Thursday, June 2, 2016

Memperlebar Batas Diri ke Hitugi

Jadi ingat, tahun 2011 menemani teman – teman dari Jepang mengunjungi satu perkampungan di daerah dago pojok saja saya sudah nyaris tidak sanggup menyelesaikan anak tangga yang ada, tapi sekarang setelah hampir 5 tahun berlalu ternyata kaki ini telah sanggup berjalan naik turun gunung dan lembah selama 5 jam sekali perjalanan untuk mencapai sebuah kampung bernama Hitugi yang terletak di Kabupaten Yahukimo, Papua. 


Setelah menemani teman – teman dari Jepang, saya menyadari tubuh ini kurang kuat dalam hal menanjak, sehingga saya sedikit membenci ketika diajak naik gunung oleh teman – teman, karena saya tahu saya lemah ketika harus menghadapi tanjakan dengan kedua kaki ini. 

Di tahun 2014 saya beranikan diri pergi ke Kawah Ijen, dengan alasan ingin melihat ‘blue fire’ satu – satunya di dunia itu.  Kembali saya akui saya memang lemah menghadapi tanjakan, hanya berapa langkah kemudian minta istirahat, terus berulang seperti itu sampai akhirnya berhasil tiba di bibir kawah.  Tidak sampai di bibir kawah saja, saya pun ikut turun mendekat ke danau sulfur saking penasarannya ingin melihat blue fire di jarak paling aman yang terdekat.  Buat saya itu perjalanan tidak gampang, medan yang curam, udara yang sangat dingin, persiapan yang kurang matang.  Tidak pernah menyesal untuk hal itu dan sahabat perjalanan menemukan karakter diri saya yang tersembunyi,“rasa penasaranmu lebih besar daripada kelemahanmu, kamu memang lambat tapi rasa penasaranmu yang besar membuatmu berhasil menyelesaikan Kawah Ijen.”

Setelah dari Kawah Ijen, saya dan sahabat berjalan kaki dari Hutan Raya Dago sampai ke Tebing Keraton, mungkin sekitar 1 – 2 jam perjalanan sekali jalan.  Setelah itu, 3 minggu pertama di Wamena, saya ikut trekking bersama teman – teman kantor ke bukit Veraweh.  Perjalanan sekitar 3 jam sampai di atas karena saya sangat lambat dalam setiap tanjakan dengan tubuh yang masih beradaptasi dengan udara di Wamena, sangat mudah kehabisan tenaga dan nafas.  Sembilan bulan terakhir tiga kali ke Habema dan selalu turun sampai danau, memang perjalanan tidak begitu melelahkan, tapi cukup untuk melatih kaki dan nafas yang manja ini. 

Kaki ini juga pernah bersepeda dari Wamena kota sampai Jembatan Kuning di Sogokmo, perjalanan 4 jam pulang pergi, kehabisan air, kepanasan karena berangkat terlalu siang, bekal makan sudah habis, tapi tetap berhasil kembali ke kota.  Sempat juga mengayuh sepeda sampai ke gunung susu walau pulang berjalan kaki mendorong sepeda karena ban sepeda bocor dan baru menemukan tambal ban di kota. 

Perjalanan ke Hitugi kemarin adalah perjalanan paling jauh sampai saat ini.  Saya sendiri masih belum percaya saya sanggup (mungkin lebih tepatnya ‘disanggupkan’).  Walau di dua tanjakan terakhir ada adik laki – laki yang sangat berbaik hati membawakan ransel saya.  Di tanjakan terakhir tenaga saya hanya sanggup berjalan 10 cm per menit kemudian istirahat.  Perjalanan ini memang cukup lucu, saya dijanjikan perjalanan hanya selama 3 jam trekking, pada kenyataannya saya bertanya 3 kali “berapa lama lagi?” dan orang – orang yang menjawab selalu memberi jawaban yang sama, “2 jam lagi”.  Kalau ditotal berarti sudah 6 jam kami berjalan. 

