangan hanya berhenti di mulut Kawah Ijen.  Ingat, hati hati, dan lebih baik bersama para penambang belerang sebagai pemandu untuk mengurangi resiko terjadi hal yang tidak diinginkan.

Lalu kami berhenti sejenak di batu yang cukup besar (kurang tau apakah itu batu, yang pasti pijakan yang cukup luas untuk beberapa orang), di tempat itu kami bertemu dengan dua orang backpacker juga dari Solo, seorang wanita dan laki laki.  Senang banget rasanya bisa bertemu dengan mereka, walau baru kenal beberapa detik (bahkan tidak saling tukar nama), kami langsung lancar bercerita satu sama lain, heboh dengan Banyuwangi.  Setelah berbincang bincang ternyata mereka juga ingin melihat Blue Fire dan rencana akan naik lagi nanti subuh jam 01.00.  Tapi kami memberitahu kalau tidak akan diijinkan naik oleh petugas di Paltuding.  Lalu kedua Bapak yang menemani kami pun mengusulkan untuk menunggu saja bersama mereka di bawah sehingga bisa melihat Blue Fire saat maghrib nanti. 

Kami pun kembali bertanya berkali kali apakah akan aman dengan status yang masih waspada 2, ditambah lagi teman kami dari Solo tidak membawa masker.  Kedua Bapak ini pun tetap meyakinkan bahwa tidak akan ada apa apa.  Memberi jalan keluar untuk turun ke bawah dan beristirahat di tenda milik mereka, dimana semakin dekat dengan asap belerang.  Kedua Bapak ini terus meyakinkan kami semua.  Kedua orang dari Solo ini pun bertanya balik kepada kami, kalau kami ikut mereka akan ikut, kalau tidak ya mereka tidak mau.  Saya bertanya pada HRP untuk mengambil keputusan, kami pun mengiyakan, kapan lagi? Sudah sejauh ini. 

Lalu laki laki dari Solo ini pun kembali naik ke atas mulut kawah untuk mengambil tas dan bertanya kepada dua orang lagi teman mereka.  Kiki, wanita yang bersamanya (akhirnya kami berkenalan) pun bercerita tentang bagaimana mereka ke Kawah Ijen, dengan menggunakan truk belerang yang banyak disarankan dari blog blog orang.  Kedua Bapak yang menemani kami pun memutuskan untuk pergi ke bawah duluan dan menyarankan kalau nanti mau turun tinggal teriak saja memanggil nama mereka. 

Sesampainya teman Kiki di bawah bersama dengan kedua teman lainnya, kami pun memulai untuk kembali turun ke bawah, semakin dekat dengan danau sulfur.  Perjalanan ini menjadi berdelapan orang.  Sambil turun saya berbincang dengan laki laki ini, sebut saja Onta agar lebih gampang (karena belum sempat berkenalan dan itu sebutan yang sempat dia lontarkan ketika bercerita dengan saya), jadi mereka berencana untuk ke Alas Purwo (tempat yang tidak kesampaian saya kunjungi), Red Island, Green Bay, dan Baluran.  Karena hanya belum kesampaian ke Alas Purwo, saya pun banyak bercerita tentang bagaimana cara untuk ke tempat tempat lainnya kepada Onta ini (dimana seseorang yang ganteng dengan hidung mancung ala orang Arab campur Ambon, kece).  Tapi ditengah jalan ke bawah kami berhenti sejenak karena tiba tiba angin bergerak ke arah kami dan membawa asap belerang.  Kami berdiri membelakangi danau untuk menghindari asap. 
Ijen Crater
Lama kelamaan banyak orang melewati kami untuk kembali naik ke mulut kawah, kami masih terdiam menunggu dan berharap angin segera bergerak ke arah lain.  Cukup lama menunggu, yang ada angin semakin kencang ke arah kami dan asap semakin menyelimuti kami.  Kiki pun berteriak memanggil nama saya, dilanjutkan dengan Onta yang menyarankan untuk ke atas dulu saja.  Terlambat untuk naik ke atas, asap belerang sudah ada disekitar kami semakin banyak, kami berusaha berjalan ke atas lebih cepat dan tetap hati hati.  Jujur, saat itu saya sudah berpikir apakah saya akan meninggal disana karena keracunan asap belerang.  Sempat saya berhenti karena rasanya tenggorokan ditusuk tusuk dan sakit sekali.  Bener benar berjuang melawan lelah untuk menanjak ditambah dengan medan yang berbahaya, kami terus bergerak ke atas, tertinggal dengan orang orang lain. 

