Monday, February 22, 2016

15 di Wamena



Pagi ini saya berangkat ke kantor dengan meninggalkan sepeda dan beralih menjadi pengguna jasa Bapak Ojek.  Sembari duduk di motor Bapak Ojek, saya melihat langit biru di atas kepala saya, lalu kemudian tersenyum sendiri menikmati kehidupan di bawah langit biru ini sambil berbisik, ‘terima kasih Tuhan’. 

Sore hari setelah pulang kantor saya berjalan kaki sendiri menuju satu minimarket terbesar di kota kecil ini, saya berjalan santai menikmati suasana sore yang penuh dengan angin Kurima dan berpapasan dengan banyak masyarakat lokal.  Teringat beberapa bulan pertama di Wamena, sulit sekali rasanya untuk menikmati kota ini sendirian.  Setiap kali jalan kaki ketika berangkat dan pulang dari kantor, selalu dengan kecepatan kaki seperti yang sedang berlomba jalan cepat.  Susah sekali menikmati dengan tenang keindahan alam yang disuguhkan di sekeliling lewat langit biru, bukit bukit kecil dengan kehijauannya, dan rentetan pegunungan yang mengelilingi Wamena dengan berbagai keunikan bentuknya.  Keinginan untuk menangkap dalam kamera setiap keindahan yang ditemui terpaksa tertahan karena pola pikir yang sudah ditanamkan duluan oleh teman teman disini, ‘banyak kejahatan’. 

Hari ini tiap pagi bersepeda ke kantor pun sudah dengan tenang membagikan senyuman kepada banyak orang di jalan, mengucapkan selamat pagi baik kepada orang yang dikenal maupun tidak kenal.  Berjalan kaki sore sambil dengan tenang memberi kontak mata kepada masyarakat lokal yang berpapasan sembari memberi senyuman selamat sore.  Sepertinya dulu saya selalu fokus dengan kecepatan kaki saya berjalan dan menghindari kontak mata, karena yang ada dipikiran saya adalah, ‘hati – hati, mereka bisa berbuat jahat’.  Ya mungkin memang sempat saya punya pengalaman dipegang pergelangan tangan saya oleh seorang mabuk ketika sedang berjalan kaki sendirian atau orang mabuk yang dengan sengaja menghalangi saya yang sedang bersepeda, tapi hari ini saya menyadari, saya sudah ditahap bisa menikmati Wamena.  Tidak semua mereka yang tidak kita kenal mempunyai niat jahat.  Tidak semua dari mereka ingin mengganggu kita. 

Ketika saya mulai bisa menikmatinya, saya lebih banyak bertemu dengan masyarakat yang dengan tulus ingin menyapa dan ingin berbagi senyuman.  Atau mungkin lebih tepatnya saya ungkapkan, ‘saya semakin sering bertemu dengan ketulusan dan senyuman dari masyarakat lokal dan itu membuat saya mulai bisa menikmati Wamena’. 

Bukan berarti kota ini sudah bisa dibilang ‘aman’, cuma terkadang kekhawatiran itu membuat kita lupa untuk menikmati apa yang tersedia dan menolak memberi kasih melalui senyuman dan pikiran positif kepada orang orang yang kita temui di jalan.  Saya masih sering kok bertemu dengan keusilan kaum adam ketika bersepeda ataupun berjalan kaki sendirian, bedanya saya sudah bisa tenang menghadapinya, bukannya dengan tiba tiba ikut latihan jalan cepat, tapi dengan memasang muka datar dengan tatapan mata tajam memandang mereka dari atas ke bawah dan tidak akan melepaskan pandangan sebelum mereka berhenti memandang saya atau bisa juga pura pura tidak punya telinga ketika mendengar celotehan ga penting mereka yang berusaha menarik perhatian saya. 

Saya pernah diikuti oleh seorang laki laki yang berusaha ingin kenalan dengan saya, tapi saya menoleh ke dia pun tidak.  Terus terjadi sampai beberapa kali, setiap kali bertemu di jalan, dia pasti akan mengikuti saya.  Sampai suatu kali dia terus mengikuti saya yang sedang bersepeda pulang dari mengajar, dia terus ikuti saya di samping sambil terus berusaha mendapatkan nama dan nomor telfon (bahkan kepala saya menoleh ke dia atau suara saya keluar untuk bicara dengan dia pun tidak), saya mengayuh sepeda dengan santai, tidak ke arah rumah, lalu dengan percaya dirinya saya belok ke kantor polisi dan melihat dia dengan tatapan sinis, baru dia kaget dan berhenti mengikuti saya.   Kaum adam yang saya bicarakan di sini bukan saja masyarakat lokal, tapi pendatang juga. 

Iya saya tahu Wamena bukan sebuah kota yang aman, apalagi bagi seorang perempuan, tapi saya belajar untuk tidak membuat pandangan ‘ketidakamanan’ itu sebagai alat yang membuat kita gagal menikmati keindahan yang tersedia, entah itu keindahan alam sekitar maupun ketulusan masyarakat sekitar.  Karena sikap berhati – hati bukan berarti menutup diri untuk menyentuh Wamena dengan hati.  Runtutan kejadian kriminal yang terjadi hanyalah satu sisi dari sebuah lembah di tengah pegunungan Jayawijaya ini, masih banyak sisi lain yang bisa kita lihat dan raih untuk bergandengan tangan bersama.

Saya bersyukur, saat ini punya rutinitas kehidupan yang bisa berangkat dari rumah sepuluh menit sebelum jam masuk kantor dan tidak terlambat karena alasan macet.  Jam 4 sore saya sudah bisa ada di rumah setelah sebelumnya sempat belanja dulu ke pasar tradisional untuk bahan makan malam dan sarapan esok pagi. 

Saat ini kota besar sebagai tempat menetap sedang tidak menjadi pilihan saya, kini kota besar adalah tempat berlibur dan bertemu dengan keluarga dan sahabat.  Bukan lagi sebuah kebutuhan primer untuk tinggal di sebuah kota besar yang memanjakan diri dengan segala fasilitas yang tersedia, terkadang kepuasan bisa ditemui di kota yang hanya butuh 30 menit bersepeda untuk mengelilinginya.  Kecemburuan sudah tidak dimiliki oleh teman yang mempunyai gadget ter up to date, karena untuk berhasil mendapat sinyal saja sudah bersyukur.  Definisi gengsi sudah bukan tentang apa saja yang sudah saya miliki, tapi kini gengsi adalah tentang apa saja yang sudah saya lakukan untuk orang banyak.

Memang saya belum melakukan banyak hal atau mungkin belum melakukan apa apa juga untuk orang banyak, memang juga saya terkadang cemburu melihat teman teman di Jawa sana bisa makan enak di franchise kesukaan saya, ataupun cemburu melihat teman teman saya berkumpul dan tertawa bersama.  Tetapi itu semua belum cukup berhasil membuat saya menyesal meninggalkan zona nyaman saya dan berjuang menikmati suka duka yang ada di tempat ini.  Bukankah kita harus berani melangkah untuk mau berkembang dan dibentuk?  Seperti memberi diri dengan sepenuh hati untuk dibentuk, tanpa tahu akan dibentuk menjadi apa, hanya berbekalkan keyakinan ‘kita sedang dibentuk untuk menjadi indah, apapun itu bentuk akhirnya nanti’.  Tidak lupa untuk membuka diri kepada pandanganNya sehingga kita berhasil menikmati setiap tawa dan luka yang ada atau akan dihadapi nanti.  Susah sih dan pasti akan susah, tapi … bertahanlah! Karena Dia pun selalu bertahan untuk kita…

No comments:

Post a Comment