18 November 2017, jarak tempuh bersepeda terjauh selama tiga tahun tinggal di Wamena dan dua puluh enam tahun hidup di dunia. Wamena kota sampai Kali Yago di Sogokmo, total waktu perjalanan pulang pergi lima jam dengan sepeda balap dengan jarak 41 KM. Aku bangga!
Tiga tahun lalu hanya sanggup bersepeda setengah dari jarak tersebut dengan total waktu yang sama. Bangga sama diri sendiri, karena ada peningkatan dari kapasitas diri yang sebelumnya.
Saya ini memang selalu menghindari membandingkan diri dengan orang lain, tidak bakalan ada kata puas kalau terus membandingkan diri dengan orang lain, karena selalu akan ada yang di atas saya. Saya rasa pun tidak baik buat diri saya sendiri, jadi lebih baik saya selalu membandingkan diri dengan diri saya yang sebelumnya, itu cara saya mengukur diri apakah menjadi lebih baik atau lebih buruk. Saya rasa itu takaran yang lebih baik dibanding mengukur dengan keberhasilan orang lain, yang ada malah melupakan rasa bersyukur untuk apa yang dipercayakan ke kita saat ini.
Saya yakin, masih banyak orang – orang yang bisa bersepeda dengan jarak tempuh lebih jauh dan waktu tempuh yang lebih cepat. Tapi apalah gunanya itu, karena saya bersepeda bukan untuk bertanding dengan orang lain, saya bertanding dengan diri saya sendiri sembari menikmati proses mengayuh, selama mengayuhnya tetap di jalan Tuhan. Bertanding dengan diri sendiri karena harus memotivasi diri untuk tetap bergerak walau kelelahan, bosan, malas, bahkan merasa sendiri.
Tantangan yang terberat bukan karena harus mengayuh sepeda sejauh 41 KM, tapi ketika harus mengayuh dan kadang kala menuntun sepeda di tanjakan di saat harus melawan arah angin. Ketika harus tetap bergerak di saat angin bergerak berlawanan arah dengan kami, di situ saya merasa mulai kelelahan dan bosan.
Sama seperti rutinitas yang biasa dijalani, kita merasa lelah karena harus tetap berdiri teguh di saat orang – orang sekitar tidak satu irama langkah dengan kita. Selama kita berdiri teguh untuk hal yang benar, berdirilah dan jangan goyah, walau hanya sendiri. Saya bukan ikan mati yang hanya pergi mengikuti arus air, saya lebih memilih jadi ikan salmon yang hidup melawan arus air walau lelah dan berat, karena dengan begitu menandakan saya hidup dan tetap bergerak.
Kemarin tujuan kami adalah untuk makan siang di kali Yago yang bertemu dengan kali Baliem, untuk ke sana kami harus menuntun dan mengangkat sepeda selama empat puluh menit di jalan setapak dan berbatu, menyebrangi aliran air kecil, bahkan naik jembatan besar berwarna kuning. Kaki beberapa kali terantuk pedal karena jalanan yang sempit untuk mendorong sepeda, belum lagi tangan kanan kerja keras menahan sepeda di jalan turunan berbatu. Rasa puas tentu saja ada ketika berhasil membawa sepeda ke tempat tujuan.
Memang harus berjuang keras untuk mencapai tujuan, sakit di sana sini ketika berjuang juga hal yang biasa, karena sakit itu yang membentuk untuk lebih kuat. Kaki lebam karena bersepeda lebih baik daripada luka batin gagal lagi dapat beasiswa, lukanya lebih dalam.
Akhirnya jam 2.40 kami pun bergerak untuk kembali pulang, kali ini harus mengangkat sepeda di tanjakan berbatu, lebih lelah tapi lebih mudah dilakukan. Mungkin karena air sudah mulai turun ke atas kepala jadi kami berusaha bergerak lebih cepat walau kelelahan.
Seperti biasa, perjalanan pulang akan lebih terasa cepat, apalagi lebih banyak turunan karena kami sudah menanjak ketika datang tadi. Hanya sesekali mengayuh, selanjutnya lebih banyak dibantu dengan gaya gravitasi bumi untuk bergerak dengan cepat. Perjalanan pulang lebih banyak menikmati angin yang kali ini bergerak searah dengan kami, sangat membantu untuk bisa mendahului hujan.
Setelah tanah longsor, barulah kami mulai mengayuh dengan sepeda dengan konsisten. Sebenarnya kemarin ada yang menawarkan untuk ikut mobilnya kembali ke kota, tapi dengan percaya dirinya saya menolak tawaran tanpa bertanya apakah teman saya masih merasa sanggup seperti saya atau tidak.
Tujuan kami memang bersepeda, menikmati tubuh bergerak, merasakan angin, melihat lebih dekat keindahan yang ada, menikmati kasih. Itulah kenapa saya senang bersepeda.
Tentu saja saya bersepeda tidak sendiri, ada satu perempuan Yali yang sempat janji mengajak saya bersepeda tapi tidak pernah terealisasi. Sintike Bahabol, walau hanya berdua tapi saya merasa berani bersepeda ke Sogokmo karena ada dia sebagai tameng saya. Two is better than one, isn’t it?
Sama seperti Tuhan Yesus, tameng kehidupan saya. Selama ada Tuhan Yesus, saya akan berdiri teguh melawan arus, walau harus disudutkan, dijebak, diremehkan, yaudahlah, buat Tuhan Yesus saya berharga kok.
Ketika kita menyadari diri kita berharga, kita akan belajar mengasihi diri sendiri. Ketika kita menyadari orang lain juga berharga di mata Tuhan, kita akan belajar mengasihi orang lain sama seperti kita mengasihi diri sendiri. Ketika kita berhasil mengasihi sesama, itulah cara kita mengasihi Tuhan yang tidak terlihat dengan mata, tetapi selalu melihat kita berharga di mataNya.