Sampai di pijakan luas yang sebelumnya, kami istirahat sejenak, sementara Kiki dan temannya sudah cukup jauh diatas kami.  Kami menunggu sejenak di tempat itu karena Mas Rian sangat kelelahan.  Sepertinya Mas Rian sempat salah mengatur pernapasan dalam menanjak tadi.  Puji Tuhan di tempat itu pernapasan sudah semakin membaik.  Kami memang memakai masker, tapi itu tidak cukup membantu, ada kalanya kita lebih baik membuka masker sehingga udara yang kita keluarkan setelah menghirup asap belerang tersebut tidak terkumpul di masker kita.  Usahakan untuk tetap tenang, pintar mengatur nafas, dan hati hati dalam melangkah, berdoa juga sih paling penting. 

Karena kami menunggu Mas Rian yang beristirahat, kami pun memberitahu ke Onta dan teman temannya untuk melanjutkan perjalanan ke atas lebih dulu.  Karena kejadian itu kami pun berpisah dengan Onta, Kiki, dan temannya. 

Ijen Crater, Been There
Setelah Mas Rian membaik, kami berencana melanjutkan perjalanan ke atas, tapi Edvin dan Mas Rian bersikeras untuk menunggu saja Blue Fire di tempat itu.  Saya adalah orang yang paling cemas diantara mereka, takut angin akan kembali membawa asap ke atas dan sampai ke tempat kami beristirahat.  Beberapa saat melihat pergerakan angin dan sepertinya walaupun angin ke arah kami, asap tidak akan sampai ke tempat itu, saya pun mengikuti untuk menunggu Blue Fire disana, akan tetapi naik sedikit lagi untuk beristirahat di batu bagian tepi kawah.  Sekalian menghindari terlihat dari mulut kawah juga jika petugas datang untuk mengecek keadaan kawah. 

Kalau tidak salah itu sekitar jam 15.00, jadi masih cukup panjang waktu untuk menunggu Blue Fire terlihat.  Udara semakin dingin namun masih terbantu dengan sinar matahari.  Saat itu waktu yang tepat untuk benar benar memanjakan mata melihat sepuas puasnya keindahan Kawah Ijen.  Rasanya seperti orang orang yang terdampar di daerah batuan dan mencoba bertahan hidup, karena hanya ada kami berempat dan kedua Bapak tadi yang sedang di bawah dekat danau sana.  Benar benar cerita yang jauh dari kata biasa. 

Sempat beberapa kali angin kembali bergerak ke arah kami, tapi Puji Tuhan tidak cukup membuat asap belerang sampai ke tempat kami.  Saat itu saya berdoa agar diijinkan untuk melihat Blue Fire.  Entah kenapa begitu penasaran dan ingin menjadi salah satu saksi untuk melihat Blue Fire. 

Semakin sore semakin dingin, sunset dari tempat kami pun keren parah! Sebelum jam 5 sore, seorang Bapak yang tadi pun naik ke atas sambil membawa belerang di pikulannya.  Beliau mengira kalau kami sudah pulang dan menjelaskan kalau asap tadi karena ada kebakaran lalu menyarankan untuk tunggu di tempat ini saja.  Beliau memberikan belerang yang sudah dicetak berbentuk kura kura ke saya dan bercerita dengan kami semua.  Beliau cerita memang susah pekerjaan ini, resiko kesehatan dan resiko keselamatan yang benar benar besar.  Lalu Beliau berkata, “Saya sempat mengecek kondisi paru paru saya ke dokter beberapa waktu lalu, tapi menurut dokter paru paru saya baik baik saja, tidak terjadi kejanggalan apapun.  Alhamdulillah.  Berani kerja, harus berani mati.”  Nangis.