after reaching the first uphill: still 4 hours more trekking to Hitugi
taken by : Tarsi


Kampung Hitugi, Kabupaten Yahukimo

Perjalanan pulang esok harinya lebih mudah, sedikit tanjakan dan lebih banyak turunan.  Pemandangan pun lebih bisa dinikmati, mungkin karena beban sudah berkurang.  Sebelum sampai di mobil harus menyeberang Kali Yetni, satu tantangan terakhir sebelum semua berakhir.  Kalau tidak ada tangan yang terulur, mungkin saya sudah baku ikut dengan air Kali Yetni. 


Sampai di rumah, mencoba menapak tilas perjalanan lewat gambar – gambar yang berhasil saya ambil dalam perjalanan, saya menyadari satu hal, Pencipta kita adalah Pribadi yang sangat mudah dikagumi.  Coretan tanganNya di dunia ini adalah sebuah keindahan yang membuat saya berpikir, “mau seperti apalagi indahNya Dia jika coretanNya saja seindah ini?”

“Apalah saya ini yang masih sering menyakiti Dia dengan sadar dan sengaja, tapi Dia tetap indah dan mengasihi dengan setia.”


Satu hal terakhir, masih sama seperti tulisan saya dalam perjalanan ke Veraweh :

Trekking itu seperti melakukan perjalanan hidup, yang penting bukan seberapa cepat sampai di tujuan, tapi tetap kembali melangkah dan mendorong diri sendiri untuk tidak menyerah.  Lawan dalam trekking adalah diri sendiri, sama juga seperti hidup.  Teruslah melangkah, jangan berhenti, ambil waktu untuk istirahat itu wajar, tapi mengambil keputusan untuk kembali melangkah adalah keputusan yang layak diambil, karena kita tidak tahu apa yang sedang menunggu kita di depan untuk tetap melangkah melawan kemalasan diri sendiri. 

Segala sesuatu yang indah, layak diperjuangkan.   Lebih baik kita berjuang untuk sesuatu yang indah walau kita belum tahu seberapa indahnya itu, daripada kita berhenti berjuang dan kembali berjalan mundur untuk melihat yang sudah pernah kita lihat. 

Downhill track
Ditambah dengan kata – kata pelengkap hasil perjalanan ke Hitugi :

Kaki ini telah dilatih sebelumnya tanpa saya sadari, berhasil menginjak Hitugi bukan sebuah hasil tanpa proses belaka.  Tanjakan seperti sebuah masalah dalam hidup yang sering membuat kita lemah, merasa tidak mampu, dan malas untuk melewatinya.  Padahal di ujung tanjakan ada sebuah pemandangan indah yang bisa kita nikmati jika kita mau tekun melangkah dan bersandar pada pengertianNya untuk menyadari hal yang tersembunyi itu.  Memang kita juga tidak tahu berapa lama jeda waktu untuk kembali bertemu dengan tanjakan selanjutnya, tapi selama kita menyadari Siapa yang selalu ada di samping kita untuk menemani dan memampukan, bukankah tanjakan menjadi lebih ringan untuk dihadapi?  Dan ketika kita melihat kebelakang, ternyata sudah banyak tanjakan yang sudah kita hadapi, kaki ini sudah terlatih menghadapi tanjakan selanjutnya (karakter kita sudah terlatih untuk menghadapi masalah selanjutnya).  Ketika kita tidak lagi berfokus terhadap 'masalah' yang ada, tapi fokus menyadari 'Siapa' yang ada bersama kita.  Bersyukur untuk proses, bersyukur untuk hasil. 

Bukan saya mampu, tapi saya dimampukan oleh Dia yang selalu setia dan bersedia menjadi kekuatan saya.  Bersyukur untuk Dia yang memampukan kita.

taken by : Tarsi
Cause I love capturing the perfect ones
"Leaving something that is not even worth to step into everything that is more than just worth enough"
song by  : Munthe - Pure



No comments:

Post a Comment