Wednesday, July 1, 2015

Tiga Ribu Kilometer

Selasa, 30 Juni 2015

Dua malam terakhir tidur di kamar sendiri, Bandung. 

Tiga puluh enam jam dari sekarang akan kembali meninggalkan kota ini, pulau ini, keluarga ini, sahabat sahabat ini, dan semua perasaan di setiap sudut kota ini. Sepuluh hari terasa kurang dan akan tetap terasa kurang seberapa lamapun itu sampai akhirnya kata “kurang” menjadi “bosan”.  Delapan bulan sudah saya merantau, waktu yang cukup lama untuk membuat saya tersadar sudah mencapai angka delapan.  Entah terlalu menikmatinya di awal lalu sedang melewati tahap “berjuang di luar zona nyaman” yang sebenarnya. 

Datang ke Wamena tanpa seorang pun yang dikenal, bulan pertama hanya bergaul dengan teman kantor, bulan kedua mulai bergaul dengan beberapa teman sekaligus tetangga dari LSM lain, bulan ketiga keempat asik dengan dunia baru yang ditemukan, hingga akhirnya tidak mengenal sebagian dari diri sendiri tapi tetap mengacuhkannya sampai “kenyamanan dalam ketidaknyamanan” itu hilang dan benar benar memasuki zona tidak nyaman.  Kembali memasuki ruangan tanpa cahaya dan menyadari saya tidak bisa pergi kemana mana tanpa DIA.

Posisi, seorang kakak, seorang sahabat keluar dan menemukan kamar terang lainnya. 

Pulang ke Bandung tanpa direncanakan, lebih tepat dikatakan sebagai kebutuhan untuk memurnikan tujuan saya ke Wamena.  Mengembalikan diri yang membahagiakan diri dengan memberi kepada lingkungan sekitar bukannya membahagiakan diri dengan meminta kepada lingkungan.

Banyak orang melihat kehidupan saya di Wamena adalah kehidupan yang menarik dan menyenangkan, padahal sebenarnya tidak selalu seperti itu, hanya yang saya bagikan pasti hal hal yang layak dibagikan saja.  Ada kalanya kesulitan yang dihadapi menjadi hal yang layak dibagikan ketika kita bisa berhasil melihat kesulitan itu dari sisi yang bijak (it takes time and patient). 

Dua bulan terakhir banyak bertanya harus jalan kemana, lurus, kiri, kanan, atau bahkan diam di tempat saja?  Terus bertanya tanpa peka, “DIA sudah menjawab”.  Saya bertanya, “Aku harus kemana dan gimana?” dan jawaban yang saya pikirkan adalah, “ke kiri/kanan/lurus”.  Terkadang jawaban DIA bukan ‘kanan kiri atau pun lurus’ tapi ‘percaya Aku, serahkan khawatirmu padaKu, Aku yang bertindak, Aku yang memelihara kamu'.

Khawatir, susah banget untuk berhenti khawatir ketika masalah datang.  Gampang untuk mengatakannya, tapi sulit untuk melakukannya.  Sering kita lupa, iman tanpa perbuatan itu sia sia, lupa menunjukkan iman kita lewat perbuatan.  Untuk mengaplikasikan ketidak-khawatiran lewat perbuatan. 

Sejauh mana kita mengandalkan DIA? Sejauh garis waktu yang DIA tentukan untuk kita berjalan, tapi secara manusiawi tidak setiap langkah kita mengandalkan DIA sepenuhnya.  Sering kita justru membatasi DIA, dengan kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, keraguan, ujung ujungnya bertindak sendiri karena merasa lebih tahu mana yang terbaik.  Kita melihat ke kanan, kiri, depan, belakang dengan daya tangkap yang terbatas, DIA melihat dari atas dengan daya tangkap yang tidak terbatas dan kemampuan zoom in zoom out yang tidak terbatas.  Masih aja kita berpikir kita lebih tahu apa yang terbaik dan bertanya kenapa ini yang terbaik tanpa kita mengerti secara keseluruhan, satu demi satu. 

Tiga puluh enam jam sebelum kembali ke Wamena masih belum stabil dan belum punya keputusan apapun.  Delapan bulan lalu meninggalkan Bandung dengan berat tapi dengan perasaan penuh harap dengan semua hal baru yang akan ditemui di Wamena.  Kali ini cukup berbeda, sangat tidak rela meninggalkan Bandung untuk kembali ke tempat yang saya (sok) tahu apa yang akan saya temui kembali disana.  Antara tidak menetap di Bandung tapi juga tidak kembali ke Wamena.  Memburu tempat baru lagi, kali ini yang lebih jauh.  Berlari ke deretan mimpi saya yang lainnya.  Bukan cara yang baik untuk mendewasakan diri. 

Tiga ribu KM dari Bandung, ada tempat lain untuk sepenggal hidup saya, Wamena.  Datang kesana dengan penuh semangat tanpa pernah berpikir akan menjadi rumah yang sulit ditinggalkan.  Ternyata ketika memberanikan diri melangkah ke tempat baru, juga harus memberanikan diri suatu saat nanti akan meninggalkan tempat baru itu (team INFP). 

Ini bukan perpisahan untuk Wamena, mungkin pengajuan izin tinggal lebih lama dengan pengharapan yang tidak terbayangkan, selama tidak dengan keadaan seperti ini. 

I’m blackmailing Wamena to let me stay longer through its beauty and imperfections.  I’d love to go back with impatient feeling to get there. I go back to YOU, with YOU, for YOU.  Level up in enjoying YOU! Though there is no reason for hoping, I (try hard to) believe and hope, just like Abraham (Romans4:18) 

-advina

No comments:

Post a Comment