Sunset di Kawah Ijen
Tidak lama Beliau melanjutkan perjalanan ke atas dengan memikul belerang seberat 70 kg itu.  Kalau kalian disana kalian akan lebih tahu bagaimana kondisi perjalanan yang harus ditempuh setiap penambang dengan memikul berat sebesar itu.  Kami saja yang hanya membawa tas kecil rasanya sudah kelelahan, apalagi mereka yang membawa belerang minimal 70 kg.  Pahlawan super.

Untuk kura kura dari belerang tersebut, Bapak ini tidak meminta bayaran.  Sempat saya mengembalikan karena tidak tahu harus membayar berapa, tapi Beliau malah balik bertanya, “Loh emang gamau ini? Ambil saja.” Baik banget pingin nangis.

Setelah Beliau pergi, datang Bapak satu lagi yang memandu saya pertama kali (untuk nama tidak saya sebutkan untuk keamanan Beliau, tapi kalau mau bertanya secara personal ke saya bisa, saya ga bakal lupa nama mereka berdua).  Beliau pun mengira kalau kami sudah pulang karena kejadian asap tadi.  Saat itu saya bertanya bagaimana cara kami pulang nanti setelah melihat Blue Fire, kan keadaan sudah gelap dan kami tidak bawa senter.  Lalu Beliau pun memutuskan untuk menemani kami dengan senter milik Beliau.  Disitu Beliau cerita lagi kalau Blue Fire ini tidak padam karena kandungan sulfurnya yang 99% dan kita harus bisa menikmati pekerjaan kita walaupun itu berbahaya.  Belum lagi Beliau cerita pertama kali kerja, Beliau mulai dengan membawa belerang seberat 70 kg dan belerang yang terberat pernah Beliau bawa adalah 130 kg.  Superhero!

Bahkan melihat saya yang kedinginan dan kondisi kami yang tidak punya air minum sedikit pun, Beliau memberikan air minum miliknya ke saya (tanpa minta dibayar).  Saya berkali kali menolak karena sebelumnya sudah menitip minta dibelikan air putih ke Bapak sebelumnya yang menuju ke Pos Bundar, tapi tetap saja Beliau memberikan air putih itu dan menyuruh saya meminumnya. 

Jam 17.15 kami pun turun ke bawah untuk melihat Blue Fire sembari menunggu matahari benar benar terbenam.  Saya kembali dituntun Beliau sepanjang perjalanan dan banyak cari tahu lebih dalam lagi.  Masih cukup jauh juga untuk turun ke bawah walau rasanya danau tersebut sudah di depan mata, ternyata masih panjang perjalanan untuk dekat dengan danau tersebut.  Tapi kami tidak turun sampai ke dekat danau, karena menurut Beliau itu berbahaya.  Beliau membawa kami ke sebuah pijakan yang cukup luas lagi, batas aman kami untuk melihat Blue Fire.  Benar, sampai disana hari sudah gelap dan Blue Fire pun terlihat.  KEREN BANGET! KECE! PECAH! PARAH!
Superstar, what we'd been waiting for.  Blue Fire
Diperlukan kamera sekelas DSLR minimal, karena dengan kamera smartphone yang lumayan bagus ketika mencoba menangkapnya terasa sangat jauh.  Disaat itu kembali saya menyadari, mata itu lensa terbagus yang pernah ada.  Kalau mata bisa menangkap gambar dan menjadikannya sebuah foto yang bisa diperlihatkan bukan hanya diotak kita saja, mungkin sudah berapa gambar saya cetak dengan lensa mata saya ini. 

Yang lebih kerennya lagi, Bapak ini meminta smartphone HRP untuk mengambil gambar dengan cara dia pergi lebih dekat lagi ke Blue Fire.  Kagum sekaligus khawatir ketika melihat Beliau berlari menuruni batu batuan dan pergi sangat dekat dengan Blue Fire demi memberi kami gambar Blue Fire yang bagus.  Tidak hanya ke satu spot, tapi Beliau berlari ke beberapa spot untuk mengambil gambar ditengah tengah asap belerang yang udah gatau lagi banyaknya kaya apa.  Kita sampai teriak teriak agar Beliau kembali saja dan berhati hati. 

Lalu Beliau kembali dan dengan perasaan bangga menunjukkan gambar yang berhasil Beliau dapatkan.  Banyak banget dan keren keren semua.  Beliau hebat banget! 

Kemudian Beliau menyarankan untuk segera kembali ke atas sebelum semakin malam.  Saya berada paling depan bersama Beliau, sehingga berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti irama kecepatan Beliau.  Sampai ditempat titik kami sebelumnya, Beliau memberikan senternya kepada saya yang sama sekali tidak punya penerangan sama sekali diantara berempat lainnya.  Beliau memikul belerang dan memimpin perjalanan ke atas.  Saya berjalan dibelakang Beliau sambil menyinari jalan di depan Beliau, tapi Beliau menolak dan berkata lebih baik menerangi jalan di depan saya saja karena Beliau sudah hapal betul daerah itu. 

Sempat kami kecapekan ingin istirahat, tapi tidak sanggup melihat Beliau yang memandu sambil membawa belerang dibahunya.  Akhirnya HRP pun gantian menemani Beliau, sehingga saya dan dua orang teman saya bisa istirahat sejenak.  Perjalanan ke mulut kawah pada malam hari terasa lebih panjang dari sebelumnya.  Mungkin karena efek gelap dan kami habis turun ke bawah lalu kembali naik lagi jadi cukup kelelahan.  Semakin dekat dengan mulut kawah, udara semakin dingin dan angin semakin besar.  Benar benar dingin.  Sampai di mulut kawah, Beliau meletakkan keranjang belerangnya karena kecapekan sehingga berencana untuk membawa besok pagi saja. 

Di detik ini, di saat ini, coba kalian berhenti sejenak untuk melihat ke langit.  Lautan penuh bintang yang rasanya dekat dan dapat diloncati.  Gak perlu ke Boscha, cukup disitu akan disuguhi pemandangan indah lautan penuh bintang. 

Kembali dalam perjalanan bersama Beliau menuju Pos Bundar.  Beliau berada di depan bersama HRP, saya di tengah sendiri, dan dibelakang para pria.  Mungkin sebenarnya cukup mengerikan berjalan di dalam kegelapan dan hanya berlima.  Tapi perasaan udah keburu takjub dengan Kawah Ijen, Blue Fire, dan lautan bintang, keindahan yang bertubi tubi dalam waktu dekat menghapus ketakutan selama perjalanan menuju Pos Bundar dan Paltuding. 

Untuk informasi kalian, belerang yang dibawa sama semua superhero Kawah Ijen ini akan ditimbang di Pos Bundar, dan uang yang mereka dapat adalah Rp 700 – 800 per kg, jadi beban yang mereka bawa di bahu itu untuk sekali jalan dengan kondisi medan yang gabisa saya jelaskan bahayanya seperti apa, dihargai sekitar Rp 56.000.  Dan para penambang ini hanya boleh 2 kali turun naik dalam sehari.  Perusahaan yang membayar mereka adalah perusahaan dari Surabaya, kurang tahu nama tepatnya. 

Sedih, kagum, terharu, tersayat mendengarnya.  Kembali belajar setiap orang punya perannya masing masing di dunia ini.  Ada yang harus seberusaha dan seberat itu untuk mendapat Rp 50.000, ada yang duduk diam selama sejam di meja kantor dan dibayar dua kali lipat dari mereka, ada yang bahkan sampai dibayar berkali kali lipat lagi per jamnya tanpa harus memikul 70 kg di bahu dan berjalan sejauh 3 km.  Walau untuk kerja kantoran beban yang kita bawa memang tidak dapat diukur dan terlihat seperti belerang 70 kg tersebut, mungkin saja otak kita membawa beban yang sama atau lebih berat dibanding belerang 70 kg tersebut. 

Nominal uang yang sering saya gunakan tanpa berpikir panjang untuk dihabiskan di cafe atau membeli barang tertentu, justru sangat dicari dan diperjuangkan oleh sebagian orang di banyak belahan dunia lainnya.  Begitu juga nominal uang yang saya perjuangkan untuk mendapatkannya di kantor, justru sering digunakan tanpa pikir panjang oleh orang orang yang sudah punya banyak uang dan lebih mudah mendapatkan uang dibanding saya.  Tergantung kita mau melihat ke atas atau ke bawah.  Atau mungkin lebih baik tidak melihat ke bawah ataupun keatas sehingga kita bisa dengan lebih maksimal menikmati dan mensyukuri peran yang kita dapat di dunia ini. 

Beliau hanya menemani kami sampai di Pos Bundar karena Beliau tugas bermalam disana.  Saat berpisah di Pos Bundar saya berkali kali berterima kasih dan berkata bahwa Beliau orang keren, hebat, super dengan perjuangan yang Beliau lakukan setiap harinya.  Saya ingin mereka sadar walau mungkin ada beberapa orang yang meremehkan pekerjaan mereka (mungkin karena tidak melihat sendiri perjuangan yang mereka lakukan), saya harap mereka tahu bahwa mereka tidak kalah hebat dari orang orang terkenal lain yang jasanya diakui oleh dunia. Bahkan sebelum melanjutkan perjalanan ke Paltuding, Beliau mengambil banyak belerang yang diperjualbelikan untuk diberikan kepada kita sebagai oleh oleh.  Jangan terlalu baik sampai ga rela kita tinggalkan dong Pak. 

Perjalanan ke Paltuding pun kami lanjutkan berempat ditengah kegelapan hutan dan cahaya hanya dari handphone masing – masing.  Awalnya saya berpikir perjalanan tidak akan berat karena jalan yang menurun, tetapi HRP sempat bilang kalau dia merasa lebih lelah karena harus menahan berat kita sendiri.  Lama lama baru terasa apa yang dia bilang benar dan kembali saya yang paling cupu diantara mereka.  Sejak awal saya sudah beberapa kali terpeleset karena jalan yang berpasir sehingga cukup licin dan susah melawan gravitasi, beberapa metode saya lakukan.  Mulai dari jalan sendiri dan pelan pelan dengan menumpang cahaya dari smartphone mereka.  Lalu mengikuti cara Edvin yang berlari kecil sehingga lebih minim untuk terpeleset.  Sampai akhirnya karena yang paling sering terpeleset (ga kehitung banyaknya), Edvin pun menemani disebelah saya untuk terus memegang tangan saya, yang paling parahnya saya sempat terpeleset dan tidak bisa menahan diri sehingga sampai posisi jongkok pun badan saya terus turun mengikuti pasir yang tidak bisa melawan gravitasi. 

Beberapa kali saya melihat ke belakang dan memastikan bahwa benar benar gelap keadaan di belakang kami, cahaya yang ada hanyalah dari smartphone dan semua yang ada di langit.  Sepanjang perjalanan hanya bertemu dengan 1 orang penambang, sisanya hanya kami berempat.  Begitu melihat cahaya lampu dari pos Paltuding, rasanya senang seperti sudah lama ga melihat peradaban manusia, berasa abis melakukan petualangan dari tempat antah berantah dan mencoba bertahan hidup berbulan bulan sampai akhirnya menemukan manusia dan tanda kehidupan selain kami berempat. 

Sampai di Pos Paltuding sekitar jam 19.00, tanpa pikir panjang saya langsung memesan indomie goreng walaupun tadi siang sudah memakan indomie, yang penting perut diisi dulu.  Setelah makan mencoba tidur sebentar di kursi bambu, tapi ga tahan hanya beberapa menit langsung terbangun lagi karena udara yang cukup dingin.  Diantara kami berempat, cuma saya manusia yang kedinginan.  Jam 20.00 kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke Banyuwangi.  Kegelapan masih belum selesai kami lalui hari itu. 

Dengan kondisi udara yang semakin malam akan semakin dingin dan hanya kami manusia yang akan menyusuri perjalanan dari Paltuding ke Banyuwangi malam itu.  Memang jalan bagus, garis jalan pun terlihat jelas, rambu jalan juga masih bagus, tapi kanan kiri sepenuhnya hutan dan cahaya hanyalah dari kedua lampu motor kami.  Kami sudah sepakat untuk pelan pelan saja kecepatan 20-30 km/h (itu saja masih cukup dingin).  Lama kelamaan, gelapnya malam mulai mempengaruhi kami untuk lebih baik menambah kecepatan.  Bahkan ditengah jalan sempat hujan sehingga Mas Rian harus berhenti dulu untuk mengambil jas hujan dan saya dengan pura pura berani turun dari motor menunggu Mas Rian selesai menggunakan jas hujan. 

Lumayan menakutkan dan mata pun seringkali melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada apa apa.  Dalam perjalanan pun berdoa supaya tidak terjadi apa apa dan hujan segera berhenti.  Tidak lama hujan berhenti dan saya hanya mau bernyanyi nyanyi sendiri saja untuk menghindari pikiran pikiran negatif. 
Di perjalanan, Mas Rian berkata, “kalian itu termasuk beruntung, semua dilancarkan.”

“kan berdoa dulu Mas.”

“tapi memang benar loh, semuanya lancar aman dan semua kalian dapat. Hebat.”

“Tuhan sediakan Mas semuanya.”

Karena memang benar segala kelancaran perjalanan kami ini yang dianggap nekat dan berani oleh beberapa orang, semuanya disponsori oleh Wonder J.  Yang bahkan charger handphone pun Dia sediakan.  Satu lagi yang saya pelajari, ketika saya meminta untuk melihat Blue Fire dan kesampaian, hal yang saya inginkan saja dikasih, apalagi hal yang saya butuhkan.  Jadi gausah khawatir selama mengandalkan Wonder J. 

Kami sampai di Banyuwangi sekitar pukul 21.30.  Sebelum ke penginapan kami mampir dahulu ke rumah Om Shandi untuk pamit karena besok pagi sudah harus pulang menuju Jogja.  Om Shandi banyak bercerita tentang tempat wisata di Banyuwangi, lalu cerita juga dulu dia sampai 2 minggu sekali ke Kawah Ijen.  Pernah kecelakaan, di hadang kanan kiri dan belakang dalam perjalanan pulang, tapi kuncinya harus tetap berpikir positif. 

Ketika sampai penginapan saya bahas dengan HRP maksudnya apa kecelakaan yang dialamai oleh Om Shandi, barulah saya mengerti setelah dijelaskan oleh HRP dan kembali bersyukur perjalanan kami benar benar dijaga sehingga luka sedikitpun gada. 

Rabu pagi kami check out dan di depan gerbang sudah ada Bapak supir Lyn yang menawarkan untuk menjemput kami di hari sebelumnya.  Kami pun berangkat menuju stasiun Banyuwangibaru yang tidak jauh dari hotel, mungkin kurang dari 10 menit.  Di gerbang stasiun, Bapak tersebut berhenti dan menawarkan untuk membeli nasi bungkus sebagai bekal di kereta.  Nasi bungkusnya cuma Rp 5.000 udah sama ayam dan tempe.  Lalu saya dan HRP sempat berdiskusi harus bayar berapa ke Bapak supir ini.  Sampai di pintu stasiun karena bingung harus bayar berapa, HRP pun bertanya, dan kalian tahu biaya yang diminta Beliau? Rp 10.000 saja untuk berdua.  Sama saja dengan naik Lyn biasa tanpa harus dijemput, kami kira akan lebih mahal karena Bapak ini sudah menjemput dan tidak mencari penumpang lain, tapi ternyata sama saja.  Aduh banyak banget orang baik yang disedikana dalam perjalanan kali ini dan hal ini yang membuat kami ingin balik lagi ke Banyuwangi. 

Total biaya yang saya keluarkan untuk perjalanan kali ini mungkin sekitar Rp 800.000, sudah termasuk tiket PP kereta api (yang bisa didapat lebih murah 50.000), penginapan, bayar bensin teman teman yang mengantar, dan mentraktir teman teman Banyuwangi setiap kali makan bersama mereka.  Perjalanan ini berlangsung selama satu minggu, Jumat malam berangkat dari Bandung dan Jumat pagi minggu berikutnya sudah sampai di Bandung.

Tentunya saya ingin kembali kesana, entah dalam waktu dekat atau akhir tahun ini ketika Banyuwangi ramai dengan festival, belum lagi ingin melihat musim kawin merak dan rusa di Baluran.  Tapi mungkin bisa saja Agustus ini akan kembali kesana menemani teman saya yang lainnya yang jadi tertarik untuk kesana.  Lagian belum kesampaian juga mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo yang ga kalah kece dari Baluran dan punya ombak terbesar setelah Hawaii.  Belum lagi ada beberapa tempat wisata baru yang akan dibuka dalam waktu dekat, lalu ke Pulau Menjangan, atau bahkan menyebrang ke Bali dengan biaya Rp 7.500 saja untuk sampai ke Gilimanuk.  Masih banyak tempat yang ingin saya datangi di Banyuwangi.  Jadi kalau ada yang berminat ke Banyuwangi setelah membaca cerita saya yang beneran panjang ini, jangan ragu ajak ajak saya.  Hati saya sebagian sudah tertinggal di Banyuwangi, bahkan kalau memungkinkan mau menjadi duta Banyuwangi ditambah kami punya hari jadi yang sama.  Please ajak gue! Lagian emang punya temen di Banyuwangi? Gue punya loh! Haha. 

Untuk penyewaan motor di Banyuwangi mungkin hanya ada satu tempat, bahkan orang Banyuwanginya sendiri pun tidak tahu.  Lebih baik menyewa mobil dan lebih asik kalau pergi dengan banyak orang agar bisa patungan lebih murah.  Dan satu lagi, beneran diperlukan orang lokal untuk pertama kali kesana.  Sebelumnya saya juga pernah hanya mengandalkan GPS dan penunjuk arah di kota Jogja dan Bali, tapi metode itu kurang bisa diandalkan kalau di Banyuwangi.  Tidak apa apa kalau kalian mau merasakan sensasi tersasar.

Satu lagi, untuk fakta Blue Fire yang hanya ada dua di dunia.  Ada kemungkinan bahwa Blue Fire sebenarnya hanya ada satu di dunia yaitu di Kawah Ijen.  Karena kalau saya cari keywords Blue Fire di google, akan keluar Iceland memang, tapi itu adalah nama Roller Coaster terbesar di dunia.  Memang Iceland punya Kawah, tapi sepertinya tidak memiliki Blue Fire seperti di Kawah Ijen.  Tapi kurang tau juga ya, kalian bisa coba cari sendiri informasinya di google.  Kalau salah bisa tolong dibenarkan informasi di tulisan saya ini.  Lalu untuk ke Kawah Ijennya sendiri, menurut saya lebih enak kalau trekking pada pagi atau siang hari dan melihat Blue Fire pada saat maghrib daripada baru mulai trekking saat subuh, karena Blue Fire tidak hanya terlihat waktu subuh saja kok.  Menghindari udara yang semakin dingin juga. 

Akhir kata, untuk siapapun yang berhasil membaca sampai paragraf ini, terima kasih! Semoga tulisan ini cukup informatif bagi kalian.  Saya tunggu ajakan untuk kembali ke Banyuwangi. 

Semoga tidak ada cerita yang tertinggal dari perjalanan dalam perjalanan ini.  Sebuah perjalanan lain dalam perjalanan hidup ini.  Satu cerita (bahkan banyak cerita) tambahan lagi yang telah siap dibagikan untuk anak di esok hari. 






Salam keindahan dari kaki yang telah menginjak Kawah Ijen, tangan yang menyentuh kerasnya Kawah Ijen, paru paru yang berjuang melawan belerang, badan yang menahan udara dingin alam, dan juga mata yang telah melihat Blue Fire beratapkan lautan penuh bintang. 









Banyuwangi.  Sunrise of Java.  The Hidden Superstar.  


************************************pictures mostly taken by Helena Return Pingkan**************